Masa Depan Islam Di Indonesia (3)

  • Bagikan
<strong>Masa Depan Islam Di Indonesia (3)</strong><strong></strong>

Oleh Shohibul Anshor Siregar

Di Indonesia orang tidak banyak tahu bahwa asumsi evolusioner dan fungsionalis aliran modernisasi  konservatif Esposito sangat bermasalah karena pro proses perubahan searah (linear) yang pasti menganut rasisme tersembunyi dengan permusuhan atas nilai-nilai genuine

Suka atau tidak, Muslim adalah kelompok pemeluk agama dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Berbagai faktor serius wajib diperiksa secara kritis untuk memahami fenomena ini. Misalnya, apakah pertumbuhan (natalitas) jauh lebih tinggi dibanding kematian (mortalitas). Mungkin Muslim memiliki lebih banyak anak daripada anggota kelompok agama lain. Di seluruh dunia, konon, setiap wanita Muslim memiliki rata-rata 2,9 anak, dibandingkan dengan 2,2 untuk semua kelompok lainnya.

Juga terdapat kemungkinan bahwa populasi Muslim sebagai yang termuda (konon usia rata-rata 24 tahun pada 2015) dari semua kelompok agama besar, tujuh tahun lebih muda dari usia rata-rata non-Muslim.

Kemudian apakah di balik pertumbuhan jumlah yang cepat itu seiring kualitas sumberdaya. Fakta mayoritasisme tak selamanya bermakna signifikan kecuali untuk numerical belaka. Numerical mayority yang technical minority adalah sebuah duka “keterjajahan” yang serius dan yang tak selalu dapat disuarakan wajar oleh semua lembaga yang mengklaim diri sebagai pejuang keadilan.

Konsekuensi Di Balik Data

Secara sosiologis dan politis agama juga sekaligus menjadi salah satu bidang kompetisional meski terkadang dinafikan dalam kepurapuraan. Tak ayal data populasi Muslim dunia ini sangat sensitif. Bukankah para penganut menemukan rujukan pada  kandungan dan sifat missionarisme masing-masing yang tak terbantahkan pada agama yang mereka anut?

Karena itulah fenomena akselerasi pertumbuhan populasi muslim dunia itu terus menimbulkan kecemasan. Peradaban Yudeo-Kristen mungkin akan lebih terhubung dalam sumbu ketegangan dengan fakta mayoritas populasi muslim dunia itu.

Mengapa tidak? Hanya dengan menyatukan populasi dua agama yang seharusnya berbeda (Katholik dan Kristen), populasi Muslim dapat diposisikan menjadi terbesar kedua. Lembaga sekuler maupun lembaga keagamaan non-muslim dunia tampaknya sepakat dalam kategorisasi ini.

Namun, jika percaya kedalaman kecemasan dalam analisis Samuel P Huntington (1996), peradaban tua Tiongkok dengan segenap catatan prestasi lama yang ingin direwind, mungkin posisi politik Muslim, khususnya di berbagai negara tertentu seperti Indonesia, justru telah berada dalam jarak konflik yang sama dibanding konflik peradabannya dengan Yudeo-Kristen.

Di beberapa negara tertentu, seperti Indonesia, jarak dan model interaksinya dalam konflik itu malah semakin intensIF setiap hari. Tentu saja ada sejarah panjang untuk semua itu, mungkin bahkan sebelum Perang Salib kurang lebih selama dua abad; apalagi setelah abad 15 yang mencatatkan “mandat keagamaan untuk menguasai dunia” melalui Tratado Tordesillas dan Tratado Zaragoza yang membagi dunia di luar Eropa otomatis menjadi milik Portugis dan Spanyol.

Tesis Samuel P Huntington  yang terlanjur melihat Islam sebagai salah satu determinan kuat dalam perbenturan dahsyat peradaban yang akan merombak dunia secara radikal  ini telah terhubung dengan fenomena lain dalam satu kemasan isu mengglobal.

Menciptakan Peta Dunia Tanpa Islam?

