Bangsa Ini Baik-baik Saja

  • Bagikan
Bangsa Ini Baik-baik Saja

Oleh Muhammad Syukri Albani Nasution dan Wulan Dayu

Perhelatan Pemilu 2024 sudah semakin dekat, Suasananya sangat hangat, afiliasi masyarakat menjadi terbentur satu dengan yang lain, padahal pemilu adalah jalan masyarakat Indonesia mewujudkan impian menuju Indonesia emas, bergerak dari ruang negara yang berkembang menuju negara yang beradidaya produktif. Mandiri berkemajuan dan berkeadaban prinsip ini akan menjadi cita-cita yang luhur sebab Indonesia sejak 1945 sudah mendeklarasikan kemerdekaan, termasuk merdeka dari penjajahan, perbedaan yang mengkotak-kotakkan.

Terdapat tiga calon presiden yang ditetapkan oleh KPU, apakah mungkin masyarakat Indonesia memandang ketiga calon ini sebagai putra terbaik Indonesia, bukan sebagai pertentangan, bukan sebagai perbedaan, kita cukup letih seperti bertarung di ruang tinju, memukul satu dengan yang lain, padahal kita sama bangsa dan bahasa saling mengayomi mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang disematkan oleh the founding fathers.

Para cendekiawan, tokoh-tokoh yang berafiliasi pada agama, budaya juga kelihatan tersulut syahwat politiknya, sehingga kita semacam dipaksa untuk secara emosional berafiliasi kepada salah satu, dan menjelekkan yang lainnya, padahal kita sudah berulang kali mengikuti pemilu dengan berbagai kondisi dan ritme yang beragam.

Sedih terasa, dari ketiga debat capres yang lalu, kita bukan sekedar mencari tepuk tangan riuh gempita siapa pemenang, karena kompetisi yang dibentuk dalam dialog capres bukan kompetisi menang kalah, tapi kompetisi penguatan komitmen kebangsaan, komitmen ke negarawanan, mewujudkan ke- bhineka tunggal ika -an dan prinsip ke Pancasila-an menjadi nilai dasar yang tidak bisa kita bantahkan. Kepentingan siapa yang sedang kita perjuangkan? Kenapa kita lebih tertarik menyimpulkan satu keadaan dengan bahasa yang cukup tendensius? Siapa yang sebenarnya di antara ketiga calon ini yang tidak punya keterpengaruhan di Indonesia? Siapa yang tidak berkontribusi di Indonesia?

Mereka harus berhasil kita pandang sebagai putra terbaik Indonesia dengan segala kemampuan yang mereka miliki dan keterbatasan, siapapun pemenangnya, masyarakat Indonesia wajib berafiliasi kepada komitmen kesatuan dan keutuhan bangsa Indonesia bukan diam-diam misalnya kita menikmati jalan tol yang sudah banyak menghubungkan satu tempat ke tempat lainnya, tapi di sisi lain kita menghina keberadaannya.

Apa yang kelihatan congkak dari diri kita? Dimana letak kesukaran hidup kita? tingkat produktivitas masyarakat sesungguhnya sudah meningkat dari yang lalu, kita terisolasi dengan isu-isu generik yang dibangun oleh orang-orang yang kepentingannya sangat parsial.

Masyarakat dengan isu keimanan kelihatan tersulut emosinya, seolah-olah mereka hidup dalam belenggu keterasingan di negara yang cukup Merdeka ini, Negara mana yang tidak punya masalah? Pertanyaan ini penting kita jawab untuk melibatkan diri kita pada evaluasi yang mendalam. Saudaraku tentang siapapun pilihannya, bijaklah dengan ketenangan hati dan nurani yang tinggi. sifat dasar seorang pemimpin bangsa adalah negarawan. Agama dan ketaatannya menjadi sektor yang menguatkan secara sempurna. Maka jeleklah kita bila kita mengaitkan orang perorang dengan komitmen keagamaannya, ketaatan secara personalistik tidak bisa kita hakimi, tapi kemampuan mewujudkan bangsa yang demokratis berprinsip pada keadilan dan kemajuan tentunya sejajar dengan prinsip dalam semua agama, baik Islam, Kristen, Budha, Hindu, Katolik dan Konghucu sejajar melihat keagamaan sebagai pondasi utama mewujudkan kepemimpinan yang tunduk pada hukum yang berkeadilan. Bahu membahu menjadi kriteria mewujudkan bangsa yang bersatu.

