Kezaliman Versus Keadilan

  • Bagikan

Kezaliman versus keadilan. Mendorong anak muda tidak diam, berteriak ketika melihat kezaliman dan menyalurkan aspirasi pada jalur yang benar. Idealitas demokrasi dan kesehatan bangsa itu harus diderivasi dan Partai Ummat harus berjuang melembagakan perubahan dengan dirijen ruh keadilan

Sabtu (26/03/22), pengurus Partai Ummat meminta penulis berbicara pada forum rutin yang diselenggarakannya di kawasan Deliserdang. Sebelumnya, Ahad (20/03/22), undangan sebuah partai baru lainnya, juga penulis penuhi untuk kegiatan yang serupa.

Partai politik telah merasakan ketertinggalan dari perkembangan di luar mindset yang dipertahankan. Sekiranya melalui lembaga legislatif orang-orang partai ini pergi studi banding atau menghabiskan serentang waktu tertentu atas biaya negara, massifikasinya tak cukup untuk kebutuhan partai.

Karena itu pelatihan-pelatihan berkurikulum yang dijadikan sebagai instrumen kaderisasi kini dianggap keharusan.

Fokus Pengajian Rutin

Begitu penting menjadi perhatian beberapa permasalahan mengenai sejarah, kekelaman situasi global yang meniscayakan kerumitan nasional dan lokal. Ketertinggalan, kondisi sosial ekonomi rakyat hari-hari belakangan sebagai produk demokrasi dan politik, dan analisis base on data untuk mengajukan solusi.

Partai-partai baru sering membuat klaim mendudukkan kader dalam jumlah mengagumkan ke kursi legislatif semua tingkatan. Menghitung kekuatan kompetitor, menegaskan faktor non elektoral (kecurangan) sebagai keniscayaan dalam Pemilu tak berintegritas, tentu amat penting. Jangan mau kalah dengan kebobrokan sistemik itu.

Slogan Partai Ummat “Lawan Kezaliman, Tegakkan Keadilan”. Mengeksplorasinya menjadi langkah konkrit memicu partisipasi rakyat menjadi entry point untuk mengubah cita-cita menjadi kenyataan.

Harus ada perencanaan. Pelaksanaannya wajib dievauasi terus-menerus jika Partai Ummat yang bersegmen sama dengan sejumlah partai lainnya itu, khusnya PAN dan PKS, tidak tereliminasi karena tak mampu meraih suara ambang batas parliamentary threshold.

Disongsong Label Buruk

Dalam pendirian semua teoritisi (pendiri dan generasi pelanjut) mazhab pembangunan bertahap (evolution) dan searah (linear) modernisasi, permusuhan atas tradisi menjadi harga mati. Proses Eropanisasi dan atau Amerikanisasi diri berlangsung tanpa keleluasaan menegosiasikan pentingnya nilai, budaya dan tradisi.

Setidaknya selalu muncul enam krisis dalam proses modernisasi. Pertama, krisis identitas bangsa dalam peralihan loyalitas membangun identitas bangsa. Kedua, krisis legitimasi politik. Ketiga, krisis penetrasi (kesulitan pemerintah pusat memberlakukan kebijakan). Keempat, krisis partisipasi karena kegagalan lembaga penyalur tuntutan massa yang meningkat.

Kelima, krisis integrasi karena tak mengindahkan aspirasi stakeholder. Keenam, krisis distribusi karena negara hanya menghasilkan pertumbuhan ekonomi eksklusif dengan mendewakan kelompok amat kecil dengan segenap ekstrimitasnya yang mengabadikan warisan kolonial yang mematahkan pemenuhan harapan mayoritas.

Modernisasi sistem politik tidak selalu berhasil mengembangkan kapasitas mengakomodasi pengembangan sistem umum itu dan banyak yang berakhir dengan pengesahan berbagai bentuk penghukuman atau pemberangusan setiap perberbedaan pemikiran secara sewenang-wenang.