Selain perubahan drastis dalam statistik pemeluk, fenomena migrasi regional umat Islam dan fenomena lain dikombinasikan dengan dampak berkelanjutan dari terror 911 dan apa yang disebut-sebut sebagai Negara Islam (juga dikenal sebagai ISIS atau ISIL) dan kelompok ekstrimis lainnya yang melakukan tindakan kekerasan atas nama Islam, telah membawa umat Islam dan keyakinan Islam ke permukaan, sebagai perdebatan politik yang sengit di banyak negara, terlebih di negara-negara Barat yang menjadi “rumah baru” bagi para imigran muslim dari daerah konflik itu.

Namun di luar yang buruk-buruk itu banyak fakta tentang Muslim yang tidak diketahui. Di beberapa tempat di Amerika dan Eropa, dan kebanyakan orang yang tinggal di negara dengan populasi Muslim yang relatif kecil dapat dengan enteng mengatakan bahwa mereka hanya tahu sedikit atau tidak sama sekali tentang Islam.

Banyak negara di kawasan Timur Tengah-Afrika Utara berpenduduk mayoritas Muslim. Tetapi hanya sekitar 20% dari populasi Muslim dunia. Mayoritas Muslim secara global (62%) tinggal di kawasan Asia-Pasifik, termasuk populasi besar di Indonesia, India, Pakistan, Bangladesh, Iran dan Turki.

Survei Pew Research Center (2017) yang meminta orang Amerika untuk menilai anggota dari sembilan kelompok agama pada “termometer perasaan” dari 0 hingga 100 (0 mencerminkan peringkat terdingin, paling negatif, dan 100 peringkat terhangat dan paling positif) menghasilkan bahwa secara keseluruhan, orang Amerika memberi Muslim peringkat rata-rata 48 derajat, mirip dengan posisi ateis (50).

Pandangan terhadap Muslim lebih hangat dibanding sebelumnya (2014) yang hanya rata-rata 40 derajat. Partai Republik memberi Muslim peringkat rata-rata 39, jauh lebih dingin daripada peringkat yang diberi oleh partai Demokrat terhadap Muslim (56).

Angka hasil survey 49 % orang Amerika berpikir “beberapa” Muslim AS anti-Amerika, lebih besar dari jumlah yang mengatakan “hanya beberapa” atau “tidak ada” yang anti-Amerika (survei Januari 2016), umumnya menjadi contoh bagi alasan pelabelan negatif.

Tahun 2017, 40% mengatakan tidak banyak dukungan untuk ekstrimisme di kalangan Muslim Amerika. Hanya 15% yang dengan yakin mengatakan tidak ada sama sekali. Seperempat mengatakan cukup banyak dukungan (24%) untuk ekstrimisme itu di kalangan Muslim AS; dan 11% mengatakan banyak dukungan.

Di Eropa, menurut survei tahun 2016, persepsi bervariasi. Mayoritas di Hungaria, Italia, Polandia dan Yunani mengatakan bahwa mereka tak dapat tak memandang Muslim itu sebagai orang-orang tidak baik, dan sikap negatif terhadap Muslim jauh lebih jarang terjadi di Prancis, Jerman, Inggris, dan di tempat lain di Eropa Utara dan Barat.

Dukungan atas syariah telah menjadi salah satu isu serius. Survei Pew Research Center terhadap Muslim di 39 negara menghasilkan bahwa hampir semua Muslim di Afghanistan (99%) dan sebagian besar di Irak (91%) dan Pakistan (84%) mendukung hukum syariah sebagai hukum resmi.  Di beberapa negara lain, terutama di Eropa Timur dan Asia Tengah, termasuk Turki (12%), Kazakhstan (10%) dan Azerbaijan (8%), relatif sedikit yang mendukung penerapan hukum syariah.

Di Indonesia masalah tidak jauh berbeda, karena ketundukan sebagai kekuatan demokratisasi. Barat dengan demokrasinya tak mengapresiasi nilai selain milik mereka. Paradoksnya, jika demokrasi itu nilai pengakuan optimum kebebasan berfikir, berkehendak dan berbuat untuk maslahat sendiri tanpa mengganggu orang lain dengan pola-pola keluhuran konsultasi dan persetujuan publik, mengapa harus ketika ada orang yang ingin berbeda karena agamanya ?

