Krisis Keuangan Global

  • Bagikan
<strong>Krisis Keuangan Global</strong><strong></strong>

Oleh Normansyah, SE, M.Si

…langkah mengatasi krisis kali ini tidak cukup hanya melalui stabilisasi sistim keuangan, namun perlu juga melakukan upaya mengatasi resesi ekonomi yang terjadi, dan mengembalikan tingkat pertumbuhan global

Krisis keuangaan yang terjadi di Amerika Serikat (AS) ternyata telah mempengaruhi wajah keuangan global. Negara-negara di wilayah Eropa seperti Islandia, Rusia, Belanda, Inggris, Perancis, Jerman, demikian juga dengan di wilayah Asia-Pasifik, seperti China, Taiwan, Singapura, Filipina, Jepang, dan Australia terkena dampak krisis. Dampak krisis yang dihadapi negara-negara tersebut pada umum adalah meningkatnya inflasi, turunnya nilai tukar, turunnya pertumbuhan ekonomi, runtuhnya indeks bursa dan sejumlah bank/institusi keuangan/korporasi mengalami kesulitan keuangan atau bangkrut.

Dampak langsung krisis keuangan ini bagi Indonesia adalah kerugian beberapa perusahaan di Indonesia yang berinvestasi di institusi- institusi keuangan Amerika Serikat. Perusahaan keuangan ataupun non bank yang mengalokasikan dana pada sumber pendapatan alternatif, melalui pembelian saham atau obligasi pada instrumen keuangan asing, seperti Citigroup, UBS, Merril Lynch, Morgan Stanley, Lehman Brothers, Fannie Mae, Freddie Mac, American International Group (AIG) dan lainnya. 

Sedangkan dampak tidak langsung dari krisis adalah turunnya likuiditas, melonjaknya tingkat suku bunga, turunnya harga komoditas, melemahnya nilai tukar rupiah, dan melemahnya pertumbuhan sumber dana. Demikian juga, menurunnya tingkat kepercayaan konsumen, investor,dan pasar terhadap berbagai institusi keuangan yang menyebabkan melemahnya pasar modal.

Krisis keuangan juga mengurangi pasokan likuditas sektor  keuangan karena bangkrutnya beberapa institusi keuangan global khususnya bank-bank investasi yang berpengaruh pada aliran kas perusahaan-perusahaan di Indonesia. Keadaan ini akan menyebabkan naiknya tingkat suku bunga dan turunnya pendanaan ke pasar modal dan perbankan global.

Sesungguhnya turunnya nilai rupiah ini bisa meningkatkan nilai ekspor, namun krisis keuangan menyebabkan turunnya permintaan komoditas dari luar negeri. Turunnya ekspor mengurangi pendapatan negara sehingga jika tidak diimbangi dengan turunnya pengeluaran dollar melalui penurunan tingkat impor akan menyebabkan defisit perdagangan. Defisit perdagangan mempersulit modal masuk seiring dengan keringnya likuiditas pasar keuangan global. Selain itu, kenaikan impor di saat pasar ekspor stagnan akan menekan kenaikan cadangan devisa dan berarti akan memunculkan ekspektasi gejolak depresiasi rupiah. Juga, kemerosotan akan mengacaukan dan menurunkan produksi dalam negeri yang juga berakibat pengurangan pekerja atau peningkatan pengangguran.

Untuk mengatasi dampak krisis ini, BI menempuh beberapa langkah, yaitu memperkuat likuiditas sektor perbankan, menjaga pertumbuhan kredit pada tingkat yang sesuai untuk mendukung target pertumbuhan ekonomi, dan kebijakan terkait neraca pembayaran. Kebijakan yang dijalankan adalah memperkuat sektor perbankan untuk mengantisipasi dampak pengeringan likuiditas global, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi diupayakan pertumbuhan kredit dijaga pada level yang tetap, dan mencari pembiayaan untuk mengurangi defisit anggaran pendapatan dan belanja negara dari sumber non pasar, seperti sumber- sumber bilateral maupun multilateral.

Penyebab Krisis

Terdapat banyak penyebab terjadinya krisis finansial global, namun dalam tulisan ini penulis akan berusaha memfokuskan pada akumulasi kredit sebagai salah satu akibat dari kemunculan hipotek subprima, sekuritisasi, dan akumulasi kredit. Penyebab pertama yaitu hipotek subprima yang dapat dikatakan sebagai pemilik rumah yang tidak seharusnya memiliki rumah. Hipotek subprima dapat didefinisikan sebagai surat hutang kepemilikan rumah atau KPR yang diberikan kepada masyarakat dengan kualitas kredit rendah. 

