Kisah Ribuan Ha Lahan ‘Tak Bertuan’ Di Batahan

  • Bagikan
Ilustrasi
Ilustrasi

PERTAMA mengunjungi Kec. Batahan, Kab. Mandailing Natal, Sumatera Utara — beberapa hari lalu — saya langsung terhenyak. Negeri kaya raya, dengan panorama alam sangat indah, kok, bisa?

Dari negeri ini, mendapat banyak informasi dari warung kopi sampai pelabuhan, dari masyarakat nelayan sampai petani. Seperti sedang memburu harta karun? Ya, mencari ribuan ha lahan ‘tak bertuan’ di Batahan. Tapi, ini bukan candaan, ini serius.

Alkisah, pertengahan Maret 2023, tim Gerakan Untuk Negeri melakukan survei awal pemberdayaan masyarakat. Batahan, berbatasan langsung Provinsi Sumatra Utara dan Sumatera Barat, berada di hilir Sungai Batang Batahan, bermuara ke Samudera Indonesia. 

Nah, dari Natal, begitu memasuki mulut menuju Batahan, kisah sedih pun muncul. Sarana transportasi menuju Pantai Batahan, tak hanya sebatas geleng-geleng kepala. Ya Allah, jalanan kupak-kapik seperti begini, kok, dibiarkan?

Syukurlah, begitu memasuki lokasi pantai, kepenatan amat sangat pun seperti terbayarkan sudah. Pantai Batahan, indah luar biasa seperi ‘surga’ tersembunyi. Keelokan Pulau Tamang di sudut sana, susah dilukiskan dengan kata-kata. Sangat indah. Subhanallah.

Ironisnya, pantai amat sangat memukau itu, tak serta-merta membawa kemaslahatan masyarakat luas. Dari pandangan kasat mata saja bisa dilihat, jalanan rusak parah, membuat orang berpikir dua kali untuk datang lagi.

Sedangkan potensi pantai juga kurang dimaksimalkan. Terlihat, pantai ‘manyomak’, sampah berserakan di pinggir pantai, bahkan — maaf — kotoran lembu atau kerbau berserakan. Na’udzubillah.

Sebenarnya, dilansir Wikipedia, Kec. Batahan, dulunya adalah terdiri dari beberapa huta (desa) yang masuk Kec. Natal, Kab. Tapanuli Selatan.

Kemudian, pada 1992, Kec. Natal dimekarkan menjadi tiga kecamatan yakni: Kec. Natal, Kec. Muara Batang Gadis dan Kec. Batahan.

Pada 1998, Kab. Tapanuli Selatan dimekarkan menjadi dua kabupaten, yaitu: Kab. Tapanuli Selatan dan Kab. Mandailing Natal. Kec. Batahan menjadi bagian dari Kab. Mandailing Natal.

Pada 2007, Kec. Batahan dimekarkan menjadi dua kecamatan: Kec. Batahan dan Kec. Sinunukan. Kec. Sinunukan terbentuk seiring perkembangan, dulunya wilayah transmigrasi.

Kec. Batahan luasnya 50.147 ha, memiliki 18 desa, yang satu di antaranya kelurahan (Kelurahan Pasar Baru Batahan).
Mayoritas penduduknya beragama Islam. Dilihat dari etnis, Kec. Batahan didominasi warga keturunan Minang, Melayu, Mandailing dan Jawa.

Mata pencaharian penduduk selain perikanan tangkap, juga berkembang perkebunan kelapa sawit dan karet alam.

Lahan Tak Bertuan

Dalam perjalanan di Batahan, sejumlah warga menceritakan kondisi sebenarnya. Intinya, mereka sangat bangga sebagai putra dan putri Batahan yang alamnya kaya raya. Tapi, berbicara kesejahteraan, kok, jadi sangat menyedihkan, ya?

Beberapa warga mempertanyakan hal yang sama. Mereka menceritakan, ada lahan perkebunan masyarakat ribuan hektar ‘tak bertuan’.

Tak bertuan? Sebenarnya, pemiliknya ada, perusahaan raksasa, tapi dituding tidak pro-rakyat dan punya banyak masalah, salah satunya bermasalah dengan masyarakat.

“Memangnya, lahan itu milik nenek moyangnya. Itu jelas-jelas lahan nenek moyang kami,” ujar salah seorang warga dijumpai di Batahan, dengan nada ringgi.

Belakangan, selain berita PT RPR dan warga Sungkuang 1, beberapa hari belakangan justru menyedot perhatian luar biasa mengenai: lahan perkebunan masyarakat ribuan hektar ‘tak bertuan’.

Di grup Forum Anak Madina, selain soal PT RPR, juga jadi fokus perhatian sejak Kamis (13/4) malam sampai Jumat (14/4) siang, membahas lahan masyarakat di Batahan.

Mencuat keinginan, menuntut perusahaan raksasa itu. “Penguasaan lahan KUD Pasar Baru Batahan selama produksi sampai hari ini di luar 1.726 ha,” ujar politisi ini.

Dikatakan, kurang produktifnya lahan perkebunan yang diserahkan KUD Pasar Baru Batahan karena kurang maksimalnya penananan dan pemeliharaan.

“Penguasaan lahan 1.724 ha setelah menghasilkan (profit) mulai 2022, artinya ada 10 tahun dikuasai setelah produksi tanpa profit,” ujarnya.

Irwan Daulay, sambil bernada canda, mengungkapkan, kita ambil alih saja nanti, “jadi milik daerah bang hahahahahah. Biar ada kebun kita,” ujar pengamat ekonomi Madina, mantan dosen Unimed, pengusaha properti.

Mendengar ini, si abang mengungkapkan, di depan semua petinggi holding lahan perkebunan yang tidak ada legalstanding, bagus dibagi-bagi saja untuk rakyat.

Cocok do irasa homu, koum?

WASPADA.id/Irham Hagabean Nasution

  • Bagikan