Evaluasi Kinerja, Masih Perlukah KPK?

  • Bagikan
Evaluasi Kinerja, Masih Perlukah KPK?

Oleh M Hajoran Pulungan, SH., MH.

KPK ibarat kapal yang sedang berlayar di laut lepas sehingga dibutuhkan nahoda tanggguh bahkan “manusia setengah dewa” agar kapal tetap berlayar sampai tujuan dan tidak tenggelam atau kembali ke dermaga karena gelombang yang dasyat

Kekuasaan Presiden Joko Widodo tinggal menghitung bulan setelah satu dekade berkuasa di Republik Indonesia tercinta. Ketika seorang pemimpin mangkat dari singgasana harusnya meninggalkan prestasi yang dibanggakan sehingga di kenang oleh anak dan cucu bahkan rakyatnya sendiri.

Mungkin era pemerintahan mantan Wali Kota Solo ini akan dikenang dan tercatat dalam sejarah asal mula bencana suramnya pemberantasan korupsi di Indonesia dengan adanya revisi UU No. 30 Tahun 2002 dengan UU No. 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kebijakan ini mengakibatkan komisi antiraswah kehilangan taji sehingga tak bernyali berhadapan dengan para koruptor.

Hal ini dibuktikan banyaknya permasalahan di tubuh KPK yang sengaja dikondisikan, mulai dari urusan internal sampai eksternal yang pada akhirnya mempengaruhi kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi. Ironisnya lagi Ketuanya Firli Bahuri yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi tapi justru Tersangka kasus pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Sahrul Yasin Limpo.

Keluarnya laporan Transparancy Internasional yang menyebutkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2022 mengalami penurunan atau anjlok di angka 34 turun empat poin dari tahun sebelumnya berada di angka 38, bukan hal mengherankan. Ini dibuktikan kurangnya komitmen dan keseriusan pemerintah dan Komisi Pemberantasan Korupsi beberapa tahun terakhir sehingga korupsi dibiarkan berkembang dan tumbuh subur di negeri ini.

Sebagaimana disebutkan di atas faktor utama indeks persepsi korupsi Indonesia turun disebabkan adanya revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang sejatinya adalah tonggak pemberantasan korupsi yang membedakannya dengan penegak hukum lainnya. Karena KPK dibentuk pada waktu itu disebabkan komitmen Kejaksaan dan Kepolisian untuk memberantas kasus korupsi dianggap tidak serius oleh masyarakat sehingga perlu dibentuk lembaga independen yang bebas dari intervensi kekuasaan.

Di samping itu juga kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi akhir-akhir ini dirasakan jauh dari harapan ditambah lagi pimpinan yang bermasalah sehingga muaranya pencegahan hingga penindakan nyaris lumpuh. Bahkan ada asumsi yang berkembang di masyarakat KPK bahwa tak luput dari intervensi dan terkesan tebang pilih dalam menangani kasus korupsi bahkan yang lebih celakanya dijadikan alat untuk melibas lawan politik.

Ketika fakta-fakta berbicara, lalu kita bertanya, kalau komitmen dan kinerja KPK sebagai benteng terakhir dalam pemberantasan korupsi sudah tak bertaji dan bebas intervensi, lalu buat apa lembaga itu dipertahankan? Dikembalikan saja ke Kejaksaan dan Kepolisian saja kalau hanya menjadi bebas anggaran negara.

Kalau kita melihat ke kebelakang, perjalanan panjang komisi antiraswah ini ketika di bentuk hingga adanya revisi UU KPK sangat berat dan berliku, banyak drama yang tersaji, mulai dari Cicak lawan Buaya hingga pemberhentian sejumlah ketua dan pimpinan dari lembaga independen yang didirikan sebagai benteng terakhir masyarakat dalam memberantas korupsi.

KPK ibarat sebuah kapal yang sedang berlayar di laut lepas sehingga dibutuhkan nahoda yang tanggguh bahkan bisa disebut “manusia setengah dewa” agar kapal tersebut tetap berlayar hingga sampai tujuan dan tidak tenggelam atau kembali ke dermaga karena tidak bisa menghadapi gelombang yang dasyat.

Kedasyat gelombang itulah yang saat ini memporakporanda KPK agar tidak segarang sebelumnya, bahkan kalau bisa dilumpuhkan macam ompong agar tidak menjadi duri dan batu sandungan bagi para koruptor untuk terus menggerus uang rakyat.