Meningkatnya hipotek subprima sejatinya didorong oleh adanya kebijakan pemerintah AS yang ingin memudahkan warga negaranya untuk memiliki rumah (Board of Governors of the Federal Reserve System). Melalui kebijakan tersebut, bank terdorong untuk memberikan kredit pada siapapun bahkan pada orang yang kapasitas ekonominya di bawah standar. Sederhananya, kondisi domestik AS mendorong kreditur agar lebih longgar dalam memberikan kredit dan debitur juga tidak ragu- ragu dalam meminta kredit di bank. Meningkatnya hipotek juga didorong oleh suku bunga yang cukup rendah. 

Selain kemunculan hipotek subprima, terdapat sekuritisasi yang dapat didefinisikan sebagai pengonversian sekelompok kredit menjadi surat berharga yang dapat diperdagangkan, meliputi piutang pokok dan bunga. Sekuritisasi merupakan salah satu inovasi dalam bidang finansial karena meningkatkan kemampuan institusi dalam melakukan investasi beresiko tinggi, namun mengurangi ketahanan institusi finansial dalam kasus kerugian sehingga menyulitkan kreditur dan pengatur untuk memantau dan mencoba mengurangi tingkat resiko institusi finansial.

Pada dasarnya, sekuritisasi diawali pada saat bank menjual kredit pada hedgefund yang kemudian mengelompokkannya dengan kredit lainnya yang serupa. Kredit yang telah dijamin dengan aset yang akan dikonversikan atau sekuritas terdukung aset kemudian dijual pada para investor. Investor memandang produk yang telah disekuritisasi relatif aman dan dapat mengembalikan keuntungan yang lebih besar. Asumsi inilah yang membuat beberapa investor seperti Citibank, Bear Stearns, dan Lenham Brothers membeli kredit yang telah disekuritisasi. Sekuritisasi juga mendukung bank untuk menyediakan kredit lebih banyak lagi karena bank mendapat pemasukan dengan menjual kredit sehingga mendukung kemampuan bank dalam memberikan layanan finansial.

Penyebab krisis keuangan global sejatinya bertentangan dengan teori financial development. Sebelum akhirnya terjadi krisis, sistem finansial yang berjalan dan berkembang dianggap dapat mengarah pada pertumbuhan ekonomi. Namun pada krisis AS 2018, perkembangan finansial yang terlalu cepat dengan adanya akumulasi kredit dalam jumlah besar dan dalam waktu singkat telah menimbulkan instabilitas dan berujung pada krisis. Ketidaksesuaian antara asumsi financial development dengan kenyataan yang terjadi membuktikan bahwa financial development gagal dalam menjelaskan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas. Kegagalan tersebut lebih disebabkan oleh keterbatasan indikator serta tidak adanya batasan terkait kecepatan ideal financial development.

Menanggapi kegagalan tersebut, Sahay et al. memperbaiki dan menambahkan pemikiran pada financial development. Pemikiran baru tersebut meliputi indikator yang mencakup institusi finansial dan pasar finansial dan diukur secara dimensi depth, access, dan efficiency. Kemudian dalam hal batas kecepatan financial development, terdapat pandangan bahwa efek pertumbuhan ekonomi dari financial development berbentuk menyerupai lonceng, yang dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi mulai menurun apabila financial development berjalan terlalu cepat. Selain itu, regulasi juga dianggap menjadi hal penting agar financial development dapat berjalan bersamaan dengan financial stability. Adapun tambahan pada teori tersebut tidak mengubah asumsi dasarnya bahwa perkembangan finansial dapat mengarah pada pertumbuhan ekonomi.

Penanganan Krisis

Ketika di tahun 2008 dunia menghadapi krisis global, G20   mengidentifikasinya tidak hanya sebagai krisis sistim keuangan global namun juga krisis ekonomi yang lebih luas dimana terjadi krisis output riil dan lapangan kerja global yang membutuhkan penanganan komprehensif dan lebih luas termasuk pada bidang-bidang yang berada di luar portofolio para menteri keuangan dan gubernur bank sentral. G20 melihat bahwa langkah mengatasi krisis kali ini tidak cukup hanya melalui stabilisasi sistim keuangan, namun perlu juga melakukan upaya untuk mengatasi resesi ekonomi yang terjadi, dan mengembalikan tingkat pertumbuhan global.

