Berdebatlah, Pemimpin Negeriku!

  • Bagikan
Berdebatlah, Pemimpin Negeriku!

Oleh Farid Wajdi

Debat menjadi sarana untuk menakar konsistensi antara janji dan implementasi. Nantinya akan tampak apakah para kandidat terpilih benar-benar konsisten dengan janji yang telah disampaikan sebelum menjadi presiden sebagai pemimpin negeri

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.” (QS An-Nahl, 16: 125). Debat harus dilakukan dalam bingkai sopan, hormat, dan hikmah-bijaksana. Debat dimaknai sebagai pertukaran dan pembahasan pendapat terkait suatu hal dengan saling menyampaikan argumentasi atau alasan dengan tujuan mempertahankan pendapat bahkan memenangkan pendapat.

Debat diperlukan untuk memahami pandangan lawan debat dan membawa klarifikasi terhadap isu yang diperdebatkan. Seorang pemimpin harus mampu menggerakkan dan mempengaruhi orang lain atau pengikut agar bekerja keras dengan penuh kemauan untuk tercapainya tujuan bersama.

Kontestasi kepemimpinan diwarnai dengan adanya forum debat antar-kandidat. Sepatutnya forum perdebatan ini memberikan kesempatan kepada pemilih untuk menilai sikap para kandidat terhadap isu-isu penting dan kemampuan kandidat untuk mengartikulasikan ide secara efektif. Gambaran atmosfir debat dipantulkan Slamet Ladjulu (2021) dalam “Antologi Puisi: Kecamuk Rasa dalam Sajak” menulis puisi bertajuk: “Debat”.

Berdebatlah dengan ramah. Jadikan debat sebagai tempat seseorang terkesan. Sampaikan pendapat dengan penuh perasaan. Sampaikan ide-ide dengan gagasan yang penuh arti. Jangan jadikan debat sebagai pelampiasan kemarahan. Karena kemarahan akan membuat sebuah kesenjangan. Selesaikan masalah dengan bijaksana.

Hadapi dengan penuh suka cita. Ajaklah kawan dan lawan tanpa pamrih.

Sesungguhnya apa, mengapa dan bagaimana debat itu? Secara harfiah, kata ‘debat’ berasal dari kata ‘debate’ dalam bahasa Inggris yang mempunyai arti perdebatan, pembahasan, diskusi, dan perbincangan. Jika dilihat dari aspek etimologis, kata debat berasal dari bahasa Prancis kuno debatre. Makna harfiahnya adalah bertempur. Namun dalam arti kekinian, debat lebih dimaknai sebagai perbantahan atas sebuah masalah yang mengundang pro dan kontra, dari mereka yang terlibat dalam perbantahan (Djoko Subinarto, 2023).

Istilah debat identik dengan istilah sawala yang berasal dari bahasa Kawi yang berarti berpegangan teguh pada argumen tertentu dalam strategi bertengkar atau beradu pendapat untuk saling mengalahkan atau memenangkan lidah. Bagi Rachmat Nurcahyo debat merupakan pertentangan argumentasi. Untuk setiap isu, pasti terdapat berbagai sudut pandang terhadap isu tersebut: alasan‐alasan mengapa seseorang dapat mendukung atau tidak mendukung suatu isu.

Debat adalah untuk mengeksplorasi alasan‐alasan di belakang setiap sudut pandang. Agar alasan tersebut dapat dimengerti secara persuasif, pembicara dalam suatu debat seharusnya menyampaikan argumentasinya dengan kemampuan komunikasinya yang baik.

Otto Gusti Madung (2024) mengatakan budaya debat sesungguhnya sudah selalu hidup dalam tradisi kehidupan bernegara bangsa Indonesia. Memori kolektif bangsa Indonesia mencatat perdebatan antara dua pendiri bangsa Indonesia, yakni Mohammad Hatta dan Soepomo, tentang landasan ideologis bangsa Indonesia. Hatta mengusulkan liberalisme sebagai fundamen ideologis bangsa Indonesia dan berhasil memasukkan ide kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengemukakan pendapat ke dalam konstitusi NKRI. Hatta sadar, tanpa kebebasan berpendapat, sebuah pemerintahan akan menjadi tiran dan otoritarian.

Sebaliknya, Soepomo mengusulkan konsep negara integralistik. Alasannya, konsep ini sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia, seperti gotong royong dan kekeluargaan. Konsep kekeluargaan tradisional merupakan cikal bakal lahirnya paham keadilan sosial dan solidaritas dalam masyarakat modern kontemporer. Selain itu, sejarah bangsa Indonesia juga mencatat perdebatan antara Soekarno dan Mohammad Natsir guna merumuskan konsep relasi antara agama dan negara.

Penting dicatat dalam lintasan sejarah bangsa perdebatan politik dan intelektual ini telah melahirkan Pancasila. Para pendiri bangsa telah memahami demokrasi tidak secara prosedural semata, tetapi sebagaimana oleh Jürgen Habermas dinamakan ”der zwangslose Zwang des besseren Argumentes” (kekuatan tanpa paksaan dari argumentasi terbaik).

Lalu, prosesi debat Capres-Cawapres Pemilu 2024, Danang Sangga Buwana (2014) mengatakan jika ditakar dari aspek demokrasi, debat antar-kandidat bermakna mendalami kualitas pasangan Capres-Cawapres yang diusung partai politik (parpol) agar pemilih tidak lagi memilih kandidat semata-mata karena popularitas. Debat juga menjadi gambaran visi misi Capres-Cawapres dalam menjawab problematika kebangsaan mutakhir.

Karena itu, di titik ini, debat menjadi sarana efektif bagi penonjolan domain programatik, ketimbang pencitraan semata. Sebagai ikhtiar membangun demokrasi substantif, debat dilakukan untuk mengetahui program, visi dan misi kandidat.

Sebelum menjadi pasangan terpilih, Capres-Cawapres akan diapresiasi oleh masyarakat sejauhmana perumusan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) yang mereka buat. Kondisi ini memungkinkan masyarakat untuk melakukan komparasi kontekstualitas program antar calon yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan publik.

Debat juga berfungsi menakar kualitas dan kapabilitas pasangan calon. Di situlah tampak ukuran kecakapan masing-masing kandidat. Publik lebih punya kesempatan untuk menguji keseriusan Capres-Cawapres melalui forum debat tersebut, apakah kandidat itu layak dipilih atau tidak?

Prosesi debat berimplikasi terjadi pada proses pendidikan politik bagi rakyat. Para pemegang kebijakan sudah seharusnya menyadari bahwa rakyat semakin tak percaya dengan serangkaian mekanisme politik dalam memproses lahirnya para pemimpin. Meningkatnya angka Golongan Putih (Golput) menjadi semacam antitesis dari perjalanan pemilihan langsung selama ini. Karena itu, masyarakat harus diyakinkan kembali bahwa bangsa ini membutuhkan figur pemimpin yang benar-benar berkualitas dan berintegritas. Usaha peningkatan partisipasi dapat distimulasi dengan menyuguhkan forum debat kandidat Capres-Cawapres.

Selain itu, debat menjadi sarana untuk menakar konsistensi antara janji dan implementasi. Nantinya akan tampak apakah para kandidat terpilih benar-benar konsisten dengan janji yang telah disampaikan sebelum menjadi presiden sebagai pemimpin negeri. Dalam sebuah tatanan demokratis, para kontestan diwajibkan untuk menyampaikan gagasan politiknya kepada publik, melakukan persuasi, dan menunjukkan kelemahan argumentasi atau gagasan lawan politik. Lewat mekanisme diskursif dan demokratis seperti ini, para pemilih tidak dipaksa untuk memilih kucing dalam karung. Intinya debat Capres-Cawapres menjadi ajang saling adu gagasan, bukan gimik belaka!

Debat yang sehat mengajarkan publik perlu dibiasakan untuk membincangkan gagasan, tidak hanya sekadar melihat sosok, keturunan, dan status sosial. Pemikiran dan narasi tidak diundang untuk dibicarakan. Bahkan, diam sering dianggap bijak. Masalah utama dan mengganjal adalah aturan main pemilihan umum juga menghindari perdebatan mendalam dan terlalu lama karena dianggap sebagai pemicu konflik. Karena itu, kampanye program baru dapat diadakan mendekati hari pencoblosan. Dengan waktu yang tak banyak, kampanye lebih banyak diisi dangdutan dan joget bersama untuk membungkus ceramah satu arah dari juru kampanye.

Kalaupun ada perdebatan calon presiden, formatnya lebih mirip pembacaan program yang diselingi dengan teriakan dan yel-yel pendukung ketimbang debat gagasan.

Bagi bangsa ini, bertikai tentang gagasan adalah elemen penting demokrasi dan itu bersifat keniscayaan. Sama halnya dengan kebebasan berpendapat sebagai lingkungan yang menumbuhkan (enabling environment) demokrasi. Kebebasan berpendapat masyarakat sipil tak boleh diberangus karena hal itu akan mematikan demokrasi. Momentum debat antar-calon pada Pemilu, perdebatan pemikiran elite politik harus ditumbuhkan untuk menghidupkan demokrasi (https://www.jentera.ac.id/publikasi/berdebatlah-para-calon-pemimpin).

Karena itu, berdebatlah para pemimpin negeriku! Tunjukkan nyali dan kemampuan saling adu gagasan, jual beli narasi, uji kompetensi dan keseriusan dalam memimpin negeri ini. Publik senantiasa menunggu setiap debat yang menumbuhkan kesadaran narasi-dialog dan persuasi dalam membangun negeri. Setelah itu, biarkan para pemilih menggerakkan tangannya untuk memilih pemimpin terbaik sesuai suara hatinya.

Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, dan Dosen UMSU.

  • Bagikan