Beban Indonesia

  • Bagikan

Oleh Shohibul Anshor Siregar

Beban Indonesia. Partai berpikir amat seragam, dan tak memiliki agenda pengawasan yang konstitusional terhadap pemerintahan meski itulah sebetulnya mandat demokratis yang diambilnya dari rakyat

Pasca Perang Dunia II beberapa hal menarik dalam pencarian jalan baru kebangkitan Jepang (restorasi Meiji) antara lain terlihat mencolok dalam peran Samurai yang diwujudkan dalam bentuk panggilan kewajiban tanpa batas.

Kelas samurai mengawal tujuan restorasi justru untuk menghormati kaisar, mengusir orang barbar, dan untuk meningkatkan kekuatan nasional. Memang, sebagaimana dijelaskan Robert N Bellah (1957), motivasi samurai lebih banyak bersifat politis daripada ekonomi dengan pusat perhatian untuk peningkatan kekuatan nasional yang menempatkan instrument peningkatan kekayaan hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan.

Jadi, begitu mencengangkan bagi bangsa-bangsa yang tak memiliki keterikatan kuat dengan sejarah dan filosofi bangsanya, bagaimana mungkin anak samurai mampu mengubah diri mereka menjadi pengusaha yang kuat dalam skala besar, yang semua itu bukannya karena mereka ingin menjadi kaya, melainkan karena mereka ingin menyelamatkan negara dan bangsanya melalui pembangunan ekonomi.

Karena itu sejarah Jepang menunjukkan bahwa adaptasi etika samurai ke dalam dunia kewirausahaan modern, dalam catatan Robert N Bellah (1957), dipatrikan dalam bentuk disiplin ketat yang dapat ditilik dari penerapan sejumlah nilai prima.

Pertama, operasionalisasi semua perusahaan dengan mempertimbangkan kepentingan nasional. Kedua, tak pernah melupakan semangat murni pelayanan publik. Ketiga, sikap dan kepribadian keras, hemat, dan bijaksana menghadapi orang lain.

Keempat, menggunakan personel yang tepat. Kelima, memperlakukan karyawan dengan baik. Keenam, berani dalam memulai suatu perusahaan tetapi teliti dalam menghitung semua konsekuensinya.

Dalam catatan Alvin Y So (1991), gagasan kewajiban tanpa batas dalam prinsip Samurai digunakan tidak hanya untuk mengatur negara, tetapi juga untuk mengelola rumah-rumah pedagang yang dianggap sebagai entitas suci yang melambangkan pemujaan leluhur.

Sama halnya dengan harapan berbakti anak kepada orang tua dan pengabdian pegawai yang setia kepada atasannya, menuntut rasa terima kasih dari seluruh anggotanya. Standar pelayanan berbakti kepada rumah pedagang ditetapkan sangat tinggi, menyaingi ketatnya standar samurai.

Untuk meningkatkan kehormatan keluarga dan untuk memenuhi kewajiban suci seseorang terhadap keluarga, perilaku malas, boros, atau tidak jujur ​​dikutuk. Mencederai reputasi rumah pedagang atau membiarkan bisnis menurun akan mempermalukan leluhur seseorang.

Dengan demikian motivasi ekonomi kelas saudagar lebih dimaksudkan untuk keuntungan keluarga.

Itulah, menurut Robert N Bellah, kandungan etika kewajiban keluarga dalam memperkuat standar kejujuran, kualitas, dan penghargaan yang tinggi; memperkuat norma-norma universalistik dalam dunia bisnis; dan memberikan dorongan kuat menuju rasionalisasi ekonomi memasuki Jepang modern.

Kisah Jepang itu sungguh terbalik degan yang dialami Indonesia yang dipenuhi oleh elit pemegang mandat sebagai komprador. Mungkin sambil berteriak Pancasila, mereka bertransaksi dengan melupakan bangsa dan negaranya dan mungkin apa yang mereka inginkan, kekayaan pribadi, misalnya, tidak akan pernah terhalang pencapaiannya. Sebab berbagai instrumen hukum terus diciptakan untuk memanjakan para elit dalam kebiasaan buruk itu.

Nilai-nilai inlanderitas ini diwarisi dari latar belakang panjang sebagai bangsa jajahan oleh bangsa asing. Inisiatif dan keberanian menolak dikte korporasi dan negara serta institusi asing yang tak selalu berniat baik untuk Indonesia, tidak pernah lahir.

Merombak makroekonomi yang berpusat kepada kepentingan nasional, sebagaimana dititahkan oleh konstitusi, selalu terhalang. Sekelompok orang dari kalangan istimewa dalam alam penjajahan terus mendikte politik dan ekonomi dari abad ke abad.

Akhirnya, alih-alih capaian menggembirakan, Indonesia kini dihadapkan pada tumpukan-tumpukan raksasa ilalang kering bom waktu yang setiap saat siap meledak karena kesenjangan yang luar biasa. Ketahanan nasional untuk menutupi kondisi ini dengan dalih program integrasi nasional dengan memainkan pendekatan sekuriti dan rekayasa hukum, tentu kelak akan terbukti bukan tanpa batas.

Memperbandingkan familisme yang mendorong modernisasi di Jepang dengan kegagalan familisme yang diterapkan di Cina, menurut Robert N Bellah, terletak pada orientasi nilai. China disebut memiliki terlalu banyak familisme.

Meski sistem keluarga adalah institusi sentral dalam masyarakat, dan bakti membentuk dasar prinsip moral China, namun degan dominasi familisme itu, loyalitas kepada tuan (atau kaisar) memiliki fokus yang sangat terbatas.

Tidak berbeda dengan kondisi Indonesia abad 21, bahkan bangsawan China memasuki layanan pemerintah bukan untuk membangun kekuatan nasional, melainkan untuk mendapatkan kekebalan dan akumulasi kekayaan bagi keluarga mereka (Alvin Y So, 1991).

Para menteri dan jajaran di bawahnya banyak yang akibat penjatahan kepartaian terpaksa dari kelas yang tak patut disebut unggul dan cerdas. Bagaimana perlakuan atas Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dapat dinilai dari pengamanahannya kepada orang-orang yang kerap lebih menampilkan permasalahannya ketimbang kemauan dan niat baiknya untuk berprestasi membangun bangsa.

Rezim seakan dibangun hanya untuk mempertahankan keabadian rezim itu sedniri tanpa berkorelasi dengan perbaikan nasib bangsa dan negara. Mungkin sangat relevan menghadirkan telaah Lipset (1963) yang berusaha mengeskplorasi demokrasi politik terkait pembangunan ekonomi.

Memegang teguh keyakinan lama, ia berpendapat bahwa semakin kaya suatu bangsa, semakin besar pula peluangnya untuk mempertahankan demokrasi. Sesungguhnya Indonesia ini negara kaya atau miskin dilihat dari sumberdayanya? Semua orang dapat menjawabnya dengan sangat benar.

Tetapi jika demokrasi adalah sistem politik dengan konstitusionalitas reguler yang membuka lebar peluang menentukan untuk mengubah pejabat pemerintahan, dan yang memungkinkan penduduk untuk mempengaruhi keputusan besar dengan memilih pemegang jabatan politik, maka segalanya akan menjadi nasib baik bagi demokrasi dan tiada pertanyaan serius bagi keadilan ekonomi untuk seluruh rakyat dalam sistem seperti itu.

Korelasi yang tinggi antara demokrasi dan ekonomi terletak pada, menurut Lipset, mekanisme pembangunan ekonomi yang menghasilkan peningkatan pendapatan, potensi keamanan ekonomi yang lebih besar, dan pendidikan tinggi yang tersebar luas.

Dan baginya, semua itu tidak turun dari langit melainkan sangat ditentukan oleh bentuk ‘perjuangan kelas’” yang meletakkan landasan bagi demokrasi. Kegagalan demi kegagalan adalah catatan utama Indonesia dalam hal ini.

Menyoroti kemandegan demokrasi di berbagai belahan bumi, Lipset kemudian menegaskan bahwa kelas bawah di negara-negara miskin selalu mengalami lebih banyak status inferioritas dibandingkan dengan negara-negara kaya.

Distribusi barang, jasa, dan sumber daya pasti sangat kurang adil dibandingkan di negara yang relatif berlimpah. Ini meniscayakan bahwa jika kelas bawah di negara-negara miskin berhasil mencapai derajat hidup yang lebih baik melalui sarana komunikasi dan transportasi modern, maka ketidakpuasan (relative deprivation) yang cukup akan muncul untuk menyediakan dasar sosial bagi ekstrimisme politik.

Indonesia sama sekali tak mengalami radikalisasi dan ekstrimisme partai-partai politik, seakan mirip dengan partai-partai di negara-negara kaya. Karena di sini, penafsiran pada ideologi dan adopsi demokrasi sesungguhnya telah berlangsung lama untuk hanya mengakomodasi oligarki.

Beban Indonesia. Partai berpikir amat seragam, dan tak memiliki agenda pengawasan yang konstitusional terhadap pemerintahan meski itulah sebetulnya mandat demokratis yang diambilnya dari rakyat.

Peluang Joko Widodo untuk beroleh perpanjangan masa jabatan melalui penundaan Pemilu 2024 yang baru saja diumumkan penjadwalannya dan atau amandemen konstitusi untuk memberinya jalan beroleh mandat kekuasaan melalui Pemilu, adalah gonjang-ganjing politik terbesar dari rentetan gonjang-ganjing politik yang telah terjadi berulangkali di Indonesia.

Seperti dicatat oleh banyak kalangan, Joko Widodo bukanlah figur politik yang begitu peduli memori rakyat tentang ucapan-ucapannya yang kemudian terbantahkan sendiri oleh narasi politik maupun kebijakannya.

Berhadapan dengan situasi itu elemen perlawanan Indonesia hanyalah mahasiswa. Tetapi mereka pun mudah dikanalisasi. Idealisme mereka mungkin kerap seperti lebih “mencari jalan pengendapan” karena tak tahan atas terpaan anti tuntutan dari pergerakan-pergerakannya selama ini.

Selain itu mahasiswa kerap terjebak suara kritis yang ditumpangkan sebuah oligarki tersembunyi untuk menerjang oligaki yang sedang menikmati masa keemasan yang tak sudi diakhiri. Jadi mereka harusnya perlu sangat hati-hati.

Media sosial dipenuhi oleh gelombang protes mahasiswa hari-hari belakangan ini. Dikhabarkan, mereka akan turun ke jalan, secara serentak, pada tanggal 11 April 2022. Tetapi itu tampak seperti pengumuman sebuah agenda yang tentu saja sangat rawan diterpa kontra gerakan.

Apapun hasilnya, idealisme tetaplah sebuah kemewahan sepanjang masa yang selalu diandalkan melawan ketidakpatutan dan menghadirkan nilai-nilai keadilan. Itu bisa sekaligus dimaknai sebagai suguhan besar yang bermakna kepada pemimpin negara-negara G20 yang akan bertemu tak lama lagi di Bali, Indonesia.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

  • Bagikan