Dalam Deklarasi Para Pemimpin G20 tersebutanggota G20 didorong untuk mengambil inisiatif dalam mengatasi krisis keuangan global melalui 6 prinsip utama yaitu, pertama penerapan prinsip-prinsip respon makro terhadap krisis dan koordinasi kebijakan makro G20. Krisis yang berawal di memburuknya balance sheet sektor perbankan Amerika Serikat akibat kejatuhan subprime mortgage menyebabkan masalah likuiditas yang menyebar ke seluruh dunia dalam bentuk global repricing of risk. Hal ini menyebabkan terjadinya situasi credit crunch yang memukul sisi konsumsi dan investasi yang mendorong kontraksi ekonomi di banyak negara.

Kedua, peningkatan standar regulasi sistem keuangan. Krisis 2008 menyadarkan G20 akan kelemahan struktural di sistem keuangan global. Rendahnya tingkat suku bunga global di sepanjang tahun 2000-an mengakibatkan berlimpahnya likuiditas di pasar keuangan yang mendorong situasi over-confidence dan kecenderungan meremehkan risiko di sektor keuangan. Ketersediaan dana murah yang berlimpah mendorong maraknya inovasi produk keuangan. Produk-produk ini umumnya tidak didukung oleh regulatory safeguards yang memadai.

Ketiga, peningkatan transparansi dan akuntabilitas sistem keuangan global. G20 melihat bahwa sistem keuangan yang berlaku masih menyediakan ruang bagi terbentuknya moral hazard di kalangan para pelaku dan manajer keuangan. Secara khusus, G20 menyoroti praktek kompensasi yang berlaku di institusi keuangan yang terkait erat dengan terjadinya kecenderungan melakukan risk taking dan inovasi produk keuangan secara eksesif. Karenanya G20 menargetkan untuk menyusun code of conduct terkait skema insentif di lingkungan industri keuangan yang harus memiliki batasan yang jelas untuk mencegah excessive risk taking.

Keempat, penguatan integritas pasar keuangan global. Perilaku sebagian institusi keuangan mengakibatkan krisis kepercayaan parah terhadap keseluruhan sistem. Dampak langsungnya adalah terganggunya aktivitas intermediari yang dibutuhkan menggerakkan ekonomi riil. G20 mengupayakan peningkatan perlindungan investor dan nasabah, pencegahan conflict of interests di sistem keuanganmanipulasi pasar dan kegiatan ilegal di sistem keuangan, fraudulent dan abuse, serta perlindungan risiko finansial konsumen internasional dari juridiksi yang tidak kooperatif.

Kelima, perkuatan kerjasama internasional dalam keuangan lintas batas. G20 melihat era globalisasi ini, interaksi sistem keuangan internasional sangat intens dan harus diimbangi kerjasama antar regulator nasional dalam perumusan kebijakan secara konsisten dengan prinsip internasional, serta meningkatkan koordinasi di semua segmen pasar keuangan (termasuk cross-border capital flows). Prioritas utama pada peningkatan kerjasama terkait pencegahan, pengelolaan, dan penanggulangan krisis. Mengingat kini terjadi pergeseran konstelasi keuangan internasional khususnya dengan munculnya negara emerging baru, maka negara tersebut (khususnya yang menjadi anggota G20) perlu diikutsertakan dalam governance sistem keuangan global dengan melibatkan mereka pada keanggotaan Financial Stability Forum (saat ini Financial Stability Board), dan standard setting bodies lainnya.

Keenam, reformasi sistem keuangan global (termasuk reformasi IMF dan Multilateral Development Banks/MDBs). G20 melihat bahwa sistem keuangan global yang berlaku saat ini dan institusiutamanya yang dikenal sebagai Bretton Woods Institutions/BWIs (IMF dan Bank Dunia), serta bank pembangunan regional lainnya, ternyata tidak memiliki kapabilitas cukup dalam mencegah dan mengatasi krisis 2008. Beberapa penyebab yang diidentifikasi adalah lemahnya legitimasi institusi tersebut mengingat konstelasi ekonomi global yang sudah jauh berubah sejak saat pembentukannya (dengan munculnya kekuatan ekonomi baru di negara-negara emerging), serta terbatasnya sumber daya dan instrumen yang dimilikinya.

Walaupun isu reformasi BWIs sudah menjadi agenda pembahasan di forum G20 sejak lama, krisis 2008 memberi momentum untuk mendorong percepatan proses reformasi tersebut khususnya peningkatan keterwakilan negara-negara emerging di IMF dan Bank Dunia. Karena itu G20 memutuskan untuk mengkaji kembali mandat, komposisi suara, skema governance, dan kecukupan resources lembaga keuangan internasional dalam rangka meningkatkan efektivitas mereka dalam membantu mengatasi krisis keuangan global.

Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi UNA Kisaran.

  • Bagikan