Debat Masa Depan Indonesia

  • Bagikan
Debat Masa Depan Indonesia

Oleh Shohibul Anshor Siregar

Anies Rasyid Baswedan terbiasa dengan filosofi, metodologi, pemeriksaan data dan perbandingan masalah untuk berusaha keluar dengan gagasan orisinal. Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo juga berusaha mendekati kualitas yang sama.

Pemerhati yang jeli dapat dengan mudah tiba pada kesimpulan bahwa debat Calon Presiden (Capres) yang diselenggarakan KPU adalah arena yang sangat beralasan untuk mengevaluasi secara kritis kinerja Joko Widodo, khususnya periode kedua kepemimpinannya.

Di manakah Anda saat debat yang membahas masalah hukum, HAM, pemerintahan, pemberantasan korupsi, penguatan demokrasi, serta peningkatan pelayanan publik dan kerukunan warga, itu, Joko Widodo? Bagaimana perasaan Anda “dipreteli” saat itu? Puaskah Anda pembelaan Prabowo Subianto?

No place to hide. Nowhere to run. Joko Widodo memang seakan harus “diadili” hari-hari menjelang pemberian suara Pemilu 2024 ini melalui debat yang menghadirkan para Capres dalam kedudukannya sebagai pemegang mandat wajib bicara. Tentu ini sebuah ketegangan panjang, karena debat-debat itu dijadwalkan lima kali. Tiga kali untuk Capres dan dua kali untuk Cawapres.

Sebelumnya, tak sedikit bekas orang dekat telah berbicara begitu tangkas “mengupas” Joko Widodo. Agus Rahardjo, mantan Ketua KPK, misalnya. Menohok dengan pengakuan dimarahi Joko Widodo karena kasus e-KTP menyangkut diri Setya Novanto.

Nilailah kehausan publik atas kebenaran informasi, khususnya tentang pemerintahan. Peran pengawasan kritis DPR yang selama ini sangat diharapkan selalu sepi narasi perimbangan atas kinerja dan narasi pemerintahan. DPR seolah hanya pembebek dalam oligarki politik dan bingkai legalframework politik yang dikonstruk menjauhi demokrasi.

Karena itu debat-debat Capres akan menjadi atribut baru demokrasi yang tak dikenal dan hanya muncul sekali dalam lima tahun. Kelangkaan kehadiran sifat dan watak demokrasi itu adalah momentum berharga Indonesia untuk menelisik masa depan, setidaknya untuk lima tahun setelah kekuasaan Joko Widodo berakhir.

Kesebelas panelis yang membuat pertanyaan menuntun debat sesuai penugasan Komisi Pemilihan Umum (KPU), patut diduga, dalam proses perumusan, pernah terbentur dengan kebimbangan. Juga terlibat diskusi alot. Di antara mereka mungkin ada yang berusaha mencari rumusan pertanyaan “paling aman” agar tidak terlalu membahayakan posisi Joko Widodo.

Kesebelas panelis itu ditentukan KPU. Betapa pun obsesi demokrasi ingin melakukan totalitas pendiskusian tanpa rambu-rambu “tabu” (seperti adanya kisi-kisi debat sebagaimana pada Capres 2019), namun tentu saja mustahil tak bertolak dari kondisi hari ini.

Jika pertanyaan-pertanyaan bertolak dari asumsi bahwa Indonesia baik-baik saja, katakanlah semua panelis sepakat untuk menutup mata atas kenyataan sosial Indonesia kontemporer, maka mutu debat akan rendah, berkisar pada hal-hal normatif belaka.

Apakah Indonesia hari ini baik-baik saja? Para panelis tentu sangat faham. Bisakah Indonesia diperbaiki lima tahun ke depan dengan mengharapkan kinerja salah seorang di antara ketiga Capres? Tentu saja secara pribadi masing-masing panelis memiliki asumsi dan keyakinan subjektif yang menjelaskan tentang siapa mereka dan apa yang mereka perankan di Indonesia selama ini.

