Fenomena Etika Politik Kontemporer

  • Bagikan
Fenomena Etika Politik Kontemporer

Oleh: Taufiq Abdul Rahim

Perkembangan serta fenomena politik sebagai realitas diskursus menjadi semakin menarik untuk dipahami, diamati, diikuti serta menjadi bahan rujukan akademik yang demikian dinamis, juga hadirnya berbagai masalah demokrasi politik. Kondisi kekinian memperlihatkan perkembangan demokratisasi semakin memberikan gambaran, diskripsi dan fenomena yang berfluktuasi, antara kondisi yang pernah berlaku serta gambaran baru yang seakan-akan belum pernah ada, tetapi pernah dipraktikkan dalam bayangan politik perrnah ada, dan dilakukan dalam konteks aktivitas politik yang dimainkan oleh para aktor politik, partai politik dan aktivis politik dalam lingkaran kekuasaan politik dewasa ini.

Pada prinsipnya politik itu menurut Greenberg and Baron (2000) adalah, orang cenderung untuk mempengaruhi individu lain dan organisasi dalam setiap tindakan atau perilakunya dengan melakukan social influence dan tindakan, dan juga politik keorganisasian adalah serangkaian tindakan yang secara formal tidak diterima dalam suatu organisasi dengan cara mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan individu. Sehingga fenomena politik yang berkembang baik dalam pemahaman rasional dan irrasional menjadi semakin nyata sebagai aktivitas perkembangan dinamika politik, yang merupakan fenomena baru dalam konstalasi politik nasional yang berlaku secara masif.

Dengan demikian, berlandaskan berbagai keinginan, ambisi serta gambaran kekuasaan politik dengan ikhtiar mendapatkan kemenangan dalam kontestasi politik, ini dilakukan berbagai upaya agar kekuasaan politik dapat diraih, sehingga para elite politik tetap berada dalam lingkaran kekuasaan yang berusaha mendapatkan legitimasi hukum dengan berbagai cara. Ini semua memperlihatkan fenomena perilaku politik bagi kepentingan politik kekuasaan yang mesti diraih secara demokratis, sebagai usaha meyakinkan ini merupakan legitimasi dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan kekuasaan politik tertinggi. Maka, aktivitas para aktivis dan perilaku politik kekuasaan biasanya muncul pada saat ada ketidakpastian, sumber daya yang langka, unit-unit (individual dan kelompok), guna mengimplentasikan tujuan untuk memiliki kepentingan yang terkonflik dan saat anggota-anggota organisasi memiliki kekuasaan (power) yang hampir sama.

Sehingga menurut Ferris dan Kacmar (1992) yaitu, perilaku politik yang muncul dalam bidang sumber daya manusia, seperti pada saat penilaian kinerja, seleksi personel, dan keputusan kompensasi. Dalam kebijakan politik negara sebagai usaha mengimplentasikan kepentingan politik elite, ini kemungkinan karena adanya ambiguity, yaitu antara memehami kepentingan politik rakyat maupun para pemegang kekuasaan politik. Hal ini pula yang menjadi pemahaman diskursus fenomena bahwa, lingkungan organisasional bersifat ambiguous karena tidak adanya kriteria evaluasi yang jelas, yang mudah digeser menjadi sebuah kepentingan elite politik, sehingga organisasi cenderung kurang bergantung pada hasil yang dapat diukur dan lebih pada usaha pekerja politik, memanipulasi potensi yang dipersepsikan dan karakteristik, nilai, dan sikap personal. Maka menurut Ferris dan King (1991) yaitu, semua hal tersebut dapat diubah melalui manipulasi pertimbangan.

Dalam aktivitas serta gambaran politik kontemporer menjelang pesta demokrasi politik nasional dan daerah secara serentak pada tahun 2024 memperlihatkan berbagai perilku yang semakin tidak jelas serta ketidak-warasan pemahaman logika, porak-porandan dasar hukum, bahkan semakin memperlihatkan penyimpangan etika-moral politik yang menjadi indikator standar dalam manajemen keorganisasian negara.

Makanya, Karl Albrecht (1983) memberikan pemahaman bahwa, suatu organisasi akan dipengaruhi faktor-faktor politis internal yang berkaitan dengan budaya organisasi dan gaya manajemen, ini yang dimaksud merupakan iklim politik organisasi yang pada prinsipnya juga mempengaruhi iklim organisasi dan kekuasaan secara keseluruhan. Namun demikian secara nyata bahwa, elemen politik internal organisasi yaitu faktor-faktor internal dalam organisasi, kultur otoriter, dan gaya manajemen, yang mempengaruhi para pengambil keputusan dalam melaksanakan fungsi manajemennya semakin memperlihatkan keangkuhan serta kekuasaan yang berlebihan (abbused of power). Sehingga menurut Kreitner (2006) menjelaskan, faktor-faktor utama yang menyebabkan munculnya perilaku berpolitik adalah karena adanya ketidakpastian dalam organisasi, seperti tujuan tidak jelas, ukuran prestasi dan kinerja tidak terstandar, proses pembuatan keputusan tidak terdefinisi dengan baik, kompetisi antar individu dan kelompok tinggi, dan perubahan. Dengan demikian manipulasi politik yang sangat popular dalam konteks kontemporer adalah, perubahan, kemajuan serta dibuat semakin menarik dengan berbagai ungkapan kata untuk menarik simpati rakyat.

