Kejahatan Lingkungan Hidup & TPPU

  • Bagikan
<strong>Kejahatan Lingkungan Hidup & </strong><strong>TPPU</strong>

Oleh Arfan Adha Lubis, SH., MH & M. Sa’ i Rangkuti, SH., MH

Korelasi hubungan kejahatan lingkungan hidup dengan TPPU sangat erat. Terlebih kejahatan lingkungan hidup merupakan predicate crime TPPU. Di sisi lain diperlukan diskursus lebih lanjut untuk memberikan pemahaman secara konkrit kepada masyarakat tentang makna kejahatan lingkungan hidup itu sendiri

Kejahatan lingkungan hidup semakin marak terjadi. Karhutla, illegal logging, illegal minning, merupakan kejahatan lingkungan hidup dilakukan secara masif, oleh korporasi, indifidu, transnational corporation, oknum aparat sampai pejabat publik yang mempunyai pengaruh besar.

Maraknya kejahatan lingkungan tak terlepas dari pengaruh faktor eksternal maupun internal. Kesadaran masyarakat masih minim untuk tidak melakukan perusakan serta pencemaran lingkungan, kendala sumber daya manusia penegak hukum yang masih terbatas, regulasi perizinan masih tumpangtindih antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, sarana atau fasilitas penegakan hukum yang belum memadai.

Sistem ekonomi politik dianut dewasa ini, plus konsep penegakan hukum belum dilaksanakan secara mumpuni baik pencegahan maupun penindakan, merupakan faktor eksternal mempengaruhi jamaknya kejahatan lingkungan hidup yang modusnya semakin dinamis dan kompleks.

Sedangkan faktor internal meliputi tehnik perumusan tindak pidana pencemaran plus perusakan lingkungan hidup begitu luas dan abstrak, sebagaimana diatur UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).

Hal ini dilihat delik materiel Pasal 97, 98, dan Pasal 112, plus delik formil diatur Pasal 100, Pasal 111, Pasal 113, dan Pasal 115. Gilirannya menyulitkan aparat penegak hukum menerapkan pidana lingkungan.

Sebagaimana diketahui ketentuan pidana lingkungan hidup diatur Pasal 97 sampai dengan Pasal 120 UU PPLH. Semua merupakan delik kejahatan, dimana perbuatan pencemaran/perusakan lingkungan hidup dilakukan baik secara dolus (sengaja), maupun karena culpa (kelalaian).

Seiring perkembangan jaman serta kemajuan tekhnologi, pelaku kejhttp://kejahatan lingkunganahatan lingkungan hidup tidak hanya melanggar UU PPLH, tetapi sekaligus melakukan money loundry (tindak pidana pencucian uang), diatur UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Akan tetapi penegakan hukum TPPU berkaitan tindak pidana lingkungan hidup sendiri belum berbasiskan keadilan progresif. Penegak hukum masih jamak terjebak legalitas formal sebagaimana termaktub positif legisme atau kontesktual semaat. Notabene tujuan atau cita-cita hukum itu sendiri adalah nilai-nilai moral, kebenaran dan keadilan.

Akibatnya belum menempatkan keadilan hakiki, sebagaimana keadilan berdasarkan Pancasila, UUD 1945 serta prinsip peraturan perundang-undangan. Untuk itu dibutuhkan paradigma hukum progresif, dimana penegak hukum terutama hakim, harus berani melakukan terobosan hukum Tidak serta merta terjebak positivisme legisme plus legal analytical.

Di sisi lain dalam kasus tertentu, uang hasil kejahatan lingkungan tidak diketemukan. Plus pasal-pasal dalam UU No. 8 Tahun 2010 menimbulkan multitafsir dan saling bertentangan seperti Pasal 74 yang kontradiksi dengan penjelasannya.

Modus Pencucian Uang

Kejahatan lingkungan hidup merupakan salah satu predicate crime (tindak pidana asal) TPPU. Pasal 2 Ayat (1) huruf x UU No.8 Tahun 2010 berbunyi, “Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana;x. dibidang lingkungan hidup.”

Sebagai salah satu predicate crime TPPU, kejahatan lingkungan hidup menjadi salah satu kejahatan paling besar didunia. Dilansir https://katadata.co.id/arya-widhywicaksono/berita/624293eda65ef/ppatk-pantau-aliran-dana-ilegal-terkait-kejahatan-lingkungan, kerugian secara global akibat kejahatan lingkungan mencapai Rp 1. 540 triliun.

Suatu angka sangat fantastis melihat kerugian ditimbulkan tindak pidana lingkungan. Belum lagi dampak kerusakan lingkungan ditimbulkannya, terancamnya kesehatan masyarakat, bencana ekologis, plus kerugian ekonomi negara.

Menurut Direktur CELIOS, Bhima Yudhistira dilansir dari https://politik.rmol.id/read/2022/02/09/522758/bhima-yudhistira-ungkapkan-modus-pencucian-uang-lewat-perusahaan-rintisan, modus pencucian uang menggunakan uang hasil ekstraktif untuk diputar-putar. Kalau era sebelumnya uang hasil kejahatan lingkungan digunakan untuk pembelian bangunan, mobil, atau aset saham dan surat utang.

Maka menurut Bhima, sekarang modus uang hasil kejahatan lingkungan dimasukkan ke perusahaan-perusahaan modal ventura asing. Baru kemudian disuntikkan ke perusahaan startup dalam negeri.