Keterbelahan bangsa dan pertarungan tingkat dunia yang memosisikan Islam sebagai musuh peradaban, sebagaimana Samuel P Huntington menegaskan, telah menjadi trend yang diglorifikasi oleh media mainstream.

Meski dikecam banyak tokoh dunia (Noam Chomsky, misalnya), namun terus dijalankan. Islamofobia adalah salah satu hasilnya. Fobia itu tak berdasar sesuai sifatnya, namun banyak rezim politik mengandalkannya.

Partai Ummat lahir pada momentum yang amat genting itu. Label terhadapnya dapat ditemukan dengan mudah, baik terbuka maupun tersamar. Wikipedia, misalnya, menulis singkat sekali tentang Partai Ummat yang diperbaharuinya tanggal 18 Maret 2022.

Disebut pada bagian awal bahwa kenetralan artikel ini dipertentangkan. Tetapi yang paling mencengangkan ialah pernyataan “Artikel ini kemungkinan ditulis dari sudut pandang penggemar dan bukan sudut pandang netral.” Padahal isinya adalah label belaka yang tak mungkin dilakukan oleh penggemar.

Sebuah subjudul dalam artikel itu ialah “Kader Ditangkap Densus 88” yang dituduh agen dari Jamaah Islamiyah salah satu organisasi Terorisme dunia. Juga ditautkan sebuah artikel “Rizieq Is the Symptom of a Far Deeper Disease,” dan “A firebrand cleric’s return boosts Islamist politics”.

Tautan terakhir itu amat menyudutkan. “Teka-teki berulang mengenai apakah ulama Muslim paling memecah belah di Indonesia, Habib Rizieq Shihab, pemimpin kelompok main hakim sendiri Front Pembela Islam (FPI), akan kembali ke negara itu terpecahkan pada Selasa pekan lalu ketika ia akhirnya menginjakkan kaki di rumah dari Arab Saudi.

Ulama penghasut itu pergi ke pengasingan diri di Arab Saudi pada April 2017, menyusul dua tuntutan hukum terhadapnya. Kembalinya Rizieq tepat waktu, karena kaum Islamis bersiap untuk bersaing dalam pemilihan presiden dan legislatif yang akan diadakan pada tahun 2024.

Politisi Islamis veteran Amien Rais meninggalkan Partai Amanat Nasional (PAN), yang ia dirikan pada tahun 1998, untuk mendirikan sebuah partai Islam baru. disebut Partai Ummat (Partai Komunitas Islam). Tokoh yang mengaku sebagai anak ideologis Partai Masyumi, sebuah partai politik Islam besar di tahun 1950-an dan dilarang pada tahun 1960…”

Apakah label itu akan menghilangkan sejarah bahwa Mohd Amien Rais adalah seorang lokomotif reformasi yang bermakna khusus dalam kaitannya dengan perubahan besar demokrasi dan politik Indonesia dan adkankah otomatisasi akan dilakukan terus untuk menghukum tanpa alasan Partai Ummat?

Koalisi Poros Tengah yang berhasil mendudukkan Gus Dur menjadi Presiden RI setelah Pemilu 1999 amat fenomenal. Lebih fenomenal lagi dalam pandangan pihak tertentu ialah turunnya Gus Dur sebelum berakhir masa jabatan yang juga dikaitkan dengan nama Mohd Amien Rais.

Maka pertimbangkan jugalah peran mengubah sejarah Indonesia ketika Mohd Amien Rais melalui peristiwa impeachment terhadap Gus Dur itu sekaligus menjadi peluang besar melenggang di atas karpet merah bagi satu-satunya trah dari Soekarno untuk naik menjadi Presiden RI, Megawati Soekarnoputri.

Sebagian pemikir kritis saat ini menyesali amandemen konstitusi sampai 4 kali yang menyebabkan Indonesia secara tak langsung mengingkari cita-cita perjuangan kemerdekaan yang dinukilkan di dalam Pembukaan UUD 1945.

