Menelaah Minyak Goreng Nasional

  • Bagikan

Oleh Nizaruddin, S.ST., M.Si

Menelaah minyak goreng nasional. Pabrik minyak goreng masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, padahal penghasil CPO terbesar berada di luar Jawa. Dari 74 pabrik minyak goreng kelapa sawit, 45 pabrik berlokasi di Jawa. Bahkan Riau sebagai penghasil CPO terbesar tak memiliki pabrik minyak goreng

Bulan suci Ramadhan menyapa lagi. Sebagai negeri dengan penduduk mayoritas Muslim, sudah barang tentu bulan tersebut disambut sukacita di hampir seluruh pelosok negeri. Kebiasaan menjalaninya dengan hidangan khas Ramadhan tak kan terlewatkan, sebut saja rendang, opor, rawon, gulai, dan yang jarang absen adalah gorengan. Tak ayal permintaan pada komoditas tersebut meningkat dan pada gilirannya mengatrol harga di pasaran.

Belum lama ini (16/03/2022) pemerintah secara resmi mencabut peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 06 tahun 2022 tentang penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng. Pasca keputusan ini harga minyak goreng kemasan premium mengikuti harga keenomiannya yang saat ini sekitar 22 ribu hingga 25 ribu rupiah per liter. Harga ini lebih tinggi dari sebelumnya yang hanya 14 ribu rupiah per liter.

Kenaikan ini tentu menambah nilai rupiah yang harus dialokasikan tiap rumah tangga untuk tetap ‘menggoreng’. Minyak goreng sendiri menjadi komoditas penting di Indonesia bahkan sejak lama. Catatan BPS, tingkat partisipasi konsumsi komoditas ini hampir 90 persen setiap tahunnya, pada Maret 2021 berada di posisi 89,21 persen artinya mayoritas rumah tangga tak bisa lepas dari minyak goreng.

Tingginya kebutuhan minyak goreng Indonesia juga tergambar dari nilai konsumsi perkapita yang kian tahun kian meningkat. Maret 2021 tercatat bahwa rata-rata konsumsi minyak goreng perkapita mencapai 1,08 liter per bulan dengan nilai berkisar 9 ribu hingga 22 ribu rupiah.

Angka ini berada di posisi ke empat setelah komoditas beras, daging ayam, dan telur ayam. BPS juga mencatat, bahwa pengeluaran untuk konsumsi minyak goreng (termasuk kelapa) mencapai 2,59 persen dari total pengeluaran untuk komoditas makanan.

Secara nasional konsumsi minyak goreng terus meningkat rata-rata 2,32 persen per tahun periode 2015-2020, yang pada kondisi 2020 telah mencapai 11,58 persen. Meski demikian, produksi dalam negeri masih mampu memenuhi kebutuhan tersebut.

Produksi minyak sawit sebagai bahan baku utama minyak goreng memang cukup berlimpah. Pada tahun 2020 saja produksi CPO nasional mencapai 44,75 juta ton dengan total ekspor mencapai 27,6 juta ton atau sekitar 61 persen, dengan market share global mencapai 55 persen. Bandingkan dengan produksi CPO 10 tahun sebelumnya yang hanya 22,4 juta ton.

Peningkatan produksi CPO berbanding lurus dengan pertambahan luas lahan kebun. Jika pada tahun 2010 masih 8,5 juta ha, maka pada tahun 2020 total luas telah mencapai 14,5 juta ha.

Sejak beberapa tahun silam, Indonesia telah menjadi negara produsen CPO terbesar dunia. Meski demikian, harga CPO dunia masih belum dapat dikendalikan Indonesia. Sebagai produsen terbesar minyak sawit selama bertahun-tahun sebelum 2006, Malaysia hingga saat ini masih menjadi penentu harga. Pengaruh Malaysia dalam pengaturan harga CPO dunia membuat Indonesia terkadang sulit menghadapi perubahan harga minyak goreng bahkan di dalam negeri.

Di dalam negeri, beberapa bulan belakangan ini, minyak goreng telah menjadi isu penting. Sejak kenaikan harga CPO, sebagaimana disampaikan direktur eksekutif gabungan industri minyak nabati Indonesia (22/2), dari ratusan eksportir CPO dan turunannya, hanya 17 perusahaan yang menjalankan kewajiban memasok lokal. Terbatasnya pasokan inilah yang menyebabkan sulitnya produsen minyak goreng mencari minyak sawit.

