Ketika Kepala Pengasuhan Dayah Banting Pintu

  • Bagikan
Salah seorang orang tua wali santriwati sedang memprotes para ustadzah dan Kepala Pengasuhan Damora. Waspada/Maimun Asnawi
Salah seorang orang tua wali santriwati sedang memprotes para ustadzah dan Kepala Pengasuhan Damora. Waspada/Maimun Asnawi

“Minggu (30/10) malam, sekira pukul 21:00, kami melaksanakan rapat pembagian tugas rutin (piket) untuk merapikan dan membersihkan kamar. Selesai rapat tersebut kami di dalam kamar duduk terpisah hingga kami semua beranjak tidur. Keesokan harinya, tiba-tiba ustadzah merasa marah karena mendapati secarik kertas yang bertuliskan kalimat tidak pantas untuk dirinya, hingga persoalan ini berakhir pada pemberian hukuman yang juga tidak pantas.”

HAL tersebut disampaikan oleh salah seorang santriwati kelas III MA dengan inisial I kepada Waspada, Rabu (2/11) pukul 20:00 di salah satu dayah di kawasan Lhokseumawe. Kata I, setelah mencari tahu siapa yang menulis kalimat tidak pantas itu, ustadzah akhirnya mengetahui pemilik tulisan tersebut. Namun anehnya, hukuman diberikan kepada seluruh penghuni kamar tersebut.

Atas perbuatan tidak baik tersebut, maka ustadzah berinisiatif memanggil seluruh orang tua wali santri ke asrama untuk memberitahukan kelakuan anak-anak mereka. Setelah diterangkan dengan seksama, maka para wali santri pun setuju kalau para santri itu diberikan hukuman dan hukuman itu adalah berpidato dan menerjemahkan ayat (mufradhat).

“Hukuman semacam ini tidak masalah bagi kami orang tua, karena hukuman yang diberikan masuk dalam kategori mendidik. Dan hukuman tersebut telah diberikan dan telah dijalankan oleh anak-anak kami dengan baik. Bahkan, kami sebagai wali juga sudah menandatangani selembar surat perdamaian dan semua pihak sudah menerima dengan lapang dada, Selasa (1/11),” sebut M, salah seorang wali santriwati kepada Waspada.

Setelah semuanya selesai, sebut M, persoalan baru muncul, santriwati yang telah dihukum itu kembali dihukum dengan cara dipajang di tiang bendera. Hukuman ini dinilai keterlaluan oleh para orang tua santriwati. Seharusnya, sebut M, tidak ada lagi pemberian sanksi kepada anak-anak mereka, karena kepada para santriwati itu telah lebih dulu diberikan sanksi.

“Anak-anak kami merasa malu dan tertekan. Sanksi dipajang di tiang bendera itu disaksikan oleh seluruh santriwati. Anak-anak kami malu dan tertekan karena dibuli oleh teman-temannya. Hukuman ini tidak mendidik dan tidak layak diterapkan di lembaga pendidikan,” kata M kepada Waspada.

Begitu mendapat informasi dari anak, M, mengaku berang dan bersegera menghubungi wali santriwati lainnya untuk memprotes penanggungjawab asrama dayah. Minggu (2/11) pukul 20:00, perwakilan walisantriwati itu mempertanyakan ustadzah bersangkutan dan kepala pengasuhan tentang kelayakan hukuman yang diberikan kepada santrwatinya yang berupa pemajangan di tiang bendera. Dan persoalan tersebut telah diselesaikan sebelumnya.

“Dari pertemuan itu kami tahu bahwa hukuman pemajangan di tiang bendera diberikan oleh OSIS Damora. Sementara pada saat sanksi itu diberikan oleh OSIS para ustdzah mengaku tidak tahu dengan hal tersebut. Ini sangat aneh dan lebih aneh lagi yang melakukan kesalahan satu orang tapi hukuman diberikan kepada semua orang,” sebut M yang diamini oleh orang tua santriwati lainnya.

