10 Hari Jalan Kaki Vs Agresi Belanda

  • Bagikan
<strong>10 Hari Jalan Kaki Vs Agresi Belanda</strong>

Oleh dr Arifin S. Siregar

Dari Sigambal rombongan menempuh hutan dengan jalan setapak, bermalam di hutan dan paginya berjalan kaki menuju Langga Payung, Gunung Tua, Pal Sabolas dimana ada beberapa malam menginap untuk sampai di Pal Sabolas. Begitulah seterusnya kami berangkat setelah pagi menuju Sipirok setelah 10 hari 10 malam

Tulisan ini saya buat bukan untuk popularitas, tapi untuk menunjukkan kepada generasi muda sebagai generasi penerus menyelamatkan bangsa dan negara Indonesia yang kita cintai. Untuk menjadi pelajaran, cermin dan menggelorakan semangat bagi mereka generasi penerus, bagaimana kami orang-orang tua dulu berjuang menegakkan kemerdekaan ini.

Tekadnya ”sekali merdeka tetap merdeka”, ”dari pada dijajah kami bertekad pantang mundur meski setapak pun”, ”lebih baik berkalang tanah dari pada dijajah kembali”. Juga semboyan heroik “merdeka atau mati”.

Semboyan-semboyan ini bertabur dapat dibaca dan ditulis di gerbong-gerbong kereta api, di gedung-gedung, pabrik-pabrik dan sebagainya. Hal ini kami buktikan misalnya seperti almarhum Jenderal Sudirman. Meskipun ia dalam keadaan menderita penyakit TBC dan sebelah paru-parunya telah dioperasi (diangkat) namun ia tidak menyerah menegakkan perjuangan bangsa.

Ia merelakan dirinya mengungsi dengan digotong berjalan kaki dari daerah yang telah dikuasai Belanda ketika itu ke tempat daerah yang belum dikuasai pemerintah Belanda. Hal ini terjadi di daerah pulau Jawa (Jawa Barat) kalau saya tak salah ketika itu komandannya adalah Kolonel Abdul Haris Nasution dan Jenderal Sudirman sebagai Panglima Besar TRI (Tentara Rakyat Indonesia/Tentara Republik Indonesia).

Barang kali tidak salah—mohon maaf—kalau saya membeberkan, saya juga memunyai semangat, meneladani seperti apa yang dilakukan oleh Jenderal Sudirman, pejuang lainnya dan rakyat Indonesia umumnya dengan maksud seperti saya utarakan di atas. Yakni untuk menggembleng dan menggelorakan semangat juang anak-anak muda sekarang atau untuk menyadarkan pemuda-pemuda milenial agar tahu bagaimana kami dulu pahit getirnya menegakkan NKRI ini mengusir penjajah Belanda.

Jadi tulisan ini saya buat agar generasi penerus bangsa Indonesia menyadari bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini terbentuk bukan turun dari langit, tanpa perjuangan yang pahit bermodalkan pengorbanan jiwa raga dan harta. Contoh tidak seperti negara India, Pakistan, Malaysia, Filipina dan lainnya. Mereka merdeka adalah hadiah dari negara penjajah akibat dari hasil Perang Dunia kedua.

Adalah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya 1945 dengan mengusir tentara Belanda yang ingin menjajah kembali dari bumi Indonesia dengan bermodalkan senjata bambu runcing. Yang dihadapi pasukan Belanda yang bersenjatakan peluru, basoka, meriam, tank dan pesawat tempur pembom.

Maka kami mohonkan dengan sangat kepada generasi penerus bangsa Indonesia ini dengan tekad Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 : Kami Bangsa Indonesia adalah berbangsa satu : ”Bangsa Indonesia” dan kami bertanah air satu : “Tanah air Indonesia”, dan berbahasa satu : “Bahasa Indonesia”. Untuk sumpah ini kita wajib menjaga dan meneruskan Sumpah Pemuda ini agar terhindar dari mengkhianati Sumpah Pemuda ini.

Sedikit Cerita Diri Saya

Ketika itu saya berada di Pulau Rakyat (Pulau Raja) di daerah Asahan di mana ayah saya bekerja di perkebunan kelapa sawit/rambung. Ayah saya Mohd. Solli Siregar dan ibu saya Siti Adima Tambunan dan saat itu Belanda masih berkuasa di sekitar Medan. Pada agresi pertama, Belanda bergerak menuju ke daerah Asahan maka banyak di antara penduduk yang berjiwa tidak mau dijajah Belanda maka kami putuskan untuk mengungsi (evakuasi) ke Tapanuli bagi orang Batak dan untuk itu saya bersama keluarga bergerak menuju Sipirok.

Ketika itu kami bergerak ke Sigambal (Rantau Parapat) dengan menaiki kereta api. Dari Sigambal rombongan menempuh hutan dengan jalan setapak berangkat di pagi hari dan bermalam di hutan dan paginya meneruskan berjalan kaki menuju Langga Payung. Paginya berangkat berjalan kaki menuju Gunung Tua. Setelah pagi berangkat lagi menuju Pal Sabolas dimana ada beberapa malam menginap untuk sampai di Pal Sabolas.

Begitulah seterusnya kami berangkat setelah pagi menuju Sipirok setelah 10 hari 10 malam dalam perjalanan baru sampai ke tujuan. Hal ini secara akal sehat adalah tidak mungkin atau tidak masuk akal untuk berjalan kaki dari Rantau Prapat menuju Sipirok tapi dengan rasa nasionalisme yang tinggi tidak mau dijajah Belanda maka hal yang tidak rasional itu menjadi pilihan ketika itu.

