Muhammadiyah Dan Politik

Oleh Shohibul Anshor Siregar

  • Bagikan
Muhammadiyah Dan Politik

Apakah Muhammadiyah ingin kadernya menjadi Presiden RI, banyak menteri, banyak gubernur, bupati, wali kota dan menjadi pejabat negara pada posisi strategis? Tentu saja. Tetapi ia telah membatasi hasrat itu dengan model keorganisasian serta orientasi kerja sesuai AD/ART

Pertengahan Agustus tahun lalu, di Medan, Muhammadiyah wilayah Sumatera Utara menyelenggarakan sebuah forum koordinasi Politik. Tiga agenda pembahasan utamanya ialah, pertama,  isu kontemporer hubungan Muhammadiyah dan Politik berdasarkan pengalaman empiris dari satu periode ke lain periode pemerintahan.

Kedua, hal ihwal mengenai pengisian personal jajaran organisasi penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu) pada tingkat daerah. Ketiga, persiapan menghadapi Pemilu 2024 pada tingkat daerah.

Muhammadiyah dan Politik

Muhammadiyah sejak awal tak pernah menilai peran dan keterlibatan dalam politik (praktis) sebagai pilihan sikap dan bagian dari aktualisasi diri. Sejak didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah bertepatan tanggal 18 November 1912 Miladiyah di Yogyakarta, untuk jangka waktu tidak terbatas, maksud dan tujuan Muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Akan ditemukan perbedaan pilihan diksi dan kalimat dalam beberapa kali perubahan Anggaran Dasar ini. Tetapi substansinya tak pernah berubah, dan malah terasa lebih menegaskan sifat dan karakter yang tetap ingin diawetkan.

Dengan lambang mentari bersinar bersegi dua belas dengan Muhammadiyah di bagian tengah yang dilingkari dua kalimah syahadah, Muhammadiyah menegaskan dirinya sebagai gerakan Islam, da’wah amar ma’ruf nahi munkar dan Tajdid, bersumber pada al-Qur`an dan as-Sunnah. Muhammadiyah berasas Islam.

Keterlibatan dalam dunia politik orang-orang Muhammadiyah telah terpola dalam tradisi yang kuat, bahkan jauh sebelum proses pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (misalnya melalui BPUPKI dan PPKI). Penyampaian secara berkelakar Rocky Gerung yang sering mengundang tawa audiensnya memang benar, bahwa KHA Dahlan tak pernah berniat bikin parpol atau merebut jabatan-jabatan pemerintahan tertentu.

Anjuran sederhana tetapi tetap kuat diperpegangi warga hingga saat ini tentang diaspora, pergilah ke mana saja dan nanti kembali ke Muhammadiyah. Beberapa aktivis mengartikulasikan dengan tambahan kalimat “jangan menjadi kelapa condong”. Dalam permisalan “kelapa condong” dikandung maksud bahwa lahan tempat tumbuh tanah Muhammadiyah, namun buahnya jatuh ke lahan orang lain. Memang, dalam dunia politik (praktis) segala yang buruk bisa terjadi.

Sebuah penegasan moral yang terkenal dari pendiri dalam kaitannya dengan amanah penyelenggaraan kepemimpinan ialah “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di dalamnya”. Bukan tidak marak diskursus mengenai hal ini yang ingin mendudukkan perkembangan nilai-nilai profesionalitas dalam pengelolaan amal usaha (produktif) Muhammadiyah. Apa pun itu tetap tak jauh dari interpretasi tunggal bahwa seluruh amal usaha Muhammadiyah adalah sarana dakwah belaka.

Mohd Amien Rais adalah sebuah fenomena baru dalam kaitan Muhammadiyah dan politik ketika ia mendirikan partai. Ia resmi mengundurkan diri dari jabatan puncak, Ketua PP Muhammadiyah. Meski tak mudah melihat dampak kehadiran partainya untuk Muhammadiyah, beberapa kader Muhammadiyah pada level daerah dan Pusat terorbit menjadi Pejabat negara.

Orang melihat sesuatu telah berubah dan tak terkendali pada partai yang didirikannya hingga Mohd Amien Rais mendirikan partai baru. Banyak orang melihatnya sebagai refleksi atas nilai-nilai kemuhammadiyahan yang bekerja dalam diri Mohd Amien Rais.

