Kisah Siti Syawaliyah, Wasit Wanita Pertama Di Aceh

  • Bagikan
Kisah Siti Syawaliyah, Wasit Wanita Pertama Di Aceh
SITI Syawaliyah bersama perangkat pertandingan lainnya serta kapten tim. Waspada/Munawardi Ismail

TAK ada perempuan yang memilih karier menjadi wasit di Aceh. Konon lagi wasit sepak bola. Siti Salawiyah adalah pengecualian. Gadis yang akrab disapa Siti itu tercatat sebagai wasit perempuan pertama di tanah Rencong. Ia pun sudah punya lisensi resmi. Hanya saja, kompetisi yang tak ada. 

Meski tanpa turnamen sepak bola khusus wanita di Aceh, namun tak menyurutkan minat Siti. Ia tak putus asa. Siti tetap menekuni dan mempertebal pengalamannya dalam memimpin pertandingan. Meski, itu dia lakukan di pertandingan tak resmi. 

Wajah Siti pun makin akrab dengan para pemain bola. Khususnya di Banda Aceh dan Aceh Besar. Ia masih memimpin tim-tim kecil di antara para lelaki di tengah kucuran peluh. “Tanggapan pemain biasa saja, saya sih profesional saja,” tukas Siti kepada saya baru-baru ini. 

Siti mengakui, tak ada netra nakal yang membuatnya merasa tak nyaman saat tampil di lapangan. Baik ketika menjadi wasit tengah maupun menjadi asisten wasit. “Sejauh ini tak ada bahasa verbal yang mengganggu saya,” ujar gadis yang lahir pada 30 Desember 2000 ini. 

Memang saat ini, Siti masih fokus kuliah. Pun begitu, ia sudah mulai merancang program kariernya di dunia perwasitan. Apalagi kini dia sudah punya lisensi C-2 nasional ditangan. Izin ini sudah bisa membuat Siti memimpin pertandingan level provinsi.

Itu tak lantas membuat Siti puas. Ia masih menyimpan cita-cita tinggi di kancah sepakbola negeri ini. Khususnya sepak bola wanita. Apalagi di tanah air, saat ini ada Liga Putri, Tim nasional wanita juga. “Suatu saat saya ingin menembus level nasional. Ya, bisa memimpin di Liga Putri,“ tukas dia bersemangat. 

Untuk merajut cita-cita itu, Siti harus bersabar dulu. Saat ini, dia belum lari jauh karena terhalang urusan masa depan. “Saya masih kuliah. Sudah semester 7,” ucap mahasiswi FKIP prodi Perjaskes Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh ini. “Jadi harus selesaikan kuliah dulu.”

Karena alasan itulah yang membuat Siti harus menunda rencana berkiprah di kancah nasional. Pun begitu, sembari kuliah Siti masih bisa mengasah diri dengan mengawasiti pertandingan sepak bola di tingkat arus bawah atau grassroot. Seperti pertandingan antarkampung atau tarkam. 

Bukan hanya itu, ada juga turnamen-turnamen sejenisnya yang digelar dalam agenda tertentu. Misalnya saat 17 Agustus, turnamen menyambut Hari Sumpah Pemuda dan lainnya. Di situlah Siti belajar serta menempa diri. Menguatkan mental juga. 

Sepertinyamental Siti Syawaliah bak sekerat baja dalam tubuh manusia. Bagaimana tidak, gadis yang juga tercatat sebagai atlet ini, harus punya mental setangguh karang. Harus kokoh pada rencana awal. Sebab, dia sosok langka. Terutama di Aceh. 

Konon lagi karier wasit yang selama ini kadung dipahami kerjanya para lelaki. Jadi, seakan-akan hal tersebut masih tabu dilakukan kaum hawa. Nyatanya, tidak bagi Siti. Ia enjoy saja. Lingkungan juga mendukung. Malahan keluarganya tak menganggap itu sebuah masalah. “Awalnya keluarga agak syok, tapi setelah melihat ketekunan saya, mereka berbalik mendukung,” tutur Siti. 

Keluarga Siti sempat mewanti-wanti. Apalagi banyak informasi yang acap tak berimbang. Keluarga Siti khawatir, anaknya akan menjadi korban amukan penonton, dilempar pendukung dan banyak hal “mengerikan” yang duluan hinggap di keluarga Siti. 

Kisah Siti Syawaliyah, Wasit Wanita Pertama Di Aceh
SITI menyisir sisa luar lapangan. Waspada/Munawardi Ismail

“Apalagi, ayah dan ibu dulu sering mendengar dan menonton tivi ada wasit yang dikeroyok, dipukul dan lainnya. Itu yang membuat mereka was-was,” ujar anak kedua yang lahir dari pasangan Muhammad dan Ratnawati itu. 

Keluarganya tinggal di Langsa. Ia anak kedua dari empat bersaudara. Ayahandanya belum setahun meninggal dunia. Sang bunda, pedagang rempah dan sayur-mayur di Pasar Kota Langsa. “Jualan di kaki lima untuk kebutuhan keluarga,” kata Siti. 

Karena sikap keluarga yang awalnya kurang setuju dengan pilihan karier Siti, lalu Asosiasi Kota PSSI Langsa ikut meyakinkan kedua orang tua Siti. “Itu sebelum ayah meninggal karena sakit-sakitan,” urai Siti. “Orang tua juga melihat langsung ke lapangan saat ada pertandingan,”  Akhirnya keluarga mendukung. 

Antara Atlet dan Wasit 

Tapi, sejatinya kiprah Siti di kancah olahraga tak ada halangan dari keluarga. Sebab, sedari awal dia memang seorang atlet. Semuanya berobah ketika suatu hari di tahun 2018 silam, saat ia latihan di Stadion Langsa. Ia latihan rutin di sana dalam rangka persiapan Pekan Olahraga Aceh atau PORA. 

Sebagai atlet, Siti ada di jalur atletik. Sebagai pelari Siti pernah tampil di Pekan Olah Raga dan Seni (Porseni) pada tahun 2016 di Takengon. Juga mengikuti PORA Jantho pada tahun 2018. Ia juga ikut lomba atletik pada tahun 2019 di Langsa. Di tahun yang sama, ia tampil di Open 5 Km di Sabang.

Menjadi atlet lari, tentu selaras dengan kerja wasit yang butuh energi besar. Untuk menjaga fisik, Siti rutin berlatih. Intensitas latihan menjadi padat menjelang akan dimulainya kejuaraan. Seperti halnya saat ia bertemu dengan seorang wasit di kotanya; Langsa.

“Saya disarankan menjadi wasit oleh Bang Mukhlis. Apalagi saat itu di Aceh belum ada wasit perempuan,” cerita Siti saat berjumpa dengan Mukhlis pada hari saat ia latihan persiapan ke PORA di Jantho, Aceh Besar. “Saya latihan di Stadion Langsa bersama atlet lainnya,”

Mukhlis ini seorang wasit asal Kota Langsa. Ia acap menjaga kebugaran dengan latihan rutin di Stadion Langsa yang tak lain markas PSBL. PSBL saat ini bermain di Liga 3. Di kompetisi tertinggi di tanah air, Mukhlis tercatat sebagai asisten wasit Liga 1. 

“Beliau yang ajak. Awalnya saya juga takut jadi wasit karena sering mendengar diamuk penonton. Tapi Bang Mukhlis terus meyakinkan. Saya jadi penasaran. Akhirnya saya belajar dua minggu dengan dia,” urai Siti.

Kata Siti, dua pekan itu hanya untuk belajar informasi dasar yang lantas amat membantunya saat mendapat pendidikan resmi. Ya, jelang akhir tahun 2019, Siti mengikuti pelatihan Lisensi Wasit C-3 di Langsa. Ia Lulus. Siti makin percaya diri. 

Tak puas dengan C-3, ia ingin kariernya menanjak. Komitmennya membuncah. Ia pun mengikuti pelatihan serupa. Kini setingkat lebih tinggi, yakni Lisensi C-2. Kursus ini berlangsung pada tahun 2021 di Padang, Sumatera Barat. Siti juga lulus. 

Dengan sertifikasi itu, ia sudah bisa memimpin pertandingan yang menjadi wewenang Asprov, seperti Soeratin Cup, Liga 3 zona provinsi serta turnamen resmi lainnya. Ia pun makin rutin bertugas, meski masih di level tarkam. “Kalau dihitung-hitung sudah lebih ratusan pertandingan tampil. Ada sebagai wasit tengah, asisten, wasit tunggu,” ujar dia. 

Kini, Siti sedang berancang-ancang untuk ikut kursus wasit Lisensi C-1 Nasional. “Rencananya 17 Desember nanti di Semarang,” urai dia. Dengan begitu, peluang memimpin laga di nasional, khususnya Liga Putri sangat terbuka, asalkan bisa lolos tes. 

Jika pun belum berhasil, ia mengaku tak ingin putus asa. Siti bertekad untuk berjuang terus dan berusaha memperbaiki performa. Apalagi, dia secara tersirat sedang ingin “mengampanyekan” bahwa perempuan bisa terlibat diberbagai lini. Tak terkecuali wasit. 

“Saya ingin wanita-wanita di Aceh yang punya bakat dan keinginan di bidang tertentu untuk tidak ragu-ragu unjuk diri. Selama itu positif dan bermanfaat bagi kita, ya sudah jalani saja,” pungkas dara Capricorn ini. 

Kisah Siti Syawaliyah, Wasit Wanita Pertama Di Aceh
SITI tak gentar dikepung para lelaki. Waspada/Munawardi Ismail

Apalagi, Siti menyadari cukup banyak perempuan yang seakan belum sadar dengan potensi dalam dirinya. Oleh sebab itu, Siti mencoba menempuh jalan yang berbeda. Sehingga bisa membuka wawasan dan netra perempuan lain. 

“Lakukanlah apa yang kamu sendiri meyakininya itu baik dan dapat memberikan kebaikan di masa depanmu. Jadi, kenapa mesti ragu dan takut. Karena perempuan juga punya peluang yang sama dengan kaum laki-laki,” tutur dia. 

Siti juga mengaku termotivasi dengan perempuan yang banyak tampil di ranah publik. Baik itu bidang politik, ekonomi atau bidang lainnya. Ia memberi contoh seperti kiprah Sri Mulyani, Menteri Ekonomi, atau Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan perempuan yang menjadi ketua parlemen seperti Puan Maharani. 

Bagi Siti, mereka cukup memberi inspirasi. Karena itu, Siti pun mencoba melakoninya sesuai dengan bidang yang ia geluti. Salah satunya dengan menjadi atlet dan lebih serius lagi menjadi wasit. 

Mimpi itulah yang membuat Siti ingin terus melangkah. “Saya sudah mencobanya dengan menjadi wasit pada permainan para lelaki. Alhamdulillah tidak ada masalah,” tutup Siti Syawaliyah mengakhiri secuil kisah hidupnya. *Munawardi Ismail



  • Bagikan