Jika kita dipaksa untuk mendalami setiap calon Presiden, mari menganalisisnya dengan tenang dan tidak saling membenci. Dari sisi keagamaan siapa yang agamanya bermasalah di antara ketiga calon ini? Kesalahan apa yang mereka pikul sehingga cara kita melihatnya sarat dengan kebencian? Siapa diantara ketiga calon ini yang diutus resmi atas nama keimanan? Siapa yang mengutusnya? Asumsi yang ter- framing sejauh ini sangat mudah meruntuhkan kedamaian, persatuan dan suasana yang sejuk. Justru saat ini masyarakat Indonesia harus mampu menilai dengan bijak, yang berhasil menjaga ketenangan, tidak terjebak dengan pancingan emosional, fokus pada tujuan melanjutkan kemajuan bangsa, kematangan bersabar karena kepentingan yang di perjuangkan bukan tentang diri dan kelompok, tapi kepentingan bangsa dan negara.
Mengkritik dengan jalan menyerupai fitnah bukan jalan yang cerdas untuk merebut hati rakyat, karena rakyat Indonesia sudah dan harus cerdas, nilai itu bukan hanya tentang kemampuan ber-narasi, narasi kosong sering tak menghasilkan solusi, cenderung memecah belah, tidak mencerminkan keadaban, tidak sejuk dan jauh dari suasana persahabatan. Bangsa ini juga terbina dengan suasana Gemah Ripah Loh Jenawi, Toto Tentram Kerto Raharjo.

Jika pun yang kita hajatkan atas nama agama itu menjadi pemenangnya, hajat apa yang kita harapkan bisa terwujud secara praktis? Bukankah semuanya juga ber-proses, dan kalau kita tetap tidak berafiliasi kepada nilai-nilai persatuan dan nasionalisme, berarti kita juga akan membenci orang per orang pada segmen kehidupan dan pemilu berikutnya? Cukup letih kita berjalan di bangsa yang pada setiap 5 tahun sekali harus memukul kawan.

Anies, Prabowo dan Ganjar adalah putra terbaik Indonesia. Mereka bertiga tidak pantas saling menjatuhkan. Dan masyarakat harus cerdas tidak terjebak untuk ber-afiliasi pada perpecahan yang menjadi efeknya. Bila kita memiliki orang tua, meskipun di tengah kesulitan hidup yang mereka alami, di tengah anak dan cucunya, tidak boleh saling menghakimi, karena sejelek-jeleknya permasalahan bagi kehidupan keluarga, sifat mengayomi dan berafiliasi kepada kepentingan keutuhan keluarga menjadi satu-satunya tujuan yang tidak boleh dinafikan.

Berhentilah memakai politik menjelek-jelekkan, selesailah kita pada urusan yang menyiutkan kepentingan bangsa di tengah banyak pekerjaan rumah yang masih menjadi hutang kehidupan. Seharusnya sebagai warga negara yang baik kita ikut berkontribusi positif menetralisir suasana yang panas ini, kepada para negarawan kepada para agamawan kepada para cendekiawan untuk berbahasa jauh lebih santun topo seliro, menghargai satu sama lain, itulah politik identitas yang bagus, dan harus menjadi cerminan kehidupan berbangsa dan ber-Indonesia, tidak ada politik kepentingan pragmatis dan dinasti di negara ini. Jika memang kita tidak setuju, jangan pilih, tapi bukan menjelek-jelekkan, karena sifat dan karakter keagamaan justru mengajarkan kita untuk saling menyembunyikan aib dan kekurangan dan memberikan masukan yang positif untuk perubahan yang kita hajatkan.

