Barisan Melayu Sumatera Pantai Timur Dukung Rekomendasi Komnas HAM

  • Bagikan
Barisan Melayu Sumatera Pantai Timur Dukung Rekomendasi Komnas HAM
Berbagai elemen masyarakat Kota Tanjungbalai berunjukrasa ke Kantor DPRD setempat untuk mendukung warga Pulau Rempang. Waspada/Ist

TANJUNGBALAI (Waspada) : Barisan Melayu Sumatera Pantai Timur Tanjungbalai mendukung Rekomendasi Komnas HAM atas adanya pelanggaran HAM di Pulau Rempang Batam, Minggu (24/9).

Ketua Barisan Melayu Sumatera Pantai Timur, Datuk Muda Indra Syah mengatakan dari rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komnas HAM, jelas terjadi pelanggaran HAM di Pulau Rempang. Masyarakat dan anak sekolah yang menjadi korban kekerasan dan keberingasan aparat dengan tembakan gas air mata serta tindakan penganiayaan dan penangkapan.

Satpol PP, Polisi, dan tentara datang ke kampung-kampung dengan membawa senjata membuat masyarakat takut dan was-was setiap hari. Padahal mereka tidak ingin relokasi dan ini sudah harga mati.

Barisan Masyarakat Melayu Sumatera Timur Tanjungbalai Asahan mengaku sampai hari ini heran mengapa harus Pulau Rempang yang dipaksakan untuk dijadikan tempat pabrik kaca tersebut. Padahal Indonesia tercatat memiliki 17.500 ribuan pulau, dan ada juga yang tidak berpenduduk.

“Kami curiga akan adanya sebuah master plan jahat yang ingin menguasai Indonesia, ketika proyek Rempang disetujui dengan dalih investasi, maka neo imperialisme China sekaligus akan membawa ideologi komunisnya ke ibu pertiwi,” ucap Indra Syah.

Menurutnya, Izin dari wilayah itu memang cuma 17.000 an hektar, namun letaknya sangat strategis.
Secara umum di bagian Utara berhadapan dengan Johor Malaysia dan Singapore serta Laut China Selatan. Sedangkan di Timur ada Kalimantan dengan proyek IKN yang hanya bisa dimiliki oleh orang kaya dengan konsensus pemakaian sampai 160 tahun, dan tentu yang paling berduit saat ini adalah China.

Di bagian Barat Laut ada pulau Batam terhubung dengan jembatan Barelang yang wilayahnya dekat Selat Malaka jalur Perairan International. Tentu ucapnya, ketika proyek ini berjalan, maka pemilik proyek akan menjaganya secara ketat, dengan alasan melindungi ancaman baik laut dan darat.

“Bisa saja di situ mereka membawa dan memasukan narkoba dan barang berbahaya lainnya, dengan dalih melindungi investasi,” kata Indra Syah.

Indra Syah mengingat analisa mantan Panglima TNI, Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo bahayanya ancaman investasi China terhadap NKRI secara geopolitik dan geostrategis. Indra Syah mengatakan orang-orang yang ingin menguasai NKRI itu, harus melumpuhkan dulu pertahanan dan kekuatan Indonesia.

“Islam merupakan kekuatan dan pertahanan negara, Islam adalah Melayu, dan Melayu adalah Islam, karena suku bangsa yang resmi beragama Islam dan Berakidah Islam adalah Melayu, jadi kalau Melayu bisa ditaklukkan, kita khawatir tanah-tanah ulayat yang dari suku-suku lain akan mudah diambil begitu saja,” tutur Indra Syah.

Untuk itu ujar Indra, jauh sebelum Indonesia berdiri, Melayu sudah bersumpah Takkan Melayu Hilang di Bumi. Artinya, selama Islam itu ada, maka Melayu itupun akan terus ada.

Menurutnya, pemegang kekuasaan hari ini telah berkhianat kepada Melayu. Padahal Pengorbanan Melayu untuk lahirnya negara bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tidak dapat ditandingi oleh apapun.

13 Juta Gulden Belanda atau setara dengan 1.074 triliun rupiah sumbangan Melayu untuk modal Indonesia merdeka, yang diwakili oleh Sultan Melayu Siak. Bukan hanya harta, tetapi kerajaan-kerajaan di bawah penaklukannya seperti Kerajaan Melayu Deli, Melayu Serdang, Melayu Bedagai hingga Provinsi Riau dan Kepulauan Riau diserahkan untuk bergabung di bawah pemerintahan NKRI.

“Tapi hari ini, bulan ini dengan nilai investasi yang hanya Rp 381 triliun, kau jual wilayah melayu itu kepada asing China. Bulan September ini, Indonesia telah durhaka dan berkhianat pada Melayu, apakah perlu Melayu mengutukmu wahai Indonesia, “ke atas tak berpucuk ke bawah tak berakar”. Apakah perlu Melayu menggunakan sumpahnya supaya Indonesia ini bersimbah darah,” tegas Indra Syah.

Indra Syah mengingatkan bahwa penindasan warga Melayu Rempang erat kaitannya peristiwa 30 September 1965. Rakyat Indonesia terutama Melayu katanya jangan pernah lupa dengan September berdarah ini.

Tentu saja tambahnya, itu satu bukti ketika Indonesia sudah setuju proyek di Rempang untuk China dengan dalih investasi, maka Neo Imperialisme China sekaligus akan membawa ideologi komunisnya ke ibu pertiwi. Pola praktik kebangkitan yang dibungkus dengan sebutan “neo komunisme” itu artinya membuka pintu masuknya bangsa China sebagai penjajah.

“Dalam proyek ini saya juga mengkhawatirkan efek dominonya, sepuluh tahun ke depan kita tidak akan lagi mengetahui dan membedakan yang mana serbuk kaca dan mana serbuk sabu-sabu, di pulau itu dikhawatirkan akan dijadikan tempat pembuatan sabu-sabu nomor satu di dunia,” paparnya.

Dalam kesempatan itu, Indra Syah juga akan terus menggelorakan dan meneriakkan suara referendum untuk menentukan apakah bangsa Melayu masih ingin bersama Indonesia atau memilih untuk memisahkan diri. Bangsa Melayu katanya jangan dipandang sebelah mata karena bila sudah bersatu, maka apa saja bisa terjadi. Sebelumnya, Jumat (22/9), masyarakat Kota Tanjungbalai berunjukrasa di Kantor DPRD setempat untuk memberi dukungan terhadap warga Rempang. (a21/a22)

  • Bagikan