Memaknai Kebebasan Memilih

  • Bagikan
Memaknai Kebebasan Memilih

Oleh Toba Sastrawan Manik

Tidak ada keistimewaan bagi pemilih dengan mengucilkan pilihan lain. Dalam kondisi ini, semua rakyat terlepas awalnya pro atau kontra terhadap pemenang nantinya memiliki peluang yang sama untuk dilupakan, diacuhkan atau diabaikan

Entah kenapa, menjelang Pilpres 2024 saya justru meragukan hadirnya kebebasan politik diantara kita (rakyat). Kebebasan bukan dalam arti formal deretan kata yang terdapat dalam konstitusi. Melainkan kebebasan dari segi materil,esensial, sense atau inti (core) kebebasan itu sendiri. Ada kekhawatiran, sejak 2023-2024 kita tidak sedang merayakan.kebebasan dalam arti sesungguhnya yakni kebebasan yang membebaskan, rileks, dan nyaman. Sebaliknya, saat ini kebebasan kita menegangkan, dipertentangkan satu sama lain.

Kalau kita kemudian mengklaim diri sebagai orang bebas dengan kriteria mampu memilih A atau B, itu terlalu sederhana. Bahkan bisa dikatakan pilihan antara A dan B bisa dikatakan bentuk lain ketidakbebasan. Ketika kita dihadapkan pilihan antara hidup dan mati, sesungguhnya bukan sebuah kebebasan sebab di sana ada keterpaksaan dan sifat arbitrer keadaan yang harus dipilih. Tapi ini bukan anjuran untuk memilih untuk tidak memilih (Golput) sebagai deklarasi kebebasan itu sendiri.

Paling tidak ada alternatif antara A dan B. Misal, Antara surga dan neraka, ada dunia sebagai ruang/kesempatan atau manifestasi kebebasan manusia untuk memilih salah di antaranya. Kebebasan mengandaikan otonomi individu/manusia. Ketika individu mampu berpikir, berefleksi dan beraksi atas sebuah realitas maka disanalah kebebasan berafirmasi. Karena otonomi tersebut, maka kebebasan juga mensyaratkan tidak adanya tekanan, persekusi atas manifestasi kebebasan tersebut dari orang lain.

Zebaliknya yang diharapkan adalah kemandirian, kedewasaan, dan kesadaran atas pilihan termasuk konsekuensinya. Dalam hal ini kebebasan dilihat tidak hanya secara onotologis melainkan juga aksiologi. Afirmasinya, kebebasan seyognya haruslah pula menghasilkan kebebasan lanjutan bagi setiap individu. Dalam hal ini, kebebasan berarti mampu menentukan pilihan resiko atas kebebasan itu sendiri. Tentu kebebasan yang terbaik adalah kebebasan memilih resiko yang “terbaik” pula. Sebab, seyogynya tidak ada pilihan yang sepenuhnya bebas resiko.

Kembali menuju Pemilu 2024. Jika kita nanti hanya memilih apa yang dicalonkan partai politik hanya karena bagi kita figur tersebut terbaik tanpa referensi atau rasionalisasi yang logis dan wajar, maka kita sesungguhnya tidak berada dalam kebebasan. Kita berada dalam keterkungkungan dan ketidakmampuan berpikir yang mendalam sebelum menentukan pilihan. Karena disadari atau tidak, kita hanya melabelinya dengan kebebasan agar nampak elegan.

Lahirnya pemilih yang fanatis terhadap salah satu kubu adalah manifestasi dari ketidakbebasan. Sebab mensubordinasikan diri pada salah satu figur yang belum tentu membawa kebaikan atau bahkan justru keburukan. Di sini aspek pemilihan risiko yang terbaik tidak terpenuhi. Bukankah menyerahkan keputusan pada kalkulus dan rasio yang tidak bisa dipertanggungjawabkan adalah bentuk ketidakbebasan atau ketidakmerdekaan dalam berpikir?

Kemudian pilihan tersebut mengarah pada polarisasi bahkan persekusi. Ini bentuk lanjutan akibat pilihan dari ketidakbebasan. Kalau kebebasan itu memang adalah sebuah kebebasan sejati, ia tidak akan menghantarkan manusia pada keadaan yang ekstrem dan menegangkan. Jika demikian, sudah pasti kebebasan bukan sesuatu yang diperjuangkan manusia sepanjang sejarah peradaban ini.