Jika mayoritas lainnya berpuas diri dengan itu, maka bagaimana mereka tega untuk tidak berterimakasih kepada Mohd Amien Rais yang selama masa jabatannya pada MPR sebagai institusi yang berwenang mengubah konstitusi?

Label tetaplah label dan literasi publik menghendaki kondisi buruk ini berakhir dengan damai dengan dialog dalam iklim demokratis yang memperkokoh peradaban bangsa.

Kegagalan Reformasi

Tak hanya pembatasan masa jabatan presiden (dua kali) yang didasarkan pada nilai sirkulatif kekuasaan dalam tradisi demokrasi, sewaktu memimpin MPR Mohd Amien Rais juga menghasilkan Ketetapan yang mengkonstruk pemerintahan bersih dan berwibawa, bebas KKN.

Hubungannya dengan pembentukan badan khusus anti korupsi (KPK) tak mungkin dipungkiri.

Mohd Amien Rais menginisiasi pematokan imperatif anggaran pendidikan 20 persen (dari APBN dan APBD) dalam konstitusi. Meski selalu tak diindahkan oleh hampir semua tingkat pemerintahan, pandangannya tentang pendidikan sebagai jawaban untuk tegaknya harkat dan martabat bangsa di tengah masyarakat dunia begitu serius.

Kecil tapi amatlah bermakna, peluang demokratis calon legislatif untuk mengorbitkan diri melalui Pemilu telah ditantang oleh Mohd Amien Rais melalui gagasannya meniadakan makna nomor urut pencalonan untuk digantikan oleh faktor perolehan suara mayoritas internal partai peserta pemilu.

Dilihat dari semua perubahan-perubahan ketatanegaraan dan politik yang mendasar itu, maka sebetulnya reformasi yang difahamkan telah gagal di Indonesia adalah fakta tak terbantahkan menjadi tanggungjawab semua rezim yang silih berganti setelah amandemen terakhir konstitusi (2002).

Reformasi sebagai era telah berakhir begitu Mohd Amien Rais meninggalkan MPR. Masa-masa setelah itu harus ditelaah kembali secara cermat untuk menamainya sesuai karakter kepemimpinan Presiden yang silih berganti hingga sekarang dan yang bertanggungjawab untuk semua kegagalan itu.

Penutup

Kezaliman versus keadilan. Partai Ummat mengajak berkumpul orang-orang baik dalam satu perjuangan. Mendorong anak muda tidak diam, berteriak ketika melihat kezaliman dan menyalurkan aspirasi pada jalur yang benar. Idealitas demokrasi dan kesehatan bangsa itu harus diderivasi dan Partai Ummat harus berjuang melembagakan perubahan dengan dirijen ruh keadilan.

Partai-partai baru lazim bersuara lantang membeberkan penyimpangan pemerintahan namun lemah solusi. Partai Ummat harus menakar alokasi energi untuk kritik substansial yang tak selalu dapat disambut baik oleh halayak.

Misalnya, sembari menunjukkan data megakorupsi, Partai Ummat dapat bergerak lincah dalam asa pengembalian martabat bangsa dengan seruan kembali ke makroekonomi konstitusi. Sambil memastikan Indonesia diselamatkan dari dikte asing, dalam konsisi kesenjangan parah yang potensil memicu revolusi berdarah ini, Partai Ummat dapat mengajukan program “Indonesia Tanpa Pengangguran.”

“Indonesia Tanpa Pengangguran” adalah penyediaan jenis pekerjaan last resort pada sektor pemerintahan. Jika saat ini jumlah pengangguran 10 juta jiwa, berilah pekerjaan dengan upah (misalnya) Rp3 juta per bulan. APBN dan APBD dipastikan mampu menampung itu.

Sesuai konstitusi, warga adalah determinan utama pendirian negara. Ketiadaan sarana memadai untuk memulihkan martabat menimbulkan perasaan keterampasan (relative deprivation) yang terus memuncak. Itu sangat berbahaya.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

  • Bagikan