Kelihaian ekstra aparat penegak hukum sangat dituntut, baik KPK maupun PPATK, dalam melakukan follow the money (penelusuran aliran uang), terhadap modus baru hasil kejahatan lingkungan yang begitu canggih.

Sebab hal ini berimplikasi tidak hanya terhadap sistem keuangan, plus perekonomian negara. Tetapi sekaligus meruntuhkan kepercayaan investor asing untuk menyuntikkan dananya ke Indonesia, karena meragukan sistem keuangan kita, dinodai uang hasil tindak pidana lingkungan.

Definisi

UU No. 32 Tahun 2009 secara eksplisit tidak memberikan definisi tentang kejahatan lingkungan hidup. UUPPLH hanya mengatur pengertian pencemaran lingkungan hidup vide Pasal 1 angka (14) plus perusakan lingkungan vide Pasal 1 angka (16).

Menentukan terjadinya perusakan lingkungan hidup mengacu Pasal 1 angka 15, sedangkan menentukan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan hidup. Pasal 1 angka 13 UU No. 32 Tahun 2009 berbunyi,:

“Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.”

Pasal 1 angka 15 UU PPLH berbunyi, “Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas perubahan atau sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya.”

Untuk melihat definisi kejahatan lingkungan hidup secara lebih jelas, dapatlah diadopsi tulisan Ashabul Kahfi berjudul “Kejahatan Lingkungan Hidup “ dikutip laman https://journal.uin-alaudin.ac.id/index.php/al_daulah/article/download/1437/1462/, mengatakan beberapa kalangan mengartikan kejahatan lingkungan hidup sebagai perbuatan melawan hukum berupa pencemaran dan atau perusakan atas lingkungan hidup baik lingkungan alam/fisik, lingkungan buatan, maupun lingkungan sosial budaya yang dilakukan anggota masyarakat atau badan hukum.

Pasal 1 angka (1) UU No. 8 Tahun 2010 berbunyi, “Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.” Dilansir dari https://jurnal.kpk.go.id, pengertian TPPU prinsipnya merupakan upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan diperoleh dari berbagai tindak pidana seperti salah satunya dari tindak pidana lingkungan hidup.

Patut dipahami dalam situasi tertentu, dimana pelaku tindak pidana asal tidak diketahui keberadaannya, sedangkan aset diduga berasal dari tindak pidana asal, seperti kejahatan lingkungan hidup, plus hasil kejahatan dikuasai pihak lain. Maka dalam konteks tersebut, TPPU dapat sebagai independent crime (tindak pidana berdiri sendiri).

Hal ini sejalan bunyi Pasal 69 UU No. 8 Tahun 2010, “Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.”

Sedangkan kondisi normal dimana pelaku tindak pidana asal diketahui keberadaannya, sekaligus sebagai subjek TPPU, maka TPPU tetap dijadikan sebagai Folow Up Crime (tindak pidana lanjutan). Dikutip dari https://www.erisamdyprayatna.com/2022/03/pencucian-uang-sebagai-independent-crime.html/?m=1, Risamdy Prayatna melalui tulisannya berjudul”Pencucian Uang sebagai Indepent Crime “, mengatakan sebagaimana dipahami dalam kriminalisasi pencucian uang, ke semua deliknya mensyaratkan adanya hasil proceed of crime (hasil tindak pidana), sebagaimana dengan dijadikannya Pasal 2 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010.

Pasal 2 Ayat (1) UU TPPU bukan hanya mensyaratkan adanya predicate offences, melainkan pada proceed of crime (hasil kejahatan yang kemudian dicuci).

Penutup

Korelasi hubungan kejahatan lingkungan hidup dengan TPPU sangat erat. Terlebih kejahatan lingkungan hidup merupakan predicate crime TPPU. Di sisi lain diperlukan diskursus lebih lanjut untuk memberikan pemahaman secara konkrit kepada masyarakat tentang makna kejahatan lingkungan hidup itu sendiri.

Sebab bila mengacu pada UU No. 32 Tahun 2009 hanya dikatakan pencemaran lingkungan plus perusakan lingkungan. Hal ini akan dimaknai luas sekali kejahatan lingkungan hidup tersebut, notabene sebagai salah satu tindak pidana asal money loundry. Notabene sebagaimana diatur Pasal 2 Ayat (1) huruf x UU No. 8 Tahun 2010.

Hal ini berkorelasi terhadap predicate crime TPPU lainnya, seperti tindak pidana Kehutanan, vide Pasal 2 Ayat (1) huruf w UU No. 8 Tahun 2010. Kita apresasi langkah maju diambil, dengan penerapan prinsip muitidoor dalam meminimalisir kejahatan lingkungan sekaligus TPPU.

Selain itu, perumusan ketentuan pasal-pasal dalam UU No. 8 Tahun 2010 perlu direkonstruksi. Terutama Pasal 74 UU TPPU beserta penjelasannya. Demikian pula rumusan delik formil plus delik materil UU No. 32 Tahun 2009. Serta perlu menerapkan paradigma hukum progresif, yang berkeadilan dan berkemanusiaan. Semoga.!!!

Penulis adalah Alumni FH-UMSU & PMIH UMSUAdvokat, Mahasiswa Program Doktor S3 UNPRI. Kantor Law Office M. Sa’ I Rangkuti & Associates. Jl. Timor No. 179 Medan.

  • Bagikan