Tafakur Hadis Hasan (Dua Wajah Keabsahan Dalil Hukum)

Oleh Dr. Tgk. H. Zulkarnain, MA (Abu Chik Diglee)

  • Bagikan
Tafakur Hadis Hasan (Dua Wajah Keabsahan Dalil Hukum)

Hadis Hasan secara sederhana artinya adalah hadis yang baik. Hadis ( حديث ) secara bahasa artinya kabar, berita, cerita, sesuatu yang baru. Secara terminologi hadis diartikan ما اضيف الى النبي ص قولا او فعلا او تقريرا او صفة ( al Tirmisi, Manhaj Dzawi al Nadzar, 1974 hal.8). Hasan berasal dari bahasa Arab حسن – يحسن – حسنا artinya خير(baik), فعل الحسن (berbuat kebaikan), لا طفه ( memperlakukan dengan baik), dan صار حسنا (menjadi baik).

Kata hasan oleh imam Tirmidzi diartikan ما تشتهيه النفس و تصيل اليه artinya, sesuatu yang diinginkan dan menjadi kecendrungan jiwa atau nafsu (Sunan al Tirmidzi, juz 1, hal.76). Nomenklatur hadis hasan untuk pertama kali dimunculkan oleh imam Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin al Dahhak al Sulami al Tirmidzi (Lahir 825 M, dan wafat 892.M).

Menurut imam al Tirmidzi, hadis hasan adalah كل حديث يروى لا يكون في اسناده ما يتهم با الكذب ولا يكون الحديث شاذا و يروى من غير وجه نحو ذالك artinya, Tiap tiap hadis yang sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta, tidak ada kejanggalan, dan hadis itu diriwayatkan pula melalui jalan lain.

Dalam definisi imam Tirmidzi di atas, tidak disebutkan dengan tegas tentang اتصل السند (bersambungnya sanad), بنقل العدل (dinukilkan dengan adil), dan ضابط (hafal) baik secara صدور atau قلبى (hafalan tidak tertulis) maupun secara ستور atau كتابى (hafalan dengan menyimpan tulisan). Dengan demikian, hadis hasan dalam pandangan imam Tirmidzi adalah hadis yang belum memiliki kesempurnaan ketersambungan sanad, keadilan sanad dan kedhaabithan sanad secara sempurna seperti halnya hadis shahih.

Imam al Thibi mendefinisikan hadis hasan مسند من قرب من درجة الثقة او مرسل ثقة وروي كلا هما من غير وجه وسلم من شذوذ و علة artinya hadis yang sanad sanadnya mendekati derajat tsiqah dan hadis mursal yang sanadnya tsiqah akan tetapi pada keduannya ada perawi lain. Dan hadis hasan itu, terhindar dari syadz (kejanggalan) dan illat (cacat). Imam Tirmidzi dan Al Thibi, keduanya menyebutkan bahwa setiap hadis hasan memiliki sanad lain yang meriwayatkan hadis yang sama.

Hal tersebut menunjukkan bahwa awalnya hadis hasan adalah hadis ضعيف atau lemah dari sisi sanadnya yang kemudian menjadi kuat setelah ada jalur sanad lain yang menguatkannya, definisi ini sebenarnya lebih tepat mengacu kepada pengertian hadis hasan lighairihi (حديث حسن لغيره), artinya hadis hasan karena dibantu oleh keterangan sanad lain. Karena menurut ulama ahli hadis bahwa hadis hasan itu ada dua jenis yaitu, hadis hasan li dzaatihi (hasan dengan sanadnya sendiri), dan hadis hasan li ghairihi (hasan karena dibantu oleh sanad lain).

Adapun defenisi untuk hadis hasan li dzaatihi adalah sebagaimana yang disampaikan oleh imam Ibnu Hajar al Asqalani berikut ini, ما نقله عدل قليل الضبط متصل السند غير معلل و لا شاذ artinya hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kurang kuat hafalannya, bersambung sanadnya, tidak mengandung illat, dan tidak memiliki kejanggalan atau pertentangan (imam Ibnu Hajar al Asqalani, Nukhbah al Fikr, hal 52).

Di dalam definisi di atas, imam Ibnu Hajar al Asqalani tidak memasukkan kesaksian sanad lain sebagai persyaratan hadis hasan, baik berbentuk syaahid (kesaksian sanad di tingkat sahabat) maupun Taabi’ atau mutaabi’ (kesaksian di tingkat tabi’in dan seterusnya).