The Battle for the Soul of Islam (James M. Dorsey, 2016) memetakan perebutan religious soft power dalam Islam untuk pengaruh dan dominasi geopolitik abad 21. Menurutnya, Turki adalah pusat kekhalifahan terakhir Islam yang tampil dengan signifikansi kewibawaan tersendiri. Saudi sebagai rumah bagi kota suci agama juga tak dapat dipandang sepele.

Uni Emirat Arab diposisikan sebagai penyebar interpretasi statistis Islam. Qatar dilabeli Wahabisme longgar dengan kegemaran pada Islam politik. Indonesia beroleh cap promosi pluralism dengan support samar atau terang-terangan. Maroko dilihat dalam pemosisian diri sebagai wajah Islam moderat di dunia, dan Iran, karena sebagai Syiah dan dengan pengalaman revolusi khas itu, diposisikan pada kubu lain.

Semua pilahan itu adalah ketegangan yang setiap saat mengakumulasi kesulitan di antara sesama untuk duduk  membicarakan nasib sendiri.

Adaptasi Atau Penyerahan Terpaksa?

Keywords John L. Esposito (2010) adalah adaptasi, kalau bukan ketundukan atas peradaban Barat. Apakah Islam kompatibel dengan gagasan modern tentang demokrasi, supremasi hukum, kesetaraan gender, dan hak asasi manusia, adalah pokok pertanyaan yang ia gaungkan.

Rezim yang seenaknya dituduh otoriter dengan derajat ketertutupan untuk peluang perubahan demokratis menjadi agenda yang ditindak lanjuti dengan berbagai variasi soft mau pun hard power.  Makin kencang adaptasi dan atau ketundukan itu, makin jelaslah hasil perubahan menuju kepastian masa depan dunia, menurut Esposito.

Di Indonesia orang tidak banyak tahu bahwa asumsi evolusioner dan fungsionalis aliran modernisasi  konservatif Esposito sangat bermasalah karena pro proses perubahan searah (linear) yang pasti menganut rasisme tersembunyi dengan permusuhan atas nilai-nilai genuine, mengabaikan masalah dominasi asing, mendegradasi derajat kejahatan sejarah penjajahan yang terus ingin diulangi dengan cara baru, hegemoni ideologi dan sudah pasti cacat metodologi.

Hari ini terlihat nyata bahwa seiring bertambahnya jumlah Muslim yang tinggal di Barat, pertanyaan tentang menjadi Muslim Barat semakin penting bagi masa depan Islam dan Barat yang tak berlabuh pada tradisi negara-negara Islam.  

Tentulah ini sebuah kreasi. Namun media terus terfokus pada Islam radikal, padahal sebuah revolusi diam-diam untuk menemukan keselarasan iman dalam konteks Barat sedang berlangsung.

Taufik Ramadan (2014) ingin umat Islam setia pada prinsip-prinsip mereka sambil berpartisipasi penuh dalam kehidupan sipil masyarakat sekuler Barat. Reza Aslan (2015) yakin bahwa meski sebagai agama dengan pertumbuhan tercepat di dunia, Islam tetap diselimuti ketidaktahuan dan ketakutan bagi sebagian besar Barat dan itu harus dikoreksi.

Namun di bawah bayang-bayang kolonialisme Eropa, Muslim terus mengembangkan strategi yang saling bertentangan untuk mendamaikan nilai-nilai Islam tradisional dengan realitas dunia modern dalam gerakan reformasi Islam.

Sayangnya, ketika hanya ada satu predikat buat Islam, yakni agama teror, hanya Noam Chomsky (20013) yang berani marah. Tidak masuk akal seorang yang tinggal di gua, di Afghanistan, Osama bin Ladyn, yang bahkan radio pun dia tak punya, dituduh bertanggungjawab untuk 911. Amerika mencatat sukses memperdaya dunia, tegasnya.

Katanya lagi, terorisme itu memang harus selalu berhasil, dan tidak ada terorisme yang tidak berhasil, karena hal itu memang pekerjaan negara besar. Baginya adalah kesalahan analitik yang serius mengidentifikasi terorisme sebagai sejenis weapon of the weak.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSUKoordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

  • Bagikan