LIVING LAW “ALA” INDONESIA

  • Bagikan


MENARIK untuk dianalisa lebih jauh tentang keberadaan hukum di Indonesia, sebab, banyaknya aksi demonstrasi dari rakyat dari berbagai elemen dan organisasi yang ada seputar kelayakan, kebijakan dan pemberlakuan hukum di Indonesia.

Tidak jarang aksi demonstrasi itu dipicu oleh kasus-kasus yang berkembang, analisa dan perkembangan di masyarakat, berkaitan dengan musim, dan ketika memperingati hari besar nasional maupun internasional.

Gugatan terhadap hukum secara materil maupun formil terkait dengan penerapannya seolah menjadi “ warna baru” dalam kancah kehidupan politik hukum di Indonesia.

Terkait dengan masalah hukum. Ada baiknya jika sedikit “ mengobrak-abrik “ berbagai literatur yang ada. Sebab, banyak para penganalisa hukum mengatakan bahwa hukum yang ada tidak bersahabat mesra dengan hukum yang hidup di masyarakat (living law not like living action).

Zainuddin Ali seorang guru besar hukum di Makasar menjelaskan dalam buku Filsafat Hukumnya bahwa peran para filosof zaman dahulu dalam melahirkan hukum sudah berbeda dengan zaman sekarang.

Dahulu, hukum yang dilahirkan adalah hukum yang lahir berdasarkan analisa dan pemikiran para filosof (hukum cita-cita), hukum yang juga akan berlaku lama, sebab sifatnya hukum yang hidup untuk masa sekarang hingga akan datang.

Para filisof hukum kontemporer ( sebut saja para ahli hukum) melahirkan hukum dari kondisi dan situasi yang ada. Baik itu berkaitan dengan perkembangan sosial, budaya serta politik. Walaupun pada akhirnya ada yang mendominasi di antara itu semua.

Menurut analisa penulis, para ahli hukum saat ini dalam melahirkan “ wacana “ hukum sudah didominasi oleh perkembangan politik hukum dan politik kemasyarakatan. Yang akhirnya keuntungan “produk hukum“ hanya berlaku bagi yang berkepentingan terhadap perjalanan politik itu sendiri.

Maka yang menjadi titik temu antara hukum, keadilan dan kebutuhan sosial adalah siapa yang “ memesan hukum “ dalam bentuk hukum yang legal secara yuridis.

Hal ini sepertinya sudah hidup di tengah-tengah masyarakat meski kehidupannya tidak disadari oleh masyarakat. Ini bukun analisa subjektif belaka. Melainkan fakta hukum yang harus disadari oleh para ahli hukum dan penegak hukum, bahwa hukum yang efektif adalah hukum yang berlaku bagi semua masyarakat.

Tidak hanya secara materil tapi juga secara formil. Dalam artian bahwa hukum yang berlaku seyogyanya mendukung, menjawab dan menegaskan kebutuhan masyarakat.

Oleh karenanya, menjadi penting untuk menganalisa lebih jauh tentang kelayakan system hukum di Indonesia.

Sebab, ada kesan ke-apatisan masyarakat terhadap pemberlakuan hukum di Indonesia. Istilah “ ada uang anda menang, ada kepentingan anda dilayani, dan ada kekuasaan anda dilindungi” sudah tidak menjadi rahasia umum lagi di tengah-tengah masyarakat kita.

Keberadaan hukum bagi masyarakat bukan lagi sesuatu yang harus dipatuhi, tetapi hukum dan aparatnya adalah Sesuatu yang “ ditakuti”. Seorang pengendara sepeda motor akan merasa lebih baik berputar arah tujuannya, karena ia melihat sekumpulan polisi. Sebab di benaknya, hukum yang akan ditegakkan aparat keamanan itu bukan untuk dipatuhi tapi sudah melahirkan rasa takut.

Melacak Sistem Hukum Indonesia

Indonesia adalah Negara hukum. Negara yang menganut semua kepentingan dan keadilan harus didasari atas hukum yang berlaku.

Dalam bahasa Filsafat hukumnya Indonesia menganut aliran positivisme. Negara yang dijalankan dengan hukum dan berlandaskan hukum. Semua nilai dan aturan akan berkaitan dengan hukum yang formal dan sah secara yuridis. Maka analisa sederhananya, kebijakan apapun yang akan diambil, baik dalam skala nasinal maupun kedaerahan harus berlandaskan hukum yang tertulis.

Sebut saja seperti lahirnya Undang-undang, Peraturan Presiden, peraturan daerah. Sampai pada skala terkecil yaitu lahirnya SK (Surat keterangan) kerja secara tertulis barulah pekerjaan yang dilaksanakan itu dianggap legal.

Jika kembali melihat apa itu hukum menurut para pakar hukum, maka akan banyak analisa tentang defenisi hukum apa yang pantas digunakan untuk Indonesia. Sebab, banyak sudut yang bisa dipandang dalam hukum.

Apakah hukum sebagai kebutuhan masyarakat, apakah hukum sebagai hubungan timbale balik antar masyarakat, apakah hukum adalah sesuatu yang sifatnya memaksa.

Menurut hemat penulis, hukum secara umum bisa dilihat dari apa yang dikatakan Aristoteles particular law is that which each community lays down and applies to its own members. Universal law is the law of nature.