Saat orang tua walisantri mempertanyakan mengapa ada sanksi setelah hukuman diberikan dan masalah telah dinyatakan selesai, ustadzah dan para orang tua wali sempat berdebat dan bahkan sedikit alot, karena ustadzah mengaku tidak tahu, bahwa para snatriwati yang telah dihukum dan mendapatkan hukuman berikutnya dari pihak OSIS.

M dengan penuh percaya diri mengatakan, kalau anaknya yang dibawa untuk melanjutkan pendidikan ke Damora bukanlah sampah. Dan bahkan, sebut M, saat menempuh pendidikan MI dulu, anaknya selalu juara I dan tidak pernah berkelakuan buruk. Dan dia menyebutkan sengaja melanjutkan pendidikan anaknya itu ke dayah tersebut karena diyakini lembaga pendidikan ini berkelas dengan mutu yang tergolong cukup baik. “Saya kecewa.”

Perdebatan itu ikut disaksikan oleh Kepala Pengasuhan Dayah, Mul. Untuk mencegah perdebatan panjang, Mulyadi melerai dan meminta kedua pihak untuk bersikap tenang, agar masalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Untuk itu Mulyadi siap membuka semua data yang dimiliki terkait para santriwati.

Namun setelah semua data dibuka, tidak satupun santriwati itu berkelakuan buruk, dan bahkan tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah termasuk shalat subuh. “Ada diantara mereka yang tidak shalat berjamaah itu karena di absen tertera huruf H yang artinya haid. Ada juga yang sedikit terlambat dan bukan atas faktor kesengajaan. Makanya kami ini protes dan yang kami protes hanya pada pemberian sanksi ke dua,” katanya.

Atas dasar itulah, para wali santriwati tidak mau berdamai pada ke dua kalinya dan bahkan, M sempat mengeluarkan pernyataan kalau persoalan ini akan dibawa ke ranah hukum dan bahkan M siap mengeluarkan anaknya untuk dipindahkan ke lembaga pendidikan lain. Pada pukul 22:00 pertemuan para wali santriwati dengan penanggungjawab asrama berakhir tanpa ada solusi yang tepat.

Untuk menghadirkan informasi yang berimbang, Waspada yang ikut menyaksikan pertemuan antara wali santriwati dengan ustadzah mencoba mengkonfirmasi Kepala Pengasuhan dayah itu, Mul. Kepada Waspada, Mul menyebutkan kalau dirinya akan meninjau kembali surat putusan (SP) yang dikeluarkan oleh pengasuh terhadap lima santriwati itu. Dan jika nanti dinilai tidak layak, maka SP tersebut akan direvisi.

“Tapi hukuman dipajang di tiang bendera sudah pernah diterapkan di dayah ini dan itu tertuang dalam aturan lembaga. Aturan di Damora ini ada yang tertulis dan ada yang tidak tertulis. Dan semua aturan di dayah sudah disosialisasikan oleh OSIS kepada seluruh santriwati. Dan jika terbukti bahwa ke lima santriwati itu mendapat pemberian hukuman berlebih, maka pihaknya akan memberikan sanksi kepada ustadzah berupa teguran dan SP,” sebut Mul seraya mengaku kalau dia baru mengetahui kejadian ini.

Selanjutnya, Waspada mencoba untuk menggali informasi lebih jauh, tentang ketidaktahuan Mulyadi terhadap kejadian tersebut di dayah dan Waspada pertanyakan bagaimana SP diberikan kepada lima santriwati jika kepala pengasuhan tidak mengetahui adanya kejadian itu di wilayah kerjanya. Dan Mul tetap saja berdalih kalau dia memang tidak mengetahuinya. Dan dia menghentikan wawancara dengan berkata cukup ya cukup dan bergegas masuk ke kantor dengan cara membanting pintu dan menguncinya. (WASPADA/Maimun Asnawi, S.HI.,M.Kom.I).

  • Bagikan