Mari mengembalikan ingatan kepada suasana debat pertama itu. Prabowo Subianto terlihat menempatkan diri sebagai bumper untuk Joko Widodo dan berusaha memuji. Ada kepentingan meraih insentif elektoral. Ia dan timnya tentu telah beroleh kepastian bahwa dalam rivalitas pilpres kali ini pengaruh (wajar atau tak wajar, etis atau tak etis) Joko Widodo mungkin masih dapat memikat jumlah pemilih tertentu.

Jumlah pemilih terbesar itu diasumsikan benar-benar tak mudah diraih. Sebab begitu tak mungkin saat ini para true believers pada ketiga pihak mendadak sontak berpindah pilihan. Debat itu tak akan begitu banyak mempengaruhi, karena pada dasarnya peta politik sudah seakan terkunci mati; kurang lebih hanyalah ekspresi perseteruan polaritatif yang amat tajam antara Kampret dan Cebong yang benar-benar diasuh selama kurang lebih 5 tahun belakangan.

Terminologi yang menunjukkan degradasi narasi budaya dalam politik itu memang kini tak sedahsyat lima tahun lalu. Namun ia tak pernah hilang, hanya bermetamorfosis. Karena nilai terbesarnya adalah fragmentasi ideologi yang bersejarah panjang.

Komunitas Cebong dengan segala romantika dan rasionalisasi sentimennya kini terpaksa terbagi karena perbedaan tajam pilihan Capres antara Megawati Soekarnoputri dan Joko Widodo yang secara sederhana dapat digambarkan sebagai fragmentasi yang lebih merujuk pada ideologi dan budaya politik yang sama, dengan atau tanpa harus dikaitkan dengan partai tertentu.

Komunitas Kampret tentu ada yang berkadar lemah ideologis dan mudah terpengaruh untuk berayun di antara pecahan “Cebong Bertahan” (pendukung Ganjar-Mahfud) dan “Cebong Bermigrasi” (pendukung Prabowo-Gibran dan pendukung Anies-Muhaimin). Lagi pula Kampret ini tidak semua orang non-partisan. Di antara mereka ada yang sejak awal terafiliasi dengan partai.

Jika komunitas “Cebong Bertahan” dan komunitas “Kampret Bertahan” relatif dapat dikategorikan sebagai captive voter yang akhirnya terbagi tiga dengan proporsi tak berimbang, maka sambil memeliharanya dari berbagai bentuk gangguan (intimidasi, politik uang dan sebagainya), ketiga pasangan Capres dan timnya sama-sama memiliki jalan terbuka untuk memperebutkan suatu jumlah cukup besar dan bahkan diasumsikan sebagai penentu kemenangan. Undecvided voter tentu ada yang bersejarah kecebongan dan kekampretan, serta di luarnya.

Pada dasarnya kategori undecided voter inilah wilayah perebutan sesungguhnya. Mereka amat diharapkan mengubah pendirian netral menjadi memihak melalui debat Capres. Umumnya tingkat rasionalitas kalangan ini relatif lebih tinggi dan hanya karena kadar rasionalitas itulah mereka mementingkan sikap wait and see sambil berharap menemukan lebih banyak informasi yang sahih dan meyakinkan tentang obsesi terbaik Indonesia dikaitkan dengan ketiga Capres yang berkompetisi.

Sampai di sini tentu Anda sudah dapat melanjutkan analisis secara mandiri tanpa harus merujuk produksi data lembaga-lembaga survey Indonesia yang dengan berat hati memang sejak lama seharusnya sudah dikesampingkan untuk alasan integritas.

Capres Nomor 01 Anies Rasyid Baswedan terlihat jelas dalam debat berusaha sekuat mungkin tidak mendasari semua narasinya dengan niat sentimen, melainkan berusaha seakademis mungkin merepresentasikan pikiran, perasaan dan harapan orang banyak dalam kaitannya dengan semua isyu yang diperdebatkan.

Dengan metode berpikir akademis yang amat menonjol di antara ketiga Capres yang berada di panggung yang sama, dengan bahasa dan diksi pilihan yang begitu lugas, Capres yang satu-satunya mengenakan peci yang mengingatkan Indonesia kepada profile dan identitas para pendiri bangsa, ini, selalu terlihat hanya berusaha ingin memberi penjelasan objektif atas kenyataan.

