Adil Terhadap Pengungsi Rohingya

  • Bagikan
Adil Terhadap Pengungsi Rohingya

Oleh Surya Adi Sahfutra

Para pengungsi itu bukan berasal dari kelompok terdidik, bukan hitungan bulan mereka hidup dari pengungsian ke pengungsian, tapi bilangan tahun. Jangan hanya karena sikap mereka yang tidak sesuai dengan standar etik masyarakat, lantas kemudian seolah-olah mereka melakukan kejahatan keji dan harus kita hakimi

Pengungsi di mana pun dan kapan pun selalu menjadi masalah pelik, khususnya jika pengungsi itu datang di negara berkembang seperti Indonesia. Pasalnya, masalah kemanusian seperti kemiskinan, kesenjangan dan ketimpangan sosial adalah masalah umum yang dapat ditemui hampir di semua wilayah. Kedatangan pengungsi internasional semakin lama semakin mendapatkan respon negatif.

Apa yang dipikirkan oleh cara pandangan awam tentang pengungsi internasional seperti Rohingya? Awal mula menumbuhkan rasa empati, selain karena faktor agama tentu juga disebapkan oleh faktor rasa kemanusiaan. Kemudian, karena faktor berjalannya waktu muncul pandangan perbandingan dengan masyarakat lokal, misalnya, ‘enak sekali mereka makan tidur, tempat tinggal gak bayar, orang lokal untuk makan harus kerja’ dan pandangan senada lainnya. Munculnya persepsi ‘kemuakkan’ orang-orang sekitar yang disebabkan oleh kebuntuan jalan keluar dari para pengungsi yang bukan lagi hitungan bulan namun tahun menyebabkan masalah sosial baru di kalangan masyarakat.

Belakangan respon negatif dari banyak pihak, tidak hanya dari kalangan warga disekitaran tempat penampungan, namun banyak respon negatif justru muncul dari orang-orang yang tidak bersentuhan langsung dengan pengungsi. Pemberitaan dan informasi yang menyebar di berbagai kanal media sosial secara massif dan sayangnya bernuansa negatif mengkonstruksi beragam tafsir. Mulai dari seolah-olah seluruh biaya oprasional pengungsi menggunakan APBN/APBD, pengungsi sebagai tamu yang tidak menghormati tuan rumah, kelompok yang tidak tahu berterima kasih dan begitu seterusnya.

Jika respons masyarakat sekitar di mana para pengungsi Rohingya berada tentu kita bisa memahami alasan logis, karena keadaan ekonomi mereka juga tidak selalu lebih baik daripada pengungsi. Namun, kalau respons negatif dari orang-orang yang tidak bersentuhan langsung dengan para pengungsi tentu ini persoalan yang berbeda. Ada masalah yang sangat mendasar yang perlu menjadi perhatian bersama yakni minimnya literasi tentang pengungsi internasional. Persoalan lain yang membuat lebih problematis ketika isu pengungsi Rohingya digunakan sebagai alat politik bagi sebagian kelompok demi keuntungan pihak tertentu.

Menjadi Pengungsi Seperti Bermain Dadu

Banyak laporan dan studi yang menjelaskan tentang perkembangan pengungsi Rohingya, salah satu sumber rujukan utama adalah UNHCR sebagai Lembaga resmi PBB yang menangani isu pengungsi internasional. Data terbaru yang dirilis oleh Lembaga ini menjelaskan bahwa lebih dari 70% pengungsi Rohingya yang mendarat di Indonesia selama sebulan terakhir adalah perempuan dan anak-anak (Data Desember 2023).

Jumlah pengungsi secara keseluruhan di berbagai wilayah di Indonesia mencapai angka sekitar 1.600 orang. Perlu diketahui bahwa pengungsi internasional yang berhasil menginjakkan kaki di tanah Indonesia tiak hanya dari kelompok Rohingya, masih ada dari Sudan (483 orang), Somalia (1.248 orang), Afganistan (5.571 orang), Irak (602 orang), kumpulan dari berbagai negara lain (2.313 orang). Berdasarkan data-data itu apa sebenarnya yang membuat kita memunculkan sentiment negatif kepada kelompok Rohingya yang hidupnya sudah penuh nestapa?