Dengan “membiarkan” urusan politik tak bersintuhan langsung dengan dirinya, bagaimanakah gerangan Muhammadiyah dapat menegaskan pengaruh atas perjalanan negara-bangsa? Tentu model-model dan peluang untuk itu terbuka luas dalam konstitusi. Namun dengan beribu amal usahanya pada sektor pendidikan, misalnya, yang terus mencetak kader-kader untuk mewujudkan manusia muslim berakhlak mulia, cakap, percaya pada diri sendiri, berguna bagi masyarakat, bangsa dan negara, sesuatu yang tak kecil maknanya bagi peradaban terus ditekuninya.

Tetapi membentuk masa depan bangsa melalui pendidikan hanyalah satu di antara kekayaan amal usaha Muhammadiyah. Dengan kekuatan jama’ahnya yang tersebar di dalam dan luar negeri, di dalam maupun di luar pemerintahan, Muhammadiyah tetap berusaha memberi andil untuk bangsa dan negara dan untuk dunia dalam rangka merancang peradaban unggul untuk kemaslahatan semesta (rahmatan lil alamin).

Muhammadiyah tentu memiliki ijtihad tentang kriteria terbaik politisi, negarawan, pemerintahan dan negara, yang secara terus-menerus dia pasarkan menjadi pikiran penting bagi seluruh warganya dan masyarakat di mana saja. Ketika Muktamar 47 di Makassar, ia mengeluarkan pokok pikirannya tentang Indonesia dengan dasar negara (Pancasila) yang dalam bentuk finalnya didokumentasikan menjadi naskah Dar al-Ahdi Wa-Asysyahadah.

Konsep Dar al-Ahdi wa-Asysyahadah ini sesungguhnya menegaskan komitmen keislaman dan keindonesiaan yang dipahami Muhammadiyah tentang sebuah negeri yang bersepakat pada kemasalahatan, dar assalam yang berarti negeri yang penuh dengan kedamaian. Baldah thayyibah wa rabbun ghafur. Hasrat untuk menjadi kelompok rujukan untuk dunia jelas dia punyai dengan segenap peluang untuk dipuji dan dibenci.

Integritas Pemilu

Muhammadiyah merasakan bahwa makin lama dirinya semakin terkurung dalam lingkungan apatisme politik warga. Kecenderungan hubungan rakyat dengan parpol sebelum, semasa dan setelah pemilu, begitu kaya narasi sedih dan menyedihkan.

Pola-pola hubungan dengan para caleg sebelum, semasa dan setelah pemilu, juga tak jauh berbeda dengan yang dialami oleh kelompok lain yang pada dasarnya bertumpu pada kualitas perwakilan yang terus merosot. Evaluasi ketersahutan dan ketidak tersahutan serta peluang memanfaatkan saluran-saluran aspirasi politik rakyat adalah kisah menyedihkan sebagaimana dalam kasus RUU Ciptakerja yang buruk itu, untuk menyebut sebuah contoh.

Banyak lagi menyangkut hal-hal khas daerah dalam bidang politik yang dibincangkan dalam forum yang meski dipandang penting, namun tak dapat difahami jika hanya mengajukan sebuah gugatan atas integritas pemilu.

Tetapi para ahli yang begitu serius mencurahkan pikiran pada Pemilu dan teknis pelaksanaannya terlihat seolah berusaha mengenali hutan belantara hanya dengan membedah sebatang pohon belaka. Artinya, Pemilu hanyalah sebuah entry point belaka yang menyambungkannya secara filosofis dengan maslahat rakyat tampaknya tak begitu diperhatikan.

Hulu persoalan ada pada demokrasi yang jika dievaluasi secara objektif tentu tak memadai jika hanya menelaah fenomena terbatas dalam sebuah negara. Sejak awal demokrasi yang dipasar-paksakan ke sekuruh dunia bahkan telah diwarnai oleh perang dan pertumpahan darah yang dirancang. Bagi Barat demokrasi tampaknya hanyalah modus baru untuk penjajahan melanjutkan hegemoni penuh noda.

