Pemindahan Makam Bernisan Kuno Di Areal Bendungan Keureuto Harus Ada Arti Penting

Laporan: Maimun Asnawi, S.Hi.,M.Kom.I

  • Bagikan

“Pendapat saya, maka inti poinnya hanya satu. Kita semua yang masih hidup ini semuanya adalah ahli waris. Kenapa saya mengatakan seperti ini, karena saya juga menghargai sejarah. Kita semua makhluk sejarah. Untuk itu, jangan ada yang menganggu proses pemindahan makam-makam bernisan kuno tersebut ke tempat yang lebih aman. Pekerjaan PSN Bendung Keureuto tidak boleh terganggu dan tetap bisa dilanjutkan pekerjaannya untuk keberlangsungan hidup orang banyak.”

UNGKAPAN itu disampaikan oleh kepala Proyek Bendungan Keureuto PT. Brantas, Bambang Sumantri ketika menjawab pertanyaan Waspada, Selasa (24/10) pagi. Kata Bambang, pemindahan makam-makam bernisan kuno tersebut harus mengacu pada arti kata penting. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya. Dalam UU itu disebutkan, makam bernisan kuno (cagar budaya) yang bernilai sejarah bisa dipindahkan dan tidak merugikan masyarakat.

Kata Bambang, Tim Investigasi, Inventarisasi dan Dokumentasi dari Dinas Perhubungan dan Pariwisata Provinsi Aceh yang diketuai oleh Kepala Sub Koordinasi Cagar Budaya, Yudi Andika telah melaporkan (memaparkan) hasil temuan di lapangan dalam kegiatan Focus Group Discusion (FGD), Kamis (19/10) di Hotel Diana Lhokseumawe, bahwa makam-makam bernisan kuno itu memiliki nilai sejarah yang cukup tinggi dan wajib untuk diselamatkan, agar tidak hilang sejarah masa lampau di masa kejayaan Kerajaan Sultan Malikussaleh di Kerajaan Samudera Pasai.

“Tim investigasi, inventarisasi dan dokumentasi sengaja dibentuk atas permintaan Bupati Bener Meriah bersama dengan para reje dan orang yang mengaku ahli waris terhadap salah satu makam kuno di daerah gerangan Bendungan Keureuto. Hasilnya, Ketua Tim, Yudi Andika melaporkan bahwa makam-makam kuno itu memiliki nilai sejarah tinggi pada masa Kerajaam Samudera Pasai dan harus dipindahkan,” sebut Bambang Sumantri.

Pada FGD tersebut, kata Bambang Sumantri, semua pihak diundang yaitu Forkopimda dari Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Bener Meriah. Juga turut diundang Pak Lahad yang mengaku sebagai ahli waris dari salah satu makam kuno di sana. Selain itu turut mengundang para tokoh dari Gayo.

Mereka semua diundang, kata Bambang Sumantri untuk mendengar hasil temuan lapangan oleh teman-teman dari Cagar Budaya Aceh, agar semua pihak mengerti tentang makam kuno tersebut. Seperti apakah makam-makam itu. Bernilai sejarah atau tidak. “Inilah tujuan FGD itu kita buat. BWS Sumatera I ingin membuka sebesar-besarnya untuk mengetahui sejarah yang dikandung oleh makam-makam bernisan kuno itu. Apakah makam-makam itu merupakan warisan sejarah yang perlu untuk diselamatkan,” tanyanya.

Mengapa pihaknya membuka kesempatan itu selebar-lebarnya, karena kata Bambang Sumantri, ada pihak yang menggaungkan bahwasanya, PT Brantas dan Abipraya juga BWS Sumatera I tidak memanusiakan manusia. Proses relokasi makam-makam kuno itu yang dilakukan pihaknya pada Agustus lalu dituding dilakukan tidak sesuai Syari’at Islam.

“Seperti itu isu-isu yang berkembang. Isu tersebut digaungkan oleh seseorang yang mengaku ahli waris dari salah satu makam kuno di daerah genangan Bendungan Keureuto. Maka kita buat kajian. Kita buat FGD untuk membuktikan bahwa kita kooperatif dan tidak menutup-nutupi. Kalau hasil temuannya nanti menghasilkan rekomendasi bahwa makam-makam itu masuk dalam cagar budaya, maka untuk menyelesaikan gejolak antara pihak yang mengaku ahli waris dengan mengacu pada arti penting,” sebut Bambang.

Arti penting yang dimaksud oleh Kepala Proyek Bendungan Keureuto itu adalah kepentingan mana yang harus didahulukan. Kalau cagar budaya, maka sesuai dengan UU Nomor 11 Tahun 2010, makam-makam bernisan kuno itu dapat dipindahkan. Lalu kepentingan selanjutnya, Bendungan Keureuto sengaja dibangun untuk keberlangungan hidup masyarakat ataupun manusia yang hidup di sisi hilir. “Kita tinggal memilih yang mana,” tanya Bambang.

Secara pribadi, kata Bambang Sumantri, dari tim PSN, makam-makam bernisan kuno itu bisa dipindahkan dengan harapan masyarakat dapat menerima hasil FGD yang telah dilaksanakan, Selasa (19/10) pagi di Hotel Diana Lhokseumawe.

Intinya, sambung Bambang, tidak ada lagi muncul isu-isu ataupun berita miring bahwasanya persoalan makam dengan nisan kuno telah terbuka jelas bahwa makam tersebut bisa dijadikan cagar budaya dan bisa dipindahkan ke lokasi yang lebih aman dan mudah diakses oleh siapapun. Dan nanti akan melahirkan buku sejarah tentang peradaban kuno di pedalaman Paya Bakong, Aceh Utara.

“Pada saat relokasi awal yang dilakukan oleh tim proyek kejadiannya bukan seperti cerita yang berkembang bahwa kita tidak memanusiakan manusia. Itu salah. Mengapa salah, karena sebelum relokasi kita lakukan pada Agustus lalu lebih dulu kita panggil alim ulama, tokoh masyarakat dari dua kabupaten dan kemudian kita gelar doa bersama. Relokasi kita lakukan sesuai hukum islam. Ada yang menyebutkan kami merelokasi makam itu seperti penganut animisme itu terlalu kasar. Kita ingin membuktikan sevara data,” urainya panjang lebar.

Menjawab Waspada, Bambang menjelaskan, pada relokasi awal, tim proyek telah merelokasikan makam-makam kuno itu sebanyak 58 atau 60 makam. Jumlah total makam bernisan kuno doi daerah hulu sebanyak 100-an makam.

Mengacu pada arti kata penting, kata Bambang mengulangi, maka makam-makam bernisan kuno itu penting bagi sejarawan dan arkeologi untuk mempelajari sejarah dan kebudayaan masa lampau. Itu artinya penting. Karena itu penting, supaya tidak hilang atau tenggelam di daerah genangan Bendungan Keueuto yang membuat sejarah itu punah, maka harus dipindahkan.

“Dengan dipindahkan akan terjaga sejarah dan kebudayaan yang terkandang dari makam-makam bernisan kuno tersebut. Dan arti penting berikutnya adalah perlu diperjuangkan keberlangsungan hidup masyarakat yang tinggal di hilir sungai,” demikian penjelasan Kepala Proyek Bendungan Keureuto dari PT. Brantas, Bambang Sumantri. WASPADA.id

  • Bagikan