Barang Impor Ilegal Masuk, UMKM Terpuruk

  • Bagikan

JAKARTA (Waspada): Sekjen Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Edy Misero menyatakan terpuruknya pedagang Tanah Abang, Jakarta dan memprotes social commerce seperti TikTok Shop, bukan berarti menolak Electronic Commerce atau e-commerce.

Edy Misero mempertanyakan, mengapa kita jadi heboh seperti ini. Padahal permasalahan TikTok yang membuat menurunnya omzet penjualan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sudah dimulai tiga bulan lalu.

“Proyek TikTok muncul kepermukaan, yang isunya mereka akan menjual produk sendiri dan kemudian menjual produk lain tetapi dengan harga yang sangat murah, itu inti permasalahan awal,” ungkap Edy Misero dalam diskusi Dialektika Demokrasi ‘Aturan Social Commerce dan Nasib UMKM bersama Anggota Komisi VI DPR RI, Amin AK (Fraksi PKS) dan Anggota Komisi VI DPR RI, Intan Fauzi (F-PAN) di Media Center DPR RI, Jakarta Selasa (26/9).

Dihadapan dua Anggota DPR itu Misero menjelaskan, permasalahannya banyaknya barang impor yang masuk dengan harga yang murah.

“Itu menjadi masalah, bukan teknologinya, kita tidak merambah dari teknologinya, apakah itu sosial commerce atau e-commerce bukan itu. Kenapa produk mereka sangat murah, sehingga produk-produk lokal kalah untuk berkompetisi,”kata Edy.

Edy Misero mengajak dalam posisi sekarang supaya berterus terang. Ada kemungkinan, terjadi barang-barang ilegal, ada kemungkinan barang yang di jual itu tidak kena bea masuk misalnya, pasti jadi murah.

Dugaannya itu terkait dengan pernyataan Teten (Menteri Koperasi) di media yang menduga barang-barangnya banyak barang-barang ilegal.

“Maaf pak saya bertanya, negara ke mana, pemerintah di mana, mestinya pengawasan itu harus hadir dong, kalau bertanya kepada rakyat kok banyak barang yang ilegal, terus negara di mana, pemerintah di mana, yang fungsinya adalah pengawasan terhadap produk-produk yang masuk dari luar yang saya garis bawahi illegal,” ungkap Misero.

Misero melihat inti permasalahan yang menjadi viral adalah masalah produk dari luar yang murah.

Misero juga tidak mempersoalkan kalau TikTok dipakai menjual produk lokal.

Anggota Komisi VI Amin AK menyatakan, dirinyalah yang pertama kali melakukan interupsi di rapat paripurna mempermasalahkan. TikTok Shop.

“Jadi yang kita masalahkan bukan e commerce, keberadaan e-comerce, tetapi yang kita masalahkan social commerce yang digunakan atau difungsikan untuk berjualan, berdagang, ini kan tidak fair,” ungkap Amin.

Amin mengatakan, para pelaku UMKM itu sudah berguguran dan untuk membangkitkannya tentu tidak mudah.

Menyikapi kondisi perdagangan online ini, Amin menegaskan, pemerintah yang punya segalanya, punya otoritas, aparat, anggaran dan infrastruktur yang lengkap. Mestinya merespon dengan secepat-cepatnya.

Pemerintah jangan hadir selalu di belakang masalah, bahkan ketika merespon masalah-masalah itu pun bertele-tele, kelamaan,”ujar Amin.

Anggota Komisi VI DPR Intan Fauzi mendukung langkah pemerintah membatasi peran mefia sosial (medsos) karena telah bergeser dari situs pertemanan menjadi alat transaksi perdagangan.

“Jadi intinya, revisi Permendag No 50/2020, kita harapkan bisa segera terbit dalam satu minggu ini,” ucap Intan.

Pengaturan ketat terhadap penggunaan medsos, menurutnya harus dilakukan apalagi pengawasan terkait perusahaan-perusahaan yang tidak jelas. Bahkan, ada produsen merek tertentu kini juga ikut-ikutan melakukan transkasi di medsos.

Mereka sengaja menfaatkan medsos untuk kegiatan transaksi perdagangan. Tentunya kata Intan, ada ketidakadilan dalam persoalan itu.

Pengaturan kegiatan perdagangan baru menyasar pada e-commerce dan beberapa perusahaan markerplace yang memang di bentuk untuk kegiatan perdagangan seperti shopee, Lazada, Blibli.com dan Tokopedia.

Sedangkan produsen yang melakukan transaksi di medsos dibolehkan ikut melakukan transaksi jual beli.

“Kita mengenal Tokopedia, Shopee, Lazada dan sebagainya. Mereka memang marketplace, artinya mereka adalah pasar secara online dan di situ memang terjadi transaksi,” jelasnya.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) ini mengatakan saat ini juga berkembang ada start up atau disebut retail online yang juga memanfaatkan medsos untuk transaksi jual beli dan barang yang dperdagangkan adalah produk dari luar negeri.

“Kalau bicara commerce tentu perdagangan, tapi platform-nya adalah platform sosial. Nah inilah yang kemudian menjadi masalah besar, karena memang yang dijual di sana itu barang-barang yang nota bene, mayoritas adalah dari luar dan kita tidak akan bisa komplain,” tegas Intan.(j04)

  • Bagikan