Berlarutnya kelangkaan tersebut telah mendorong kenaikan minyak goreng di dalam negeri. Mengantisipasi liarnya harga minyak goreng, pemerintah kemudian mengeluarkan permendag No.6 tahun 2022 tentang HET minyak goreng. Sempat turun, justru minyak goreng premium sangat sulit ditemukan, jika pun ada, masyarakat dijatah 2 liter saja perhari per orang. Antrian minyak goreng terjadi di beberapa tempat.

Selanjutnya pemerintah mengeluarkan permendag No. 11 tahun 2022, keluarnya peraturan tersebut meyebabkan tidak ada lagi HET untuk minyak goreng kemasan premium. Harganya diserahkan pada mekanisme pasar. Terbitnya peraturan tersebut akhirnya membuat minyak goreng bermunculan dibanyak tempat, tetapi dengan harga yang baru yang jauh lebih tinggi, bahkan lebih tinggi dari saat sebelum permendag No. 6 tahun 2022 dikeluarkan.

Memang banyak faktor yang mempengaruhi perubahan harga tiap kebutuhan masyarakat, termasuk minyak goreng. Antara lain, besaran pasokan bahan baku, kenaikan harga bahan baku, hingga pola distribusi. Secara nasional, pola utama distribusi perdagangan minyak goreng di Indonesia adalah produsen, distributor, supermarket/swalayan, lalu konsumen akhir.

Sedangkan banyaknya rantai pada pola utama hingga minyak goreng tersebut sampai ke konsumen akhir memiliki 3 rantai dan melibatkan dua pedagang perantara. Semakin banyak rantai yang dilalui, tentu membuat harga juga akan semakin meningkat.

Pada tahun 2020, Margin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) minyak goreng mencapai 17,41 persen. Artinya secara umum itulah persentase kenaikan harga minyak goreng dari produsen hingga konsumen akhir. Semakin besar angkanya, menandakan semakin banyak biaya yang timbul terhadap suatu barang.

Menelaah minyak goreng nasional. Saat ini pabrik minyak goreng masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, padahal kita ketahui penghasil CPO terbesar justru berada di luar Pulau Jawa. Dari 74 pabrik minyak goreng kelapa sawit di Indonesia, 45 pabrik berlokasi di Pulau Jawa. Bahkan Riau sebagai penghasil CPO terbesar tak memiliki pabrik minyak goreng.

Harus disadari tingginya harga minyak goreng kemasan apalagi dalam waktu yang cukup lama tentu berdampak bagi pengeluaran masyarakat. Kenaikan pendapatan yang tidak cukup signifikan, tentu akan menurunkan daya beli. Minyak goreng curah memang masih diikat oleh peraturan pemerintah, tetapi masih banyak daerah yang masih mengalami kelangkaan. Selain itu kualitasnya juga tentu di bawah kemasan premium.

Untuk mengurangi beban pengeluaran masyarakat terutama dalam suasana Ramadhan, menggalakkan operasi pasar bisa menjadi pilihan pemerintah pusat terlebih daerah. Satgas harus bekerja ekstra untuk memastikan pasokan minyak goreng curah tetap terjaga. Sehingga pada gilirannya mampu mempengaruhi harga minyak goreng premium untuk turun.

Mengurangi rantai pasok juga menjadi langkah yang bisa ditempuh. Selanjutnya merealisasikan pendirian pabrik minyak goreng paling tidak pada provinsi dengan potensi kelapa sawit seperti Riau, Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara dengan pengelolaan oleh BUMN. Memang hal ini bukanlah program jangka pendek.

Tak hanya itu pabrik untuk menghasilkan produk turunan lain juga perlu dikembangkan. Hal ini untuk mendukung peningkatan hilirisasi hingga produsen sawit tak lagi berminat mengirim CPO keluar negeri karena telah terserap secara menguntungkan di dalam negeri, sekaligus dapat menampung produksi CPO yang melimpah. Pengurangan ekspor tersebut juga berpotensi meningkatkan daya tawar Indonesia dalam penentuan harga CPO dunia.

Masyarakat berharap pada tersedianya minyak goreng berkualitas dengan harga terjangkau secara