Saya tidak akan mendiskusikan ulang tentang penderitaan panjang, kehidupan yang suram bahkan nyaris tidak ada harapan apapun yang bisa memastikan kehidupan mereka akan terus berlanjut. Jangan tanya kepedihan, kalau boleh dikatakan yang membuat mereka tidak memilih jalan bunuh diri mungkin karena naluri ‘survival’ sebagai makhluk hidup satu-satunya energi yang mereka punya, siapapun dan dari latar belakang apapun para pengungsi itu. Hidup mereka seperti bermain dadu, dan sayangnya dadu yang dilempar sudah tidak ada angkanya.

Kita mungkin marah dan kesal terhadap beberapa dari sikap dan Tindakan dari pengungsi itu. Tapi apakah kemudian kita lebih mulia dari mereka? Apakah kita tidak pernah membuang makanan yang kita makan? Kita bisa bersikap sopan kepada penguasa congak dan korup?

Para pengungsi itu bukan berasal dari kelompok terdidik, bukan hitungan bulan mereka hidup dari pengungsian ke pengungsian, tapi bilangan tahun. Jangan hanya karena sikap mereka yang tidak sesuai dengan standar etik masyarakat, lantas kemudian seolah-olah mereka melakukan kejahatan keji dan harus kita hakimi. Apakah para pendemo pengungsi Rohingya yang berlatar belakang mahasiswa itu sudah kehabisan ide dan gagasan untuk merespon dan mengkritisi hal-lain yang lebih substansial di kehidupan masyarakat?

Sulitkah kita bersikap adil pada kelompok yang sedang menderita dan tertindas? Kenapa kita menuntut standar etik yang tinggi kepada orang yang lemah, tak berdaya dan bahkan tak punya kuasa sedikit pun meskipun untuk membela diri? Jika boleh memilih mereka tidak akan menyerahkan hidup dan matinya dengan lemparan dadu.

Penguatan Literasi Tentang Pengungsi Internasional

Dalam menghadapi tantangan global yang berkaitan dengan pengungsi, penting untuk meningkatkan literasi dan pemahaman publik terhadap isu ini. Langkah pertama dalam proses ini adalah melalui edukasi dan peningkatan kesadaran. Program pendidikan dan kampanye kesadaran yang luas dapat menyediakan informasi faktual tentang pengungsi, alasan mereka melarikan diri, serta kontribusi mereka bagi masyarakat.

Misalnya, melalui workshop dan seminar, serta pemanfaatan berbagai media untuk menyebarkan informasi. Media memainkan peran krusial dalam membentuk persepsi publik. Karena itu, penting bagi media untuk melakukan pelaporan yang bertanggung jawab. Ini berarti menghindari penggunaan bahasa yang menstigmatisasi pengungsi dan sebaliknya, menyampaikan cerita yang membangun empati dan pemahaman. Memberikan platform kepada pengungsi untuk berbagi cerita dan pengalaman mereka sendiri juga penting untuk memecah stereotip dan membangun koneksi yang lebih manusiawi.

Pendidikan formal memiliki peran yang tidak kalah pentingnya. Dengan mengintegrasikan topik tentang pengungsi dan hak asasi manusia ke dalam kurikulum pendidikan, kita dapat membantu membentuk pemahaman dan empati dari usia dini. Kolaborasi dengan organisasi non-pemerintah yang bekerja langsung dengan pengungsi juga bisa meningkatkan akurasi dan kedalaman informasi yang disebarkan.

Kemudian, penggunaan media sosial yang efektif untuk menyebarkan cerita positif dan informatif tentang pengungsi dapat mencapai audiens yang lebih luas, termasuk generasi muda. Terakhir, program pertukaran budaya yang mempromosikan interaksi langsung antara pengungsi dan masyarakat lokal dapat membantu membangun pemahaman dan mengurangi prasangka.

Dengan menerapkan pendekatan ini secara komprehensif, kita dapat berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan empatik terhadap pengungsi dari berbagai belahan dunia. Ini tidak hanya tentang memberikan informasi, tetapi juga tentang membangun jembatan pemahaman dan solidaritas antara berbagai kelompok masyarakat.

Penulis adalah Dosen Departemen Ilmu Filsafat Universitas Pembangunan Pancabudi Medan, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

  • Bagikan