Pilihan kebebasan harus menghantarkan individu pada kebahagiaan atau perasaan terpuaskan. Jika hasil implementasi kebebasan itu tidak membahagiakan, setidaknya individu tersebut terpuaskan dengan terpenuhinya prakondisi kebebasan atas pengamalan kebebasannya itu.
Polarisasi yang berujung persekusi satu sama lain ini justru telah mengebiri esensi kebebasan. Hal itu tidak lain, Individu dipaksa ikut kiri atau kanan, kita atau kalian. Bagaimanapun, ini bukan rasa dan aroma kebebasan yang diinginkan oleh siapapun di alam demokrasi. Ini tidak lain bentuk despotik sebuah kekuasaan dalam bentuk populisme.

Kebebasan Vs Polarisasi

Sebenarnya praksis kebebasan yang arif dan bijak diteladankan oleh para pendiri bangsa kita. Ketika pilihan hanya ada antara Barat atau Timur, Liberal atau Komunis, Indonesia memilih NonBlok dan mengenalkan Pancasila. Artinya, seperti dikatakan Moh. Hatta mendayung diantara dua karang. Begitulah seyogyanya pilihan kebebasan dihadirkan.

Setiap individu memiliki kebebasan dalam dirinya sendiri. Hal ini menandaskan bahwa setiap manusia itu setara dan sederajat. Sepanjang sejarah perjuangan kebebasan adalah sejarah perjuangan atas pengekangan atau amputasi esensi kebebasan secara vertikal yakni antara penguasa dengan rakyat, kaum aristokrat dan kaum feodal, feodal dan pekerja. Juga kebebasan secara horizontal terhadap kemanusiaan secara umum.

Tidak ada keistimewaan bagi pemilih dengan mengucilkan pilihan lain. Dalam kondisi ini, semua rakyat terlepas awalnya pro atau kontra terhadap pemenang nantinya memiliki peluang yang sama untuk dilupakan, diacuhkan atau diabaikan. Di sinilah daya kontrol dan kritis dibutuhkan untuk memastikan penguasa bekerja sesuai dengan janji kampanyenya.

Tapi sekali lagi rakyat tidak akan memiliki kebebasan yang penuh untuk menjalankan daya kontrol dan kritis ini sepanjang rakyat masih terbelah dalam polarisasi. Daya dan kekuataan kebebasan akan tereduksi dan lemah jika rakyat membangun polarisasi secara horizontal (antara rakyat dan rakyat) bukan secara vertikal (rakyat dan sistem politik). Ini bentuk lain ketidakbebasan itu sendiri.

Solusi sederhana dari manifestasi ketidakbebasan ini adalah mengubah kutub polarisasi dari horizontal ke vertikal. Polarisasi yang harus dibangun seyogyanya adalah antara penguasa (sistem politik) dan rakyat. Dalam arti menjalankan daya kritis untuk mengawasi maupun mengapresiasi kebijakan-kebijakan pemerintah.

Polarisasi vertikal ini selain menyelamatkan kebebasan dari bias, justru akan meneguhkan esensi dan eksistensi kebebasan. Dalam kondisi ini kebebasan mendapat pemenuhan dan memiliki kekuataan yang prima. Dalam polarisasi ini, calon penguasa yang akan dipilih murni berdiri di atas kebebasan. Rasionalisasi dan argumentasi yang dibangun begitu mengalir, tenang dan nyaman diantara para pemilik kebebasan.

Siapa pun penguasa nantinya rakyat memiliki kebebasan penuh untuk mengontrol dan mengkritisi secara konstruktif, sehat, dan sesuai koridor hukum. Sebab, tidak ada keterikatan fanatis dan pilihan yang buta. Lebih dari itu, daya kebebasan akan lebih ampuh karena dimiliki oleh rakyat bersatu dan memiliki pengalaman yang sama terhadap kekuasaan.

Penulis adalah Dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Politeknik Teknologi Kimia Industri Medan, Kementerian Perindustrian RI

  • Bagikan