Namun, tetap benar apa yang dikatakan Uthrecht bahwa tidak akan ada kesamaan pendefenisian hukum dari kalangan ahli hukum. Namun, jika harus memunculkan sebuah defenisi hukum yang pantas bagi Negara Indonesia, maka defenisi hukum yang dinyatakan J.C.T Simorangkir dalam bukunya bahwa “hukum ialah peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan tertentu”.

Hukum dalam hal ini adalah sebuah aturan yang sifatnya deduktif yang lahir dari kebijakan pembuat hukum untuk seterusnya dipatuhi oleh segenap rakyat.

Dan ukuran keadilan dalam hukum tersebut adalah hukum itu sendiri. Maka pertanyaannya apakah hukum yang ideal di Indonesia apakah hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat atau menjalankan kehidupan demi hukum yang berlaku. Atau memang perlu analisa lebih jauh tentang pemberlakuan hukum yang seharusnya yang terkait dengan das sein dan das sollen nya hukum.

Apakah tidak ada jalan lain untuk mencari analisa yang sifatnya memberikan solusi terhadap hukum yang harus bisa hidup di tengah-tengah masyarakat.

Hukum idealisme yang dipatuhi masyarkat bukan karena takun akan sanksi-sankinya, bukan karena keterpakasaan, tapi hukum yang berlaku dan dipatuhi karena masyarakat merasa bahwa hukum itu bagian dari kebutuhan dan kepentingan terhadap keberlangsungan hidup masyarakat.

Ini menarik, sebab hukum yang diharapkan harus beralir dari dua arah antara kebutuhan hukum dan cita-cita hukum. Hukum yang lahir secara induktif maupun induktif.

Antara Hukum dan Kebutuhan Masyarakat

Memang tidak mudah untuk menyelesaikan masalah hanya dengan menganalisis pemberlakuan hukum saja. Tapi lebih tidak mudah lagi jika realita hukum memang sudah dianggap dan di “legowo “kan tidak sama dengan hukum cita-cita atau hukum idealisme.

Perbedaan antara realita dan fakta hukum sudah saatnya menajdi titik pembahasan serius demi tercapainya Negara hukum bermartabat yang juga sebagai negara hukum.


Ada beberapa analisa penulis yang perlu dikaji lebih jauh terkait dengan hukum dan aliran hukum yang berlaku di Indonesia.

Yaitu bagaimana caranya agar ada akumulasi dan penggabungan antara dua sistem hukum di Indonesia.

Aliran postivisme hukum yang memang sudah berlaku di Indonesia dan aliran sociological.

Pemberlakuan hukum di Indonesia sudah saatnya dilhat dari sisi hukum sebagai kenyataan sosial, bukan hanya sekedar kaidah atau hukum yang tertulis saja.

Hukum yang lahir dari pengalaman yang lahir di tengah-tengah masyarakat dan diuji melalui akal dalam artian yang luas lalu dilegalkan dengan wibawa oleh lembaga terkait yang tentunya telah diyakini akan kebutuhan dan kepentingannya di tengah-tengah masyarakat.

Dalam artian yang luas, harus ada akumulasi antara postivisme hukum dengan sociological yurisprudence dalam pemberlakuannya di Indonesia.

Ada hukum yang masih tetap konsisten menjaga kewibawaan Negara, seperti asas, dan terkait dengan hal-hal yang prinsipil dalam bernegara. Maka hukum untuk ini layak lahir secara deduktif yang sifatnya harus “memaksa ”?

Siapa yang masih merasa menjadi warga Negara Indonesia, maka harus patuh terhadap hukum ini. Maka logika untuk menganut aliran positivisme hukum akan menjadi penting terkait dengan hal ini.

Namun, hukum yang seharusnya lahir demi dan untuk kebutuhan masyarakat harus melalui kebutuhan hukum yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Terkait dengan pertimbangan perkembangan sosial, ekonomi, pilitik, budaya dan semacamnya. Hal hal yang terkait dengan kebutuhan masyarakat akan lebih terjawab melalui hukum yang lahir secara sociological yurisprudence.

Kasus kebutuhan pokok masyarakat, kasus pendidikan, kasus kesejahteraan masyarakat dan berbagai kasus lainnya akan terasa lebih terjawab, manakala lahirnya secara induktif melalui analisa kasuistik dari perkembangan di masyarakat.

Maka, istilah hukum yang hidup akan terasa manakala tingkat kepatuhan terhadap hukum secara maksimal dilakukan oleh masyarakat. Dan secara sederhana bisa dirasakan bahwa hukum yang dipatuhi masyarakat adalah hukum yang menjawab dan melindungi kebutuhan serta kepentingan masyarakat.

Jangan lagi ada kesan bahwa masyarakat adalah objek yang sifatnya “ penghias saja “bagi kelahiran hukum yang ada”.

Masyarakat harus hidup demi hukum dan masyarakat akan terkungkung karena hukum, bukan terlindungi oleh hukum. Semoga hal ini menjadi perhatian kita bersama. (Kapus Pengabdian Kepada Masyarakat UIN SU, Penulis buku Hukum dalam Pendekatan Filsafat)

  • Bagikan