Atas dasar itu pula kemudian berusaha membuat prediksi ke depan, dengan penggambaran betapa buruk jika semua kenyataan itu tidak diperbaiki. Dengan struktur berfikir seperti itu, Anies Rasyid Baswedan berusaha memberi pokok-pokok pikiran orisinalnya sebagai peta jalan keluar dari kerumitan yang menimpa kehidupan berbangsa saat ini.

Dampaknya dirasakan begitu sulit oleh Prabowo Subianto yang bahkan hingga membawanya ke suasana kurang stabil dengan emosi yang tak terkendali. Kemudian, ketika kesempatannya tiba, Prabowo Subianto juga tampak kurang efektif memberi tohokan mematikan, jika hal itu pernah diniatkannya. Karena, faktanya, secara akademis, semua pertanyaan yang mungkin diasumsikannya akan dapat sangat menohok, justru dapat dengan amat manis diposisikan tidak akurat, kalau bukan tak berbobot, oleh Anis Rasyid Baswedan.

Ganjar Pranowo terlihat jelas berusaha mengambil keuntungan dari ketegangan kedua Capres itu. Tetapi orang pasti faham, tidak ada nilai orisinalitas yang dapat dipetik dari cara kurang elegan seperti itu. Apalagi, berdasarkan pengalamannya dalam politik dan pemerintahan selama ini, ia sebetulnya kurang memiliki pikiran yang cukup jitu untuk menyelesaikan problematika Indonesia yang ia juga berusaha menyatakannya dengan penuh ketegasan.

Jika dibandingkan narasi ketiga Capres, pemerhati dengan cukup mudah membedakan kadar substansi narasi Anies Rasyid Baswedan, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo. Anies Rasyid Baswedan terbiasa dengan filosofi, metodologi, pemeriksaan data dan perbandingan masalah untuk berusaha keluar dengan gagasan orisinal. Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo juga berusaha mendekati kualitas yang sama.

Namun Prabowo Subianto cukup kentara dengan pengaruh kuat doktrin-doktrin kemiliteran yang dalam perkembangan terbaru geopolitik global sangat memerlukan revisi tajam dalam asumsi dan strategi. Sedangkan Ganjar Pranowo yang cukup terbiasa dengan komunitas politiknya yang tak berpantangkan keniscayaan pencitraan di atas segalanya otomatis lebih mahir bernarasi seputar hal-hal yang datar-datar saja dalam pemikiran. Itu memang dapat lebih mudah ditangkap oleh rakyat Indonesia yang mayoritas masih cukup awam. Sayangnya Ganjar-Mahfud akan terhadang dengan gimmick Gibran yang akan menukik ke kedalaman nurani pemilih dalam komunitas yang berkarakteristik sama.

Sebagaimana dikemukakan pada bagian terdahulu, debat babak I ini mungkin telah dengan tak terhindari telah menyasar “keterbungkusan” wilayah kekuasaan Joko Widodo dan mendegradasi posisi pasangan yang usungan cawe-cawenya (Prabowo-Gibran). Bagi Ganjar Pranowo ini dapat memperjelas arah yang harus ditempuh (antara mengkapitalisasi aspek historis sebagai wakil dari komunitas politik yang memerintah selama hampir sepuluh tahun terakhir bersama Joko Widodo atau mencelanya), dan menginspirasi Anies Rasyid Baswedan untuk mempertegas kekuatan agendanya untuk perubahan Indonesia.

Tetapi di antara banyak hal yang menarik dari debat I itu, jangan lupakan satu hal. Berdoa dan bermunajat pada awal acara “Debat Masa Depan Indonesia” yang dipimpin oleh orang yang dalam protokoler nasional Indonesia untuk pertamakalinya menjadi sebuah deviasi, itu, tampaknya benar-benar terlihat begitu kekanak-kanakan jika hanya bertujuan untuk menghindari sahutan “amin” oleh halayak untuk setiap untaian kata dalam do’a dan munajat. “Amin” adalah singkatan untuk pasangan nomor urut 01, Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

  • Bagikan