Barangkali baiklah ditegaskan bahwa demokrasi hanyalah sebuah penamaan untuk sebuah sistim pemerintahan yang rancang bangun dan isinya harus terus diperbaiki dan tak perlu 100 persen membebek ke Barat. Makna kompatibilitas demokrasi harus dibalik dengan seberapa besar ketidak-sesuaian nilai-nilai demokrasi yang diajarkan dengan nilai-nilai lokal yang tak boleh dipandang rendah dengan penuh keserta-mertaan yang ceroboh.

Karena itu jika ada kader yang berbakat dan memiliki peluang untuk direkrut dalam organisasi penyelenggara pemilu, tak perlu dianggap tak penting. Kepada mereka perlu diingatkan tragedi kelapa condong. Muhammadiyah tahu banyak data tentang ketakterpujian proses rekrutmen dan kinerja penyelenggara Pemilu yang menggoreskan cacat moral bangsa.

Menyikapi Pemilu 2024

Muhammadiyah memiliki anggota yang merangkap sebagai kader partai, seluruh partai yang ada. Tentu wajar mereka berkeinginan dan terus berusaha beroleh dukungan Muhammadiyah. Banyak cara yang dilakukan, tetapi modus penyederhanaan makna demokrasi dengan mobilisasi berdasarkan ganjaran material diakui telah cukup membahana saat ini dan Muhammadiyah tak dapat berbuat banyak.

Telah luas diketahui bahwa negara-negara dengan tingkat korupsi yang tinggi dan institusi demokrasi yang lemah sangat rentan terhadap gangguan ketentraman pemilu. Sarah Birch (Electoral Violence,  Corruption, and Political Order, 2020), meneliti bagaimana aktor korup menggunakan kekerasan untuk mendukung bentuk manipulasi Pemilu lainnya, termasuk pembelian suara dan pengisian surat suara.

Sebagaimana ditegaskan oleh Pippa Norris (Election Watchdogs: Transparency, Accountability and Integrity, 2017), terlalu sering Pemilu di seluruh dunia sangat cacat atau bahkan gagal. Padahal kontestasi semacam itu akan merusak kepercayaan pada otoritas terpilih, merusak jumlah pemilih, memicu protes, memperburuk konflik, dan kadang-kadang menyebabkan perubahan rezim.

Pemilu yang dikelola dengan baik, dengan sendirinya, tidak cukup untuk keberhasilan transisi menuju demokrasi. Tetapi kontes yang cacat, atau bahkan gagal, dianggap merusak kemajuan yang rapuh.

Muhammadiyah tahu bahwa pelanggaran serius hak asasi manusia yang merusak kredibilitas Pemilu dikecam secara luas. Namun, demokrasi yang sudah lama berdiri jauh dari kebal terhadap penyakit ini. Namun, ketika masalah terungkap, apakah ada yang dimintai pertanggungjawaban dan apakah solusi yang efektif diterapkan

Muhammadiyah hanya mampu menyerukan partisipasi warganya dan berharap negara makin baik ke depan.

Penutup

Apakah Muhammadiyah ingin kadernya menjadi Presiden RI, banyak menteri, banyak gubernur, bupati, wali kota dan menjadi pejabat negara pada posisi strategis? Tentu saja. Tetapi ia telah membatasi hasrat itu dengan model keorganisasian serta orientasi kerja sesuai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.

Diskursus tentang jarak dengan politik bukan tak pernah marak di lingkungan internal.  Tetapi tetap saja penegasan tak pernah melemah bahwa untuk mencapai maksud dan tujuannya itu, Muhammadiyah ingin terus melaksanakan da’wah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid yang diwujudkan dalam usaha di segala bidang kehidupan.

Usaha Muhammadiyah juga diwujudkan dalam bentuk amal usaha, program, dan kegiatan, yang macam dan penyelenggaraannya diatur dalam Anggaran Rumah Tangga dan penentu kebijakan dan penanggung jawaban semua amal usaha, program, dan kegiatan itu adalah Pimpinan Muhammadiyah di semua tingkatan.

Mungkin itulah bagian dari potret politik Muhammadiyah.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSUKoordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

  • Bagikan