Sebelum revisi lembaga itu sudah membuktikan tidak gentar berhadapan dengan siapa pun termasuk penguasa, sehingga satu-satunya cara untuk menghentikan petualangan sang “Superbody’ dengan segala kecanggihan itu adalah dengan merevisi regilasi, yakni UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK sehingga tidak bisa bergerak bebas. Dan sekarang kita lihat rencana jahat itu berhasil dengan revisi UU KPK.

Sekarang masyarakat melihat dan menyaksikan bersama dengan mata telanjang pascarevisi, KPK sekarang bah macam ompong dengan kapasitas mengungkap kasus-kasus kelas teri yang sering disebut kelas “receh” sementara kasus besar yang merugikan negara miliaran bahkan triliunan tak tersentuh.

KPK didirikan karena ketidakseriusan institusi Kepolisian dan Kejaksaan untuk memberantas korupsi saat itu yang sudah memasuki semua lini sehingga dinilai tidak mampu untuk memberantas korupsi yang dikategorikan sebagai ektraordinery crime atau kejahatan luar biasa. Karena kejahatan korupsi sudah menjadi luar biasa, maka penanganannya juga harus secara luar biasa, sehingga lahirlah KPK tahun 2002 pada masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden.

Lahirnya lembaga KPK membawa angin segar bagi masyarakat di tengah pesimistis akan pemberantasa korupsi oleh penegak hukum yang ada, terlihat kinerjanya cukup bagus, terbukti menurunnya indek korupsi di Indonesia kala itu.

Di satu sisi masyarakat memberikan apresiasi atas kinerja KPK meskipun terkadang tak lepas dari tebang pilih, di sisi lain para pejabat dan penyelenggara negara merasa terganggung dengan sepak terjang KPK. Misalnya, anggota DPR, pejabat pemerintah, swasta dan lainnya dengan keberadaan KPK yang terus bergerilya menciduk para pejabat dan penyelenggara negara yang nakal dengan kewenangan yang dimilikinya.

Selain itu juga turunnya indeks persepsi korupsi disebabkan problem negara hukum yang demokratis berakhir pada ungkapan “Sesuai dengan ketentuan dan proses hukum yang berlaku di Indonesia” disebabkan karena penegakan hukumnya tidak berawal dari keadilan. Penafsiran hukum sering menjadi perdebatan dan pembenaran untuk menguntukan para koruptor. Bahkan pasal karet dipertahankan dan sengaja dibuat untuk mengkriminalisasikan elemen masyarakat yang kritis terhadap pemberantasan korupsi, demi memuluskan rencana menggerus uang rakyat.

Hukum dan keadilan sepintas kita lihat seperti searah dan sejalan, tapi kenyataannya tidak demikian. Para penegak hukum memastikan hukum yang ditegakkan telah memenuhi rasa keadilan, terutama yang berkembang di masyarakat. Hukuman para koruptor begitu ringan, dengan alasan sesuai dengan azas dan ketentuan hukum yang berlaku, sehingga hukum terjebak aturan proses dualisme mengakibatkan rasa keadilan yang berkembang di masyarakat tidak terpenuhi.

Formalisme penegakan hukum yang berkembang selama ini terhadap para koruptor tidak mencerminkan dan memadai untuk legitimasi negara hukum. Selain adanya godaan yang mengiurkan begitu sulit ditolak para penegak hukum untuk melayani kekuasaan, apalagi didukung oleh subordinasi struktural, akibatnya penegakan hukum cenderung menjauh dari gravitasi keadilan. Suatu upaya hukum dipaksakan dengan ratusan mahar mengesampingkan profesionalisme asal simpul perkara yang merugikan penguasa tidak terusik.

Suramnya masa depan penegakan hukum terhadap korupsi, membuat masyarakat mempertanyakan kembali komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi di tanah air. Selama jual beli perkara dan kasus di wilayah para penegak hukum masih tumbuh subur, maka putusan hukum akan terabaikan, dan sepanjang makelar kasus berkeliaran dengan leluasa mendekati penegak hukum dengan alasan yang tidak dibenarkan perundang-undangan maka disitu moral dipertaruhkan.

Tentu harapan ke depan harus tetap disematkan, dengan adanya political will dari pemerintahan mendatang dalam pemberantasan korupsi dan diperkuat dengan integritas dan moral para pejabat, baik pusat maupun daerah maka korupsi paling tidak bisa diminimlakan. Semoga saja.

Penulis adalah Dosen Tetap Dan Ka. Prodi Ilmu Hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Litigasi Pengayoman Kementerian Hukum dan HAM.

  • Bagikan