Guru Sebagai Buruh Pendidikan

  • Bagikan
<strong>Guru </strong><strong>S</strong><strong>ebagai Buruh Pendidikan</strong><strong></strong>

Oleh Anggalih Bayu Muh Kamim

Struktur tata kelola yang ketat dan represif menyebabkan guru takut untuk menanggung risiko dalam meningkatkan kapasitas dan mengemukakan pendapat serta bernegosiasi dengan kepala sekolah maupun dinas pendidikan juga menjadi penyebab kualitas dan kesejahteraan mereka tak membaik

Guru Sebagai Buruh Pendidikan. Guru seringkali disebut sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa,” tetapi seringkali penyebutan yang diwariskan dari era Orde Baru itu menjadi dalih untuk memasung suara tenaga pengajar atas masalah kesejahteraan.

Penyebutan “pahlawan tanpa tanda jasa” muncul dari konteks Orde Baru, di mana birokrasi diwarnai oleh budaya militer seperti pengaturan seragam dan pemberian tanda jasa kepada mereka yang dianggap mengikuti kemauan rezim.

Wadah organisasi berbagai kelompok masyarakat termasuk bagi guru bahkan hanya diperbolehkan satu dan menjadi bagian dari sistem birokrasi yang otoriter.

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dipaksa menjadi bagian dari Golongan Karya dan diharuskan menjalankan segala kemauan rezim (Mukhtar, 2019).

Hal tersebut sangat bertolak belakang dengan era sebelumnya di mana PGRI getol menyuarakan mengenai undang-undang perburuhan dan undang-undang pendidikan. Bahkan kader PGRI saat itu yakni Rh.

Koesnan pernah menjadi anggota Panitia Gaji Pemerintah di Kementerian Keuangan juga sempat pula menjadi Menteri Perburuhan dan Sosial pada kabinet Hatta (Kosasih, 2016).

Jatuhnya Soeharto dari pucuk kekuasaan pada 21 Mei 1998 memberi sedikit angin segar bagi guru untuk memperjuangkan kesejahteraannya. PGRI berhasil kembali menjadi organisasi independen dan melalui Kongres ke-18 di Lembang, Jawa Barat pada 25-28 November 1998 muncul kesadaran nasib guru yang terbebani oleh beban administratif, perbaikan kesejahteraan yang tak kunjung terjadi, dan semata menjadi objek kepentingan politik serta bisnis.

Lobi-lobi panjang baru membuahkan hasil pada 30 Desember 2005 dengan keluarnya UU 14/2005 yang memberi kemerdekaan guru untuk berserikat, memenuhi gaji sesuai kebutuhan hidup minimum serta jaminan sosial dan fasilitasi peningkatan kompetensi.

Studi yang dilakukan oleh Nurbaity, Rahmadi, dan Rakhman (2021) menunjukkan bahwa guru yang menjadi responden merasa nasib mereka kini lebih baik dibandingkan dengan era Orde Baru yang belum memberikan tunjangan dan THR (Tunjangan Hari Raya).

Munculnya sertifikasi sejak tahun 2005 juga dianggap dorongan penting untuk memperbaiki kesejahteraan.

Kondisi Pasca Orba juga memungkinkan guru yang merasa tak terfasilitasi oleh keberadaan PGRI untuk membentuk serikat pekerjanya sendiri. Berbagai organisasi seperti Ikatan Guru Indonesia (IGI), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII),

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), dan lain-lain memiliki AD/ART (Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga) sendiri, namun untuk kode etik profesi tetap menggunakan Kode Etik Guru Indonesia (KEGI).

Kemunculan organisasi guru di luar PGRI muncul sebagai sikap protes guru honorer, independen, tidak tetap, wiyata bakti dan swasta yang memandang PGRI tak lagi ‘independen’ dan tak mampu memperjuangkan nasib mereka (Farisi, 2013).

Studi Rohman (2014) sendiri mengkonfirmasi bahwa PGRI rentan hanya memfasilitasi pengurusnya untuk melakukan mobilitas sosial vertikal dalam jabatan birokrasi dan masih memiliki kedekatan dengan kalangan pemerintahan.

Sengkarut ekonomi politik warisan Orba sayangnya masih menjadi penghalang untuk memperbaiki kesejahteraan guru. Studi Rosser & Fahmi (2016) maupun Rosser (2018) menujukkan bahwa peran teknokrat mendominasi dalam pembuatan kebijakan guru tanpa melibatkan buruh pendidikan dengan dalih untuk meningkatkan kapasitas SDM dengan hemat biaya dan menjaga kesinambungan fiskal.

