Kebijakan 1 Peta (Akhirnya) Milik Publik

  • Bagikan
Kebijakan 1 Peta (Akhirnya) Milik Publik

Oleh Akbar Hiznu Mawanda, S.H., M.H., C.Me.

Keberadaan dua regulasi dan satu calon regulasi ini tentu berpotensi menimbulkan tumpang tindih regulasi terkait pelaksanaan kewenangan akses data dan informasi geospasial hasil percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta

Terbitnya Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2023 tentang Kewenangan Akses untuk Berbagi Data dan Informasi Geospasial Melalui Jaringan Informasi Geospasial Nasional dalam Kegiatan Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 12 Desember 2023 lalu memberikan warna baru dalam skena percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta, khususnya dari sisi keterbukaan informasi publik terhadap hasil dari pelaksanaan kebijakan tersebut.

Keputusan presiden ini sendiri merupakan tindak lanjut dari disahkannya Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2021. Sebuah peraturan presiden yang dikeluarkan untuk merekonstruksi penerapan percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta yang sebelumnya telah diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000

Bukan Untuk Publik

Sebelumnya, kebijakan mengenai akses data dan informasi geospasial hasil percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta diatur melalui Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Kewenangan Akses untuk Berbagi Data dan Informasi Geospasial Melalui Jaringan Informasi Geospasial Nasional dalam Kegiatan Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta.

Dalam keputusan presiden tersebut, data dan informasi geospasial hasil dari percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta hanya dapat diakses oleh presiden dan wakil presiden, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kepala Badan Informasi Geospasial, menteri atau pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/wali kota. Dari daftar pemegang akses tersebut, kita bisa melihat bahwa unsur masyarakat atau publik tidak masuk menjadi bagian dari keluarga besar pemegang akses data dan informasi geospasial hasil percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta.

Ekses dari kebijakan tersebut pun masih bisa dirasakan hingga saat ini. Publik masih tidak bisa mengakses data dan informasi geospasial hasil percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta periode 2016—2019 seperti Peta Izin Pemanfaatan Kawasan Hutan, Peta Wilayah Izin Usaha Pertambangan, Peta Tanah Ulayat Hak Komunal, Peta Hak Guna Bangunan, Peta Izin Lokasi, Peta Hutan Adat, dan bentuk informasi geospasial lainnya sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016.

Ketiadaan unsur masyarakat ini cenderung menciptakan sentimen negatif terhadap implementasi dari Kebijakan Satu Peta. Dalam sebuah press release yang diterbitkan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) pada tanggal 23 Juni 2020 menyampaikan bahwa kebijakan satu peta yang awalnya bertujuan sebagai bagian dari penyelesaian konflik tumpang tindih atas ruang pada akhirnya hanya berjalan atas dasar konsensus yang dibuat antarkementerian dan lembaga. Yang mana kondisi tersebut kemudian diperburuk dengan tertutupnya akses publik yang berdampak pada Kebijakan Satu Peta berjalan tanpa adanya pengawasan dan kontrol publik dan berakibat pada ketidaktahuan publik tentang sejauh mana informasi geospasial itu dikompilasi, diintegrasikan, maupun disinkronisasi dalam kerangka Kebijakan Satu Peta.

Perubahan Rezim

Hadirnya Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2023 sepertinya akan membawa perubahan sangat signifikan dalam pelaksanaan kebijakan satu peta terutama dalam rezim siapa saja yang diberikan kewenangan untuk mengakses data dan informasi geospasial hasil percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta. Ini tampak dalam salah satu pengaturan di dalam keputusan presiden tersebut yang menetapkan “masyarakat” sebagai anggota baru dari Avengers pemegang akses data dan informasi geospasial hasil percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta. Ini dapat dilihat di dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf h dari keputusan presiden tersebut.

Lebih lanjut, dalam ketentuan ayat (5) dalam pasal yang sama memberikan definisi dari masyarakat tersebut yaitu orang perorangan, badan usaha, dan badan hukum. Ditetapkannya masyarakat sebagai salah satu pemegang akses data dan informasi geospasial hasil percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta ini menjadi sebuah game changer. Salah satunya adalah semakin terbukanya ruang partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) dalam skena percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta.

Belum Implementatif

Meskipun secara prinsip, keran keterbukaan informasi sekaligus partisipasi publik sudah dibuka selebar-lebarnya, namun dalam tataran praktis, kebijakan ini masih belum implementatif. Dalam Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2023, disebutkan bahwa presiden dan wakil presiden, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kepala Badan Informasi Geospasial akan diberikan akses dengan klasifikasi akses mengunduh dan melihat data dan informasi geospasial hasil percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta.

Sedangkan pemegang akses lainnya, termasuk masyarakat, akan mendapat akses dengan klasifikasi mengunduh dan/atau melihat. Konsekuensi dari penggunaan istilah dan/atau ini adalah munculnya banyaknya opsi klasifikasi akses yang akan diberikan untuk masyarakat. Mulai dari hanya bisa melihat, hanya bisa mengunduh, sampai dengan bisa melakukan keduanya. Belum lagi keputusan presiden ini juga memberi ruang untuk menyatakan sebuah data dan informasi geospasial hasil percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta sebagai informasi yang tertutup. Variatifnya opsi akses yang bisa diberikan kepada masyarakat ini tentu bak pedang bermata dua. Bisa sangat menguntungkan bagi masyarakat. Namun juga bisa mempertahankan status quo alias masyarakat tetap tidak bisa sevcara bebas mengakses data dan informasi geospasial hasil percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta.

Ancaman Tumpang Tindih Regulasi

Kondisi ini semakin membingungkan ketika di dalam keputusan presiden tersebut, ketentuan mengenai pelaksanaan kewenangan akses data dan informasi geospasial hasil percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Masalahnya kemudian adalah peraturan perundang-undangan yang mana.

Dalam tataran normatif, sudah ada dua regulasi yang khusus mengatur hal ini yaitu Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 6 Tahun 2018 tentang Klasifikasi Kewenangan Akses Untuk Berbagi Data dan Informasi Geospasial Melalui Jaringan Informasi Geospasial Nasional Dalam Kegiatan Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta dan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2018 tentang Tata Kelola Berbagi Data dan Informasi Geospasial Melalui Jaringan Informasi Geospasial Nasional Dalam Kegiatan Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta. Dua regulasi tersebut merupakan amanat dari Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 2018. Namun dalam bagian A.7 Lampiran Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2021, terdapat tanggung jawab yang diberikan Presiden kepada Badan Informasi Geospasial untuk menetapkan Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial tentang Mekanisme dan Tata Kerja Berbagi Pakai Data dan Informasi Geospasial Kebijakan Satu Peta.

Keberadaan dua regulasi dan satu calon regulasi ini tentu berpotensi menimbulkan tumpang tindih regulasi terkait pelaksanaan kewenangan akses data dan informasi geospasial hasil percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta. Agar tumpang tindih regulasi ini bisa dihindari, penguatan harmonisasi kebijakan dan koordinasi antarlembaga menjadi suatu keharusan sehingga semangat kebijakan satu peta untuk publik pun tidak hanya sekadar menjadi sebuah kefanaan.

Penulis adalah Perancang Peraturan Perundang-undangan dan Mediator Berlisensi

  • Bagikan