Adapun berkaitan dengan syarat hadis hasan, para ulama ahli hadis menyebutkan beberapa persyaratan berikut ini: Sanadnya harus bersambung, sanadnya harus adil, tingkat kedhabithan sanadnya di bawah sanad hadis shahih, tidak mengandung penyakit atau cacat, dan tidak mengandung kejanggalan atau pertentangan.

Sedangkan persyaratan hadis hasan menurut imam Tirmidzi adalah, Sanadnya tidak tertuduh dusta, matanya tidak janggal, dan ada sanad dan perawi lain yang meriwayatkan matan tersebut (Dr.Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, 1982, hal 172). Berkaitan dengan keabsahan hadis hasan sebagai dalil hukum, para ulama memiliki dua wajah(pandangan).

Pertama, ulama memandang bahwa hadis hasan, baik yang li dzaatihi mupun yang li ghairihi dapat dijadikan hujjah atau dalil hukum. Dalam hal ini, para ulama hanya berbeda pandangan berkaitan dengan penempatan urutan atau rutbahnya, yang ditempatkan sesuai dengan kedudukannya.

Ada ulama yang tetap membedakan tentang kualitas hadis hasan li dzaatihi dan li ghairihi dengan hadis shahih li dzaatihi dan li ghairihi, dan juga membedakan urutan dan kedudukan antara hadis hasan dan hadis shahih. Namun di di sisi yang lain, ada pula ulama yang tidak membedakan urutan dan kedudukan tersebut, dan bahkan mengelompokkan hadis hasan li dzaatihi dan li ghairihi, shahih li dzaatihi dan li ghairihi, hadis hasan dan hadis shahih dalam satu kelompok yang sama.

Di antara ulama yang berpandangan seperti itu adalah imam al Hakim penulis kitab induk hadis al Mustadrak ‘Ala Shahihain, imam Ibnu Hiban penulis kitab induk hadis Shahih Ibnu Hiban, dan imam Ibnu Khuzaimah penulis kitab induk hadis Shahih Ibnu Khuzaimah. Wajah atau pandangan yang kedua, menyebutkan bahwa hadis hasan li ghairihi yang tidak memiliki dukungan dari sanad lain yang tsiqah, meskipun didukung oleh jumlah sanad dha’if yang banyak, tidak dapat dijadiksn hujjah atau dalil hukum.

Hal ini berarti bahwa hadis hasan li ghairihi yang didukung oleh sanad yang lemah tidak dapat dijadikan dalil dalam penetapan hukum. Logika sederhana untuk mendukung pandangan ini adalah bagaimana mungkin sesuatu yang cacat dikumpulkan dengan banyak cacat yang lain bisa menjadi sempurna. Di antara ulama yang menolak hadis hasan li ghairihi yang tidak didukung oleh sanad tsiqah dari matan yang lain adalah imam Bukhari dan imam Ibnu ‘Arabi.

Sedangkan tentang martabat atau kedudukan sanad hadis hasan menurut imam Al Dzahabi, imam Jalaluddin al Suyuthi dan Al Syakhawi bahwa kedudukan tertinggi sanad hadis hasan ada pada jalur sanad Bahadz bin Hakim dari ayahnya, dan dari kakeknya. Kedudukan sanad tertinggi hadis hasan yang kedua ada pada jalur Amru bin Syu’aib dari ayahnya dan dari kakeknya. Dan yang ketiga dari jalur sanad Ibnu Ishak dari Al Tamimi(imam Abu Abdillah Muhammad al Dzahabi, Tadzkiraat al Hufazh, hal.113, imam Jalaluddin Abdurrahman al Suyuthi, Tadrib al Raawi Fi Syarh Taqrib al Nawawi, 1988, hal.147, Syamsuddin Muhammad bin Abdurrahman Al Syakhawi, al Maqaashid al Hasanah Fi al Ahaadits Li al ‘Iraqi, 1987, hal.174).

Masih banyak hal yang harus digali dari khazanah hadis hasan ini. Semoga kepedulian para pecinta ilmu, dapat terus menelusuri semua relung dan lorong dari khazanah hadis hasan, dengan tekad untuk meninggikan kalimah Allah dan ajaran Rasulullah saw serta pencerahan terhadap wawasan ummat. Wallahu’alam. WASPADA.id

Penulis adalah Dosen Hadits Ahkam dan Hukum Keluarga Islam di Asia Tenggara Pascasarjana IAIN Langsa

  • Bagikan