Jangan mem-framing memilih pemimpin yang benar dan salah, bahasa ini keliru besar, jika konteksnya Pemilu Presiden, maka semua calon presiden itu sudah benar, jika salah, tak akan mungkin dipilih menjadi calon. Bahasa Bullying seperti ini akan membuat masyarakat terkotak pada fanatik buta (Ta’assub), lahirlah benci membenci, kafir meng-kafirkan, dan setelah pemilu kita harus memulai dari awal lagi.

Pembangunan di Indonesia harus dilanjutkan. Tidak ada alasan kita tidak pandai melihat kehebatan perkembangan Indonesia, jangan kita berbohong pada hati nurani, semua kita sedang mengkaji kepentingan, dan sebaik-baik kepentingan adalah yang berafiliasi kepada keberlangsungan negara Indonesia yang makmur, adil, sejahtera, aman dan tentram. Jika kita sudah berperan aktif mewujudkan hajat dan sudah memiliki afiliasi pilihan politik, maka saatnya lah kita memikirkan ulang secara mendalam, diantara yang kita lihat tingkat responsibilitasnya, pemimpin yang berjiwa topo seliro, mengedepankan pembangunan yang sejalan dengan prinsip keselarasan dan keseimbangan.

Sumatera Utara menjadi destinasi yang cukup sensitif untuk bisa diperebutkan sebagai salah satu wilayah yang aman damai dan sejahtera dalam bingkai demokrasi. Mari berhenti saling mengkotak-kotakkan, dua hal yang menjadi kepentingan kita, pertama, bangsa ini sebagai wujud nasionalisme, kedua tingkat keamanan dan kedamaian berbangsa dan bernegara. nyaman hidup di Indonesia, prinsip kebebasan beragama dan kehidupan sosial. Siapapun yang dipilih akan menjadi hasil dari luasnya terjemahan demokrasi di Indonesia, dan selebihnya kita akan dihadapkan pada kemampuan membersamai perjuangan Indonesia.

Saudaraku setanah air, ini bukan tentang bertaruh untuk memilih siapa dan bagaimana, mari bersumpah atas nama diri sendiri, kepentingan kita adalah kepentingan kebangsaan, dan kita akan meninggalkan Legacy yang besar kepada anak cucu tentang betapa Indonesia ini dipimpin oleh putra-putra terbaik, dan didukung oleh seluruh masyarakat Indonesia. Perbedaan jangan dijadikan benturan politik, kita sudah harus sangat dewasa memahami perbedaan itu sebagai realitas. Pemimpin yang negarawan akan pandai mengalah untuk tidak terlibat pada diskusi yang memperkeruh suasana keamanan dan kenyamanan asal kepentingan keamanan bangsa ini terwujud. Kita mengucapkan terima kasih kepada seluruh Presiden Indonesia yang sejak awal kemerdekaan Indonesia telah membangun komitmen kebangsaan yang tinggi.

Pancasila menjadi simbol yang paling sensitif dan sangat sakral untuk mempertemukan perbedaan, kita hargai itu. 14 Februari 2024, marilah memilih pemimpin yang menengahi semua perbedaan-perbedaan, pemimpin yang tidak ke kiri dan tidak ke kanan, moderat menjadi kata kunci yang mempertemukan antara semua kepentingan, baik itu agama bangsa dan budaya. Jika kita terjebak pada diskusi yang sangat awam. Maka pertanyaannya, seberapa pentingkah kita memiliki hajat untuk sampai kepada negara yang besar? Sejelek apapun kita melihat calon yang tidak akan kita pilih, jika dia terpilih dia akan tetap menguatkan kepentingan bangsa. Semoga ini menjadi penguat untuk seluruh warga Indonesia agar cerdas memilih, dan tidak menghadirkan kebencian atas nama Bangsa Indonesia.

Penulis Dosen UINSU dan warga Kota Medan

  • Bagikan