2 Tahun Di Sipirok

Setelah berada di Sipirok kami bertahan selama dua tahun dan saya sekolah dari kampung saya (Sidangar-dangar/Pagaran Padang) ke kota Sipirok dengan berjalan dengan jarak 3 kilometer. Ketika itu saya terpaksa ikut terjun mencangkul ke sawah untuk menanam padi, ubi, dan sayur sebagai bekal hidup selama dua tahun dari 1947 sampai 1949.

Memang keadaan ekonomi ketika itu sungguh berat dan pahit. Contoh misalnya penduduk harus makan beras campur jagung atau beras campur ubi karena persediaan beras tidak mencukupi atau ada juga yang makan jagung saja atau ubi saja. Untuk garam saja susah di Sipirok maka saya pernah ikut dari Sipirok membawa gula merah dengan berjalan kaki yang terkenal dengan nama “Maralong-along” dari Sipirok ke Padangsidempuan untuk ditukar dengan garam dibawa ke Sipirok.

Jarak perjalanan yang harus ditempuh lebih kurang 35 kilometer. Kepahitan penderitaan ekonomi ketika itu semua rakyat ikhlas demi untuk mengusir Belanda dari Indonesia, tercapainya cita-cita tegaknya NKRI. Tentunya karena penderitaan yang begitu pahit getir dirasakan namun hal itu merata pada masyarakat sehingga tidak terasa hal itu tidak menjadi penderitaan atau kecemburuan sosial yang membuat adanya ketidakadilan dari suatu keadaan ekonomi yang di mana kepahitan itu terjadi merata pada seluruh masyarakat.

Kemudian setelah terjadi Agresi Belanda kedua tahun 1947, saya pun pernah ikut terlibat mengikut pejuang Tentara Rakyat Indonesia (TRI) yang bergerilya menghadapi tentara Belanda. Meskipun saya hanya sebagai tukang pengantar konsumsi kepada pasukan gerilya TRI, yang tidak luput dari intaian tentara Belanda yang sering patroli ke kampung-kampung luar kota Sipirok.

Sebagai pimpinan pasukan TRI Letkol Manap Lubis, Mayor Bejo, Kapten Sahala memimpin pasukan TRI daerah Labuhan Batu, Tapsel. Dan Kolonel Kawilarang memimpin pasukan di Sibolga serta Mayor Malau, Letkol Jamin Ginting memimpin pasukan Tapanuli Utara/Karo.

Setelah penyerahan kedaulatan oleh pemerintah Belanda kepada pemerintah Indonesia 1949 hasil dari Konferensi Meja Bundar (KNB) di negeri Belanda maka Belanda angkat kaki dari Indonesia. Kami sekeluarga dan pengungsi-pengungsi yang dulu meninggalkan Tanah Deli kembali lagi ke Sumatera Timur.

Selanjutnya saya SMP negeri di Tebingtinggi, SMA 1 di Medan, Fakultas Kedokteran USU Medan. Takdir Allah SWT yang tidak dapat dielakkan ayah saya meninggal dunia, di sinilah terjadi 2 pilihan yang berat. Teman karib saya satu kos menasehati saya supaya berhenti saja dari fakultas kedokteran karena kami masih berada di tingkat 1.

Ketika itu terbuka kesempatan masuk bekereja di perkebunan pemerintah Indonesia setelah dididik 4 bulan menjadi asisten kebun dengan iming-iming jabatan asisten, rumah, mobil, pembantu, gaji lumayan, dan gadis-gadis cantik menunggu lamaran. Nasehat teman saya ini tidak menjadi pilihan saya tapi saya bertekad bercita-cita hendak menjadi dokter seperti yang diidamkan oleh ayah dan ibu saya.

Memang perjuangan saya berakibat pahit untuk lulus menjadi dokter. Karena saya harus menanggung hidup ibu dan adik saya yang mereka masih bersekolah. Saya terpaksa jual es di pinggir jalan atau jual ubi di simpang empat, lambat laun terbuka kesempatan mengajar privat les. Memang konsekuensinya bila teman saya ujian sekali bisa lulus tapi saya terpaksa jungkir balik sampai 2 atau 3 kali untuk lulus.

Kenapa? Karena setelah saya pagi hari mengikuti kuliah Fakultas Kedokteran USU di Jalan Seram. Begitulah saya pontang-panting sambil mengikuti kuliah dan bekerja privat les mengajar anak SMA terkadang sampai jam 11 malam maka kalau saya terlambat lulus Fakultas Kedokteran dan berumahtangga tidak seperti teman-teman saya yang cepat selesai dan cepat berumahtangga dan cepat menjadi dokter.

Namun meski saya terlambat menjadi dokter namun Allah SWT memberi “hadiah” kepada saya untuk mengikuti dapat langsung dalam pendidikan ilmu spesialis kulit dan kelamin. Di mana teman-teman saya yang cepat lulus harus menjalani Inpres ke luar kota selama dua tahun baru boleh mendapat kesempatan pendidikan spesialis dan tidak mudah untuk dapat diterima. Begitulah keadilan Allah SWT mereka sebagian teman saya tetap berada menjadi dokter umum di luar kota.

Penulis adalah Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.

  • Bagikan