Sehingga Riker (1964) berpendapat bahwa, perbedaan dalam kekuasaan benar-benar didasarkan pada perbedaan kausalitas (sebab-akibat), dimana kekuasaan adalah kemampuan untuk menggunakan pengaruh, sedangkan alasan adalah penggunaan pengaruh yang sebenarnya. Hal ini merujuk kepada Boulding (1989) mengemukakan gagasan kekuasaan dalam arti luas, sampai tingkat mana dan bagaimana kita memperoleh yang kita inginkan, maka bila hal ini diterapkan pada lingkungan organisasi, ini adalah masalah penentuan diseputar bagaimana organisasi memperoleh apa yang dinginkan dan bagaimana para pemberi andil dalam organisasi itu memperoleh apa yang mereka inginkan.

Dalam perkembangan fenomena diskursus politik kekinian, ini memandang kekuasaan sebagai kemampuan perorangan atau kelompok untuk mempengaruhi, memanipulasi, memberi perintah dan mengendalikan hasil-hasil organisasi dan kesepakatan secara kolektif untuk mendapatkan kekuasaan politik.

Dalam pemahaman etika politik sejauh berlaku secara demokratis, damai serta bertanggung jawab, ini mesti dilaksanakan tanpa paksaan dan dikehandaki adanya kejujuran pelaksanaan dengan prinisip kepemimpinan sebagai mandat memperjuangkan kepentingan rakyat dalam realitas kehidupan yang lebih maju dan baik. Maka pertimbangan etika politik menjadi semakin penting jika proses pesta demokrasi menjunjung tinggi nilai-nilai etika-moral dan kejujuran dalam memperoleh kekuasaan politik yang sebenarnya.

Karena itu, dalam terminologi etika (filsafat moral) dalam kaitannya dengan kaidah keilmuan dan akademik, ini dapat dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi dasar seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, dan ini menjadi gambaran perilaku praktik politik demokrasi. Sesungguhnya etika memberikan dasar moral kepada politik dan perilaku para aktor politik serta partai politik yang ikut berdemokrasi. Sesungguhnya jika menghilangkan etika dari kehidupan dan perilaku politik, ini berimplikasi pada praktek politik yang bersifat Machavellistis, yaitu diasumsikan serta persisnya politik sebagai alat untuk mnelakukan segala sesuatu, sehingga pertimbanan baik atau buruk tanpa mengindahkan kesusilaan, norma yang berlaku seakan bernuansa positivistik (bebas nilai).

Dalam literatur sosiologi Perancis, Emile Durkheim (1895) dengan tulisannya The Rule Of Sociological Method, yang dikenal sebagai Bapak Teori Kerukunan Sosial, bahwa yang dewasa ini tetap mendominasi upaya ahli-ahli sosial untuk mengabsahkan Sosiologi Moralitas yang dibutuhkan untuk membentuk suatu tatanan masyarakat dalam konsep Negara-Bangsa-Modern dengan paduan etika dan moralitas yang mendukung ide integrasi individu atau person dalam sebuah negara bangsa.

Karenanya, Karl Barth (1932) menyatakan, etika adalah sebanding dengan moral, kedua-duanya merupakan filsafat tentang adat kebiasaan (sitten). Bahwasanya dalam kehidupan sosial politik kemasyarakatan menunjukkan arti mode perilaku manusia, suatu konstansi (contancy, ketentuan) tindakan manusia. Maka dalam praktik demokrasi politik secara umum etika atau moral adalah filsafat, ilmu atau disiplin tentang mode-mode tingkah laku manusia atau konstansi-konstansi tindakan manusia. Pada prinsipnya bahwa, etika menjadi relevan saat ini dalam konstalasi pesta demokrasi kontemporer, dan akan selalu relevan karena kehidupan manusia terus menerus ditandai oleh pertarungan (konflik) antar kekuatan baik (good) dan kekuatan jahat (evil) yang tak pernah henti-hentinya terus melakukan manipulasi politik. Sehingga yang dikehendaki etika politik mendasarkan diri pada rasio untuk menentukan kualitas moral kebajikan, maka disebut juga sistem filsafat yng mempertanyakan praktik manusia politik berkenaan dengan tanggung jawab dan kewajibannya nilai etika moral.

Penulis adalah Dosen Pasca Sarjana MM FE Unmuha dan Peneliti Senior PERC-Aceh

  • Bagikan