Chairil Anwar

  • Bagikan

INI bulan Chairil Anwar. Ketika “Surat Kepercayaan Gelanggang” diumumkan, Chairil Anwar memang sudah hampir setahun meninggal dunia. Tapi setiap pemerhati Sastra pasti tau, surat kepercayaan itu dimotivasi oleh  sikap Chairil terhadap dinamika sosial, politik dan kebudayaan yang terjadi pada masa itu.

Satu yang kemudian sangat diingat oleh para peminat dan pengamat kebudayaan di tanah air adalah kalimat pertama dari surat kepercayaan tersebut, yang berbunyi; “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia, dan kami akan meneruskannya dengan cara kami sendiri.”

Kalimat itu lahir dari generasi gelanggang yang notabene diwarnai oleh sikap kepenyairan dan pemikiran seorang Chairil ketika dia masih hidup. Sikap kepenyairan dan pemikiran progresif yang cenderung pada perlawanan terhadap kemapanan.

Angkatan 66 yang muncul kemudian, mempertegas sikap generasi gelanggang itu lewat tindakan yang non kompromis, yang kemudian melahirkan sajak-sajak perlawanan semacam Tirani, Benteng, dan lain-lain dengan tokoh-tokoh utamanya Taufiq Ismail, Toto Sudarto Bachtiar, Mansur Samin dan sebagainya. Sikap dan perlawanan yang demikian itu, dalam bentuk dan warna yang lain, bahkan terus bergema hingga orde baru tumbang. 

Kini, setelah berpuluh tahun sejak kematiannya (Chairil Anwar Wafat 28 April 1949), upaya meneruskan warisan kebudayaan dunia melalui “cara kami sendiri” itu, di berbagai belahan dunia memang terus terjadi. Tak terkecuali di negeri ini. Dalam hal kepenyairan misalnya, “cara kami” dalam meneruskan warisan kebudayaan dunia itu bahkan diperlihatkan dengan sangat ekstrem.

Tahun 70-an, lahirlah puisi-puisi “mbeling” dengan motor utamanya Remy Silado, Jeihan atau Yudhistira Ardi Nugraha melalui majalah Aktuil. Di Medan sendiri, era 80-an lahir pula puisi-puisi Abrakadabra di harian Waspada. Kemunculan genre puisi mbeling ini cenderung “menabrak” kaidah-kaidah ilmu sastra baik dalam penulisan maupun pengucapannya.

Surat Kepercayaan Gelanggang memang bukan satu-satunya warisan dari sikap kepenyairan dan pemikiran Chairil yang mati muda. Masih ada cukup banyak bahan telahaan untuk memahami sikap dan pemikiran Chairil terhadap kebudayaan Indonesia, baik pada masa itu maupun di masa mendatang.

Sebagaimana yang diungkapkan Damiri Mahmud dalam “Rumah Tersembunyi Chairil Anwar”, “Chairil tampak tak pernah atau tak berusaha menyembunyikan kekuatan atau kelemahannya dalam menangkap satu fenomena kebudayaan yang sedang ditulis atau digelutinya. Apabila ia kurang kenal pada satu akar budaya yang sedang ditulisnya, akan kelihatan beberapa kelemahan dan kejanggalan. Tapi sebagai penyair yang penuh talenta, ia dapat menggilas atau mengimbanginya dengan satu kekuatan yang mengejutkan.”

Ya, era Chairil adalah era kepenyairan dengan pengucapan yang lugas dan terbuka untuk segala tafsir. Dan itulah yang tersirat amat kental dalam Surat Pernyataan Gelanggang.  Chairil dan kawan-kawannya, melalui surat kepercayaan itu tidak ingin hanya menjadi pemberi tafsir terhadap kebudayaan dunia, tapi ingin menjadi pelaku dan sekaligus ingin memberinya warna. Dan sikap itulah yang bisa kita baca dari “Deru Campur Debu”, “Kerikil Tajam Yang Terhempas dan Yang Putus” atau “Tiga Menguak Takdir.”

Kini, apakah semangat Chairil dan kawan-kawan untuk meneruskan warisan kebudayaan dunia dengan “cara kami sendiri” itu masih ada?

Masih, dan bahkan sangat banyak benihnya. Namun sayang, dalam banyak kasus, kenyataan menunjukkan semangat itu tidak disertai dengan sikap dan pemikiran yang jelas. Setiap orang – saat ini – sepertinya ingin menjadi penerus warisan kebudayaan dunia dengan caranya sendiri. Setiap orang ingin menjadi pelaku dan pemberi warna dari warisan kebudayaan dunia itu tanpa landasan konsepsi apapun juga.

Hari ini tak seorang pun yang mampu bersungguh-sungguh membuktikan tekadnya unmtuk memberi warna itu dengan perbuatan dan prilakunya. Akibatnya, di dunia sastra misalnya, sampai hari ini kita tetap saja hidup dalam kreatifitas kepenyairan yang stagnan. Dalam imajinasi susastra yang tak beranjak dari mimpi, cinta dan bunga-bunga. Ah! (*)

  • Bagikan