Teknokrat mendapatkan dukungan kuat dari lembaga donor, kelas penguasa dan grup konglomerasi untuk memastikan kebijakan pendidikan tetap menguntungkan mereka.

Jaringan patronase bahkan tetap berperan penting dalam pengadaan barang dan jasa menyangkut penyelenggaraan pendidikan dan rekrutmen guru serta jenjang karier.

Guru menghadapi kesulitan untuk menghadapi jeratan kelas atas, namun keberadaan organisasi independen seperti FGII, FSGI, dan berbagai organ lainnya yang terhubung pula dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) serta Indonesia Corruption Watch (ICW) membentuk koalisi pendidikan untuk melakukan berbagai protes, pengawalan, lobi-lobi, dan lain-lain untuk mendorong perubahan kebijakan (Rosser dan Fahmi, 2016).

Sayangnya, orang tua siswa yang semestinya dapat diajak mengawal kebijakan melalui komite sekolah maupun dewan pendidikan di tingkat kabupaten tak terorganisir dengan baik. Komite sekolah biasanya dikuasai oleh kepala sekolah bersama elit sekolah.

Sementara, dewan pendidikan tak lepas dari kuasa elit birokrasi lokal, elit politik dan orang tua dari kalangan kelas menengah atas.

Kalangan konglomerasi sayangnya juga enggan untuk mendorong perbaikan kesejahteraan guru, meskipun mereka memiliki kebutuhan atas buruh terampil disebabkan enggan menanggung kenaikan pajak.

Konglomerasi lebih mendorong untuk pemerintah menyediakan pelatihan jangka pendek bagi calon buruh yang akan menjadi bagian dari pasar tenaga kerja (Rosser dan Fahmi, 2016; Rosser, 2018).

Kesadaran kelas yang belum muncul di dalam diri guru mengenai kerentanan yang dihadapinya menjadi kendala pula dalam perjuangan buruh pendidikan.

Sikap sungkan muncul disebabkan rekrutmen guru kontrak seringkali mengandalkan koneksi dan kekerabatan dengan guru yang telah mengajar maupun kepala sekolah (SMERU Institute, 2020).

Struktur tata kelola yang ketat dan represif menyebabkan guru takut untuk menanggung risiko dalam meningkatkan kapasitas dan mengemukakan pendapat serta bernegosiasi dengan kepala sekolah maupun dinas pendidikan juga menjadi penyebab kualitas dan kesejahteraan mereka tak membaik.

Langkah mengedepankan senioritas dibandingkan kapasitas dan prestasi dalam peningkatan jenjang karier berkontribusi pula dalam buruknya kesejahteraan guru.

Sayangya, indikator lama mengajar dan loyalitas dijadikan pijakan utama untuk menentukan tingkat gaji dan tunjangan bagi guru (SMERU Institute, 2020).

Langkah untuk memperkuat koalisi pendidikan yang ada menjadi penting untuk memperbaiki nasib guru. Upaya untuk menarik empati orang tua dan siswa terhadap perjuangan guru menjadi penting apalagi kajian Rosser (2018) menunjukkan bahwa tingkat ketidakhadiran guru terus meningkat selama 2003-2013 akibat guru harus mencari sumber pendapatan ekstra di luar layanan pendidikan.

Koalisi kuat dari warga negara melalui forum yang ada dari bawah ke atas menjadi modal penting untuk memperbaiki nasib guru.

Guru perlu menyadari kedudukannya sebagai buruh pendidikan sangatlah rentan dan perlu memperjuangkan nasibnya bersama-sama melalui organisasi buruhnya. Kesadaran akan pemecahan suara buruh pendidikan melalui perbedaan status honorer, tidak tetap maupun pegawai negeri sipil (PNS) perlu ada.

Karena berbagai kategori tersebut melemparkan masalah kesejahteraan kepada kompetisi antar individu. Kesadaran perlu muncul untuk bersama-sama memastikan sesama buruh pendidikan mendapatkan status yang sama sebagai PNS dengan jaminan penghidupan dan jenjang karier yang jelas. 

Penulis adalah Founder Komunitas Studi National Welfare Institute; Alumnus DPP Fisipol, Universitas Gadjah Mada.

  • Bagikan