Capres Anies

  • Bagikan
Capres Anies

Senin, 3 Oktober 2022, di NasDem Tower Jakarta Pusat, Ketua umum Partai NasDem (Nasional Demokrat), Surya Paloh, resmi mengumumkan Dr. Anies Rasyid Baswedan sebagai calon presiden partainya di Pilpres 2024.

Pengumuman itu disampaikan Surya Paloh dengan menyebut sejumlah alasan. Di antaranya didasarkan pada sosok Anies yang dinilai terbaik dari semua anak bangsa yang baik. “Inilah kenapa akhirnya NasDem memilih Anies Rasyid Baswedan. Kami mempunyai keyakinan dan pikiran-pikiran yang sejalan baik secara makro maupun mikro,” kata Surya Paloh.

Deklarasi NasDem untuk pencapresan Anies Baswedan itu kontan saja menuai reaksi dari banyak pihak. Ada yang “nyinyir” tentu saja. Tapi tak sedikit yang menyebut deklarasi itu merupakan keputusan cerdas NasDem yang menunjukkan kejelian partai tersebut dalam menangkap momentum.

Di tengah kegalauan banyak partai politik yang masih terus menimbang-nimbang siapa calon presiden yang akan mereka usung, NasDem justru dengan gamblang mengumumkan calonnya. Keputusan itu menunjukkan “seolah-olah” NasDem tak mau terjebak pada politik bargaining. Politik dagang sapi siapa dapat apa.

Jadi, meski sebagai parpol NasDem sadar bahwa suaranya tidak memenuhi persyaratan Presidential Threshold atau ambang batas 20 persen untuk mengajukan calon presiden (capres) sendiri, namun dengan mendeklarasikan calon presidennya sejak awal NasDem mendapat banyak keuntungan.

Pertama, simpati para pemilih Islam yang notabene pendukung Anies, pasti akan langsung ia peroleh. Dan ini langsung terbukti beberapa hari setelah Capres Anies dideklarasikan. Kedua, NasDem akan menjadi partai sentral dalam koalisi yang nantinya terbentuk bersama partai-partai lainnya.

Terkait adanya upaya-upaya “pembusukan” yang dilakukan sejumlah pihak terhadap Anies Baswedan, termasuk oleh Ketua KPK sebagaimana yang dilaporkan oleh Koran Tempo dalam kasus Formula E misalnya, beberapa pengamat politik menilai upaya itu akan sia-sia bahkan sebaliknya justru akan mengundang murka rakyat terhadap KPK sendiri. 

Terkait Formula E itu Anies sudah pernah diperiksa KPK dan tak terbukti melakukan pelanggaran. Bantahan tegas bahkan telah dinyatakan oleh mantan komisioner KPK sendiri, Saut Situmorang. Jadi upaya mengkriminalisasi Anies justru akan menjadi bumerang bagi KPK dan akan berbalik menghantam KPK sendiri.

Dalam suasana dimana keterbukaan informasi sudah sangat terang benderang seperti sekarang ini, upaya-upaya kotor dalam politik pastilah akan segera ketahuan. Ekses lainnya, demokrasi di Indonesia tidak akan pernah bisa maju dan sehat kalau politik kotor terus dilakukan. Menuju Pemilu 2024, kita berharap partai-partai politik itu bersaing secara sehat.

Tapi, terlepas dari segala puja puji akan kapasitas Anies Baswedan sebagai capres, tak sedikit orang yang tetap menginginkan Presidential Threshold (PT) yang menjadi persyaratan pencapresan itu, nol persen. Argumennya jelas. Jika bangsa ini mau semua anak bangsa terbaik mendapat peluang memimpin negeri ini, maka satu-satunya cara adalah dengan memberi peluang yang sama pada semua orang untuk dicalonkan dan mencalonkan diri sebagai presiden.

Sayangnya, sampai hari ini partai-partai yang sekarang sedang berkuasa nampaknya tidak menghendaki hal itu. Partai-partai besar itu tetap menginginkan merekalah satu-satunya penentu siapa yang bisa ditunjuk dan dipilih menjadi presiden. Ironisnya, seringkali pasangan pilihan partai politik pemegang 20 persen PT itu tak sesuai dengan ekspekstasi masyarakat. Dalam konteks hari ini, calon-calon itu bahkan dianggap oleh banyak pihak sebagai titipan oligarki.

Maka, tak heran jika hiruk-pikuk pencapresan seperti mendorong mobil mogok. Persis seperti kemarin saat PSI mendeklarasikan Ganjar Pranowo sebagai capresnya padahal PDIP sebagai partai dimana Ganjar bernaung, belum ngomong apa-apa.

Hal itu pernah juga terjadi pada Pilpres 2019 ketika para politisi dari partai tertentu ramai-ramai mendorong Ketua Umum Partai Gerinda, Prabowo Subianto, agar bersedia menjadi Calon Wakil Presiden mendampingi Jokowi meski pada akhirnya Jokowi memilih Ma’ruf Amin sebagai cawapresnya sedang Prabowo maju sebagai Capres sendiri dari koalisi Partai Gerindra dengan sejumlah partai lainnya.  

Dengan pengalaman itu, pada 2024 dipastikan rakyat Indonesia tidak lagi butuh buku panduan tentang siapa yang layak jadi pemimpinnya. 24 tahun reformasi adalah catatan sejarah yang telah memberi pelajaran sangat banyak tentang bagaimana seharusnya rakyat bersikap menyangkut suksesi kepemimpinan di negeri ini.

Jadi, biarkanlah rakyat memilih pemimpinnya sendiri. Sebab, hanya dengan cara demikianlah pemilihan presiden baru bisa dikatakan berjalan fair dan politik dagang sapi partai-partai politik pemegang PT 20 persen itu bisa dilenyapkan dari tradisi demokrasi di negeri ini.

Ingatlah, sudah tidak masanya lagi rakyat hanya menjadi penonton dan menerima apa saja yang disodorkan partai politik. Dalam hal pemilihan Presiden, partai-partai politik harus sadar bahwa apapun alaannya rakyat harus dilibatkan secara aktif bukan hanya untuk keperluan pengumpulan suara belaka. Begitulah!  (*)

  • Bagikan