Kalian Memang Keterlaluan (3)

  • Bagikan

Kalian memang keterlaluan. Masihkah kita tenang-tenang saja seraya berdiam diri menyikapi situasi sekarang. Percayalah bahwa rakyat akan terus-menerus disuguhi tes riak (testing the water) yang apabila kita lengah meresponnya maka tes itu akan terus dilanjutkan

Baru-baru ini keluar hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan indeks kebahagiaan di Indonesia meningkat 0,8 persen di tahun 2021. Publik pun bertanya-tanya, kok bisa-bisanya kebahagiaan rakyat meningkat di saat ekonomi rakyat begitu morat-maritnya lebih-lebih lagi di masa pandemi.

Hasil survei itu mungkin perlu dipertanyakan tingkat kepercayaannya (reliability). Bisa saja survei itu tidak akurat jika mengikuti kaedah penelitian survei yang sebenarnya. Walaupun tidak dilaporkan indeks kebahagiaan di semua negara, jangan-jangan Indonesia masuk 10 besar paling rendah indeks kebahagiaan di dunia.

Namun karena birokrat yang melaksanakan survei, maka tak perlu heran jika hasilnya mengagetkan publik. Itu dapat dimaklumi karena budaya “Asal Bapak Senang” (ABS) yang diwarisi sejak rezim Sukarno tetap saja hidup mewarnai birokrat kita hingga kini.

Birokrat memang acap kali menjadi corong propaganda penguasa untuk meyakinkan rakyat agar jangan sinis menerima kinerja penguasa meskipun sudah melenceng dari cita-cita Undang-Undang Dasar 45 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan rakyat.

Karena birokrat merupakan bagian dari rezim, maka tetap saja menutupi kelemahan tuannya. Bila perlu orang ramai harus dipaksa berpuas hati menerima keadaan walau segenting apa pun dan wajib pula berpura-pura bahagia alias kebahagiaan semu (pseudo happiness) dalam setiap penampilan.

Untuk Kita Renungkan

Dua tulisan sebelumnya hingga kali ini hanyalah sebuah koreksi terhadap fenomena yang terjadi belakangan ini. Mungkin sudah saatnya kita merenung tanpa kecuali seraya mencari obat mujarab agar para pemimpin kita baik di legislatif, eksekutif dan yudikatif segera siuman dari kekeliruannya menuju jalan yang benar

Tidak berlebihan jika masa sekarang adalah masa ujian yang sangat amat berat untuk lulus tidaknya kita memandang hari esok yang lebih cerah. Para pakar telah memprediksi bahwa Indonesia tinggal menunggu masa cetusnya menuju masa yang sulit dan mengkhawatirkan. Tinggal selangkah lagi ke tahap game over jika tidak ada upaya mengantisipasi dan menghempangnya.

Kalian memang keterlaluan. Masihkah kita tenang-tenang saja seraya berdiam diri menyikapi situasi sekarang. Percayalah bahwa rakyat akan terus-menerus disuguhi tes riak (testing the water) yang apabila kita lengah meresponnya maka tes itu akan terus dilanjutkan. Ingat ketika soal JHT digulirkan, lantas didemo buruh, akhirnya kembali kepada peraturan semula.

Demikian juga larangan berjilbab di sekolah, lantas diprotes, minta maaf dan akhirnya kembali kepada sediakala. Dan banyak lagi contoh tes riak yang senafas dengan itu tak terkecuali soal azan baru-baru ini. Rakyat tidak boleh tidur menyikapi setiap ada tes riak yang dilemparkan ke tengah-tengah masyarakat.

Bilamana umat dan rakyat tidak punya ghirah dan tingkat sensifitas yang tinggi maka kepentingan umat dan rakyat akan terpereteli satu persatu. Kita kadang menganggap remeh hal yang kecil, tapi jangan lupa karamnya kapal bisa saja dimulai dari lubang yang kecil yang semula diremehkan.

Meski tidak sama betul, tes inilah yang dipraktekkan Israel dalam menjajah Palestina. Diawali dari pembakaran masjid Aqsa pada tahun 1969 di mana negara-negara Arab sebagai tetangga Palestina berdiam diri tanpa pembelaan meski masjid paling bersejarah itu terletak di bumi Palestina.

Perdana Menteri Israel berkata (meminjam bahasa penulis lain): “Ketika kami membakar Masjid Aqsa, aku tidak dapat tidur sepanjang malam karena takut bangsa Arab berdatangan menyerang Israel dari segala arah. Tetapi ketika pagi tiba, aku sadar bahwa kami mampu melakukan apa saja yang kami mau, karena kami berhadapan dengan bangsa dan umat yang tidur”.

Akhirnya penjajahan itu pun berlanjut hingga hari ini. Analogi di atas mengingatkan kita untuk tetap waspada dan on the spot bersikap begitu test case, dan testing the water digulirkan.

Jika kita berdiam diri dan selalu menempatkan pada posisi selemah-lemah iman tanpa berupaya memperbaiki keadaan dengan skill, kekuasaan dan dakwah tulis-verbal, maka kita tunggulah tempelengan dalam bentuk tindakan berikutnya.

Ingatlah bahwa kehancuran suatu negeri bukan hanya karena banyaknya orang dzalim, tapi juga karena diamnya orang baik sekaligus punya saham menyuburkan kemungkaran dan kedzaliman.

Alam pun tidak akan bersahabat dengan kita. Geliat alam berupa gempa dan bencana lainnya menjadi isyarat bahwa bangsa Indonesia perlu merenung dan introspeksi diri tanpa kecuali. Haruskah lebih dulu tangan Allah berbicara berupa bala yang lebih dahsyat baru kita bisa sadar.

Nasehat Politik Untuk Semua

Wahai pemimpin kami yang sedang duduk di singgasana kekuasaan, cobalah kalian dengar keluhan rakyat hingga berhenti menyakitinya. Secuil hati nurani mungkin masih ada bersarang di dada kalian untuk dapat dipersembahkan kepada rakyat. Masih ada waktu untuk merenung, beristighfar dan bertaubat sekaligus menyesali ketidakberpihakan kepada rakyat selama ini.

Menjunjung tinggi amanah adalah sebuah ibadah, namun jika menghindar dari tanggung jawab, memelihara kebiasaan berbohong dan berbuat khianat bisa menjadi dosa. Jika kebohongan senantiasa menghiasi bibir, ketahuilah bahwa Allah murka kepada orang yang tak sesuai perkataan dengan perbuatannya (QS: 61: 3).

Cobalah untuk tidak terlalu cinta dengan dunia. Jangan lebih suka kehilangan barang sesuatu daripada Allah yang akibatnya bisa terjerumus kepada sikap menuhankan jabatan dan dunia. Bolehlah kalian bermegah ria di atas perderitaan rakyat, tapi jangan lupa Tuhan akan menghitung segala macam makar (tipu daya) yang dipertontonkan (QS.8: 30).

Jika Allah berkehendak bisa saja di bayar dengan kontan. Jika pun tidak, Tuhan bepesan kepada nabiNya:”Dan janganlah sekali-sekali kamu (Muhammad) mengira bahwa Allah akan melupakan tindakan yang dilakukan orang dzalim. Sesungguhnya Allah menunda hukuman mereka sampai hari yang pada waktu itu mata mereka terbelalak karena melihat adzab (QS.14: 42)

Sehebat apapun kedudukan di dunia, kita sudah pasti akan kembali kepadaNya karena kita diciptakan bukan bohong-bohongan atau ecek-ecek. Allah menukilkan dalam kitabNya; “Apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main, dan tidak akan dikembalikan kepada Kami? (QS: 23: 115).

Jika kalian baik tentu doa rakyat akan baik, jika pun kalian tak sanggup berbuat baik toh tak sanggup juga rakyat melayangkan doa yang tak baik kepada kalian. Mendokan pemimpin cepat mati itu bukanlah wujud pengamalan agama yang baik, tapi umat yakin bahwa Tuhan mendengar doa-doa yang terdzolimi, sebagaimana diungkapkan Rasul: ittaquu da’wal madzluum (takutlah kamu kepada doa-doa yang terdzolimi).

Kalian harus belajar dari sejarah penguasa zolim di jaman nabi-nabi sebelumnya yang bernama Namruj dan Fir’aun dan penguasa zalim seperti Kamal Attaturk di Turki. Mereka mati dalam kehinaan akibat kedzoliman dan berpalingnya dari hukum Allah.

Sesungguhnya rakyat tidaklah menuntut kali kepada kalian harus seperti Umar bin Khattab ketika menjadi khalifah di jamannya yang mengontrol apakah periuk umatnya berasap atau tidak. Sama sekali tidak, cukup perhatian dari segi kebijakan saja asalkan memihak kepada rakyat.

Namun jika itu pun tak nak, bukan tidak mungkin suatu saat rakyat tidak pandai lagi bersungut-sungut meminta belas kasihan, namun langsung berbuat di luar akal sehatnya. Jikapun kalian sudah merasa capek mengurus negara ini, sudah.., kasikan saja kepada yang muda lagi energik. Jangan malah bermanuver untuk menunda pemilu apalagi menawarkan dalih big data yang menyesatkan itu.

Penutup

Apa yang saya sampaikan dalam tulisan berseri ini merupakan refleksi dari rasa kegalauan saya pribadi akhir-akhir ini. Mungkin sebahagian besar rakyat merasakan hal yang sama tak terkecuali kelompok intelektual. Namun mereka mungkin lebih suka bersegera memilih dan jatuh ke level selemah-lemah iman seraya menadahkan tangan dengan doa yang panjang.

Saya hanyalah seorang akademisi yang numpang tempat memberi nasihat politik di ruang ini jika masih bisa diperkenankan. Saya berusaha mengatakan yang haq walau itu pahit. Sejak SD saya diajari guru bahwa 3 x 2 itu tetaplah hasilnya 6 bukan 5 atau seberapa. Kecuali di negeri ini sudah disepakati hasilnya lain dari matematika global karena diintervensi politik yang merusak kebenaran ilmiah.

Jika guru dan ilmuwan tak boleh lagi berkata 2 x 2 = 4 di hadapan publik apalagi di depan penguasa, maka tamatlah riwayat pengetahuan di negeri ini dan kiamat pulalah kebenaran dari permukaan bumi ini.

Mungkin kalian pun akan marah jika seorang guru sanggup melacurkan kebenaran ilmiah terhadap murid-muridnya apalagi menjualnya dengan harga murah hanya karena sesuap nasi. Terutama kepada kami yang sedang belajar ilmuwan ini, akan lebih marah lagi jika tidak konsisten dengan apa yang direkomendasikan oleh ilmu (science).

Jika pun ulasaan saya ini dianggap salah, bolehlah saya diberi ruang kemaafan. Marilah kita berusaha agar Tuhan masih bisa tersenyum melihat kita dan masih mau menyapa kita.

Penulis adalah Guru Besar Unimed.

  • Bagikan