Penahanan 4 Tersangka Suap CPO Bukti Pengusaha Sawit Semakin Serakah

  • Bagikan


MEDAN (Waspada): Anggota DPRD Sumut Zeira Salim Ritonga (foto) dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mengapresiasi langkah Kejagung RI yang menahan 4 tersangka terkait penerbitan surat izin ekspor minyak sawit mentah/Crude Palm Oil (CPO).

“Penahanan itu memberi bukti bahwa pengusaha sawit semakin serakah ingin mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya,” kata Zeira kepada Waspada di Medan, Rabui (20/4).

Dia mengomentari 4 tersangka seorang pejabat Kementerian Perdagangan dan 3 petinggi Perusahaan Kelapa Sawit besar, terkait pengurusan izin ekspor minyak sawit mentah/Crude Palm Oil (CPO).

Menyikapi ini, Zeira berpendapat, oligarki begitu mempengaruhi kebijakan di pemerintahan. Sehingga kementerian yang seharusnya menjaga kuota ekspor dengan memperhatikan Domestic Market Obligation (DMO), malah berbuat sebaliknya, dengan mengeluarkan persetujuan ekspor CPO.

Ditambahkan, penentuan DMO sebesar 30% oleh pemerintah sebenarnya untuk menjaga pasokan kebutuhan dalam negeri. Termasuk menjaga suplai and demand pabrik minyak goreng.

“Tetapi karena harga ekspor CPO sedang tinggi, dan permintaan di luar negeri banyak, mereka jadi rakus,” ungkapnya.
Kasus ini, lanjut Zeira, bukan hanya menimbulkan kerugian negara, tetapi kerugian perekonomian negara.

Langka

Karena akibat kuota DMO yang berkurang, minyak goreng terdampak menjadi langka dan mahal. Sehingga pemerintah terpaksa mengeluarkan uang dari pajak rakyat untuk BLT, agar masyarakat mampu membeli minyak goreng yang mahal.

“Jadi uang negara dikeluarkan, untuk mensubsidi kerakusan mereka. Ini kerugian perekonomian negara. Bukan saja kerugian keuangan negara. Ini sudah melampaui batas. Padahal DMO dan DPO (Domestic Price Obligation) adalah atensi langsung presiden, dan yang menjadi garda depan untuk menjaga adalah kementerian perdagangan,” urainya.

Diungkap Zeira, padahal selama ini perusahaan kelapa sawit besar, termasuk 3 yang ditetapkan Kejagung terlibat, yaitu PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Musim Mas dan Permata Hijau Grup adalah penerima dana triliunan rupiah dari program proyek BioDiesel dari BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit).

Dari data BPDPKS, seperti dilansir Majalah Tempo, sejak 2005 hingga 2021, PT Wilmar Grup menerima Rp. 39,52 triliun. Sedangkan PT Musim MAS Grup menerima Rp. 18,67 triliun. Dan Permata Hijau Grup menerima Rp. 8,2 triliun.

Dan dari total 6 kegiatan pemanfaatan dana BPDPKS yang berasal dari pungutan ekspor CPO dan produk turunannya, ternyata 80% digelontorkan kepada sekitar 10 perusahaan besar Kelapa Sawit untuk subsidi program BioDiesel.

“Sementara dana untuk peremajaan sawit rakyat pada tahun 2016 hingga 2021 misalnya, hanya 5 persen, atau sekitar Rp. 6,59 triliun. Jadi pantas saja kesejahteraan petani sawit tak pernah dirasakan dengan adil. Apalagi keinginan Pemerintah Provinsi penghasil agar mendapat Dana Bagi Hasil (DBH), sudah pasti tak akan pernah terealiasi,” ungkap Zeira.

Celakanya lagi, seperti ditulis Tempo, konsep pengumpulan dana dari pungutan ekspor yang dikumpulkan di BPDPKS penggunaannya ditentukan oleh Komite Pengarah, yang dipimpin Menko Perekonomian, melibatkan empat pengusaha Sawit besar dalam rapat terkait program BioDiesel.

“BPDPKS hanya jadi kasir aja, ikut apa keputusan rapat-rapat itu. Jadi jangan heran kalau Komisi Pemberantasan Korupsi pernah menyatakan bahwa ada kelebihan biaya program subsidi BioDiesel yang merugikan negara sebesar Rp. 4,2 triliun di tahun 2020,” tukasnya seraya mengatakan bahwa dirinya akan membongkar kesalahanan kelola tersebut. (cpb)

  • Bagikan