Catatan Pemilu 2024: Riuh Gema Di Ruang Hampa

Oleh: Miqdad

  • Bagikan
Catatan Pemilu 2024: Riuh Gema Di Ruang Hampa

PEMILIHAN umum dan pemilihan presiden 2024 menjadi panggung bagi dinamika politik yang tak hanya terjadi di ruang nyata, tetapi juga merebak dengan riuh gema di ranah digital, khususnya media sosial. Terutama pasca setiap debat terbuka yang difasilitasi secara resmi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), topik perbincangan hangat meluas di media sosial, menciptakan gelombang diskusi yang memenuhi ruang maya.

Berbagai ucapan yang dilontarkan baik oleh capres dan cawapres paslon manapun menciptakan trending tersendiri khusunya di media social. Namun, di balik keramaian tersebut, terdapat fenomena menarik yang perlu diperhatikan.

Setiap debat menjadi puncak perhatian publik. Sorotan tajam terhadap perdebatan antarcalon menjadi bahan bakar bagi diskusi di media sosial. Netizen dengan cepat menggali informasi, mengomentari, dan membagikan pandangannya.

Perbedaan pendapat dan polarisasi masyarakat menciptakan atmosfer yang tegang, memberikan catatan penting bahwa keberadaan media sosial telah menjadi salah satu medan utama dalam pertarungan opini politik. Di sisi lain, kelompok buzzer menjadi instrumen penting yang ikut meramaikan perbincangan di media sosial.

Politik digital semakin menjadi pilar utama dalam mengkonstruksi realitas politik. Calon-calon dan tim kampanye menggunakan media sosial sebagai alat untuk membangun citra, merancang narasi, dan mengelola opini publik.

Di tengah perbincangan politik yang semakin terdigitalisasi, muncul hiperrealitas—sebuah konsep di mana batas antara realitas dan representasinya semakin kabur. Fakta dan opini bercampur aduk, menciptakan dunia politik yang kadang sulit dibedakan antara yang nyata dan yang tidak.

Pasalnya, acapkali topik-topik yang dilontarkan di media sosial muncul dari akun-akun anonim yang identitasinya sulit untuk diketahui.

Kemunculan buzzer sebagai elemen penting dalam strategi kampanye menjadi sorotan. Mereka tidak hanya mengamplifikasi narasi dan trending topics, tetapi juga terlibat dalam berbagai kontroversi.

Kasus-kasus seperti penggunaan twitter untuk menyebar hoaks dan disinformasi menjadi contoh nyata bagaimana industri kehumasan berperan dalam merancang opini publik.

Taktik yang cenderung kontroversial ini menggambarkan bahwa pertarungan politik tidak hanya berlangsung di panggung resmi, tetapi juga di dunia maya.

Ini bukan fenomena yang baru, berdasarkan penelitian Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), kemunculan buzzer mulai lahir pada 2009 bersamaan dengan kelahiran twitter.

Tiga tahun kemudian di Indonesia istilah tersebut semakin popular ketika pasangan Jokowi-Ahok menggunakan buzzer untuk mendorong isu dan wacana politik. Sejak saat itu buzzer mewarnai dinamika politik di Indonesia.

Namun pertanyaan kemudian muncul, apakah buzzer dan dampaknya dalam mendorong isu dan wacana di media sosial dapat memberikan pengaruh elektoral?

Penulis merasa bahwa kemampuan media sosial, khususnya twitter dalam membentuk persepsi publik memengaruhi seseorang untuk memilih juga menimbulkan perdebatan.

Bukan tanpa alasan, menurut laporan We Are Social, jumlah pengguna platform twitter di Indonesia per Juli 2023 berjumlah sekitar 25 juta pengguna.

Secara demografi juga pengguna platform ini terpusat di DKI Jakarta, lalu beberapa kota besar lainnya di Pulau Jawa. Citra calon dan partai seringkali dibangun melalui narasi yang terkonstruksi dengan cermat di dunia maya.

Namun, pertanyaannya adalah sejauh mana elektabilitas tersebut mencerminkan realitas yang sesungguhnya?

Dalam gejolak informasi dan opini yang terus mewarnai dunia digital, sulit untuk memastikan bahwa elektabilitas yang terlihat di media sosial benar-benar mencerminkan dukungan yang kuat dari masyarakat.

Bubble Opini

Dalam menciptakan dinamika politik yang intens di media sosial, terdapat risiko terbentuknya bubble opini. Masyarakat yang terpapar informasi dari lingkaran sosial yang serupa cenderung terjebak dalam pandangan yang seragam. Hal ini mengancam keragaman pandangan dan kemampuan bersikap kritis.

Oleh karena itu, perlu dilakukan refleksi kritis terhadap dampak politik digital, buzzer, dan strategi kehumasan dalam memastikan bahwa ruang publik tetap terbuka untuk dialog yang sehat dan beragam.

Dengan demikian, pemilu 2024 bukan hanya sekadar pertarungan politik di tingkat konvensional, melainkan juga merupakan panggung digital yang membutuhkan pemahaman mendalam terhadap peran media sosial dan dinamika politik hiperrealitas.

Hanya dengan memahami dan mengkritisi gejala ini, kita dapat membangun masyarakat yang lebih cerdas, kritis, dan terbuka terhadap perbedaan pendapat. (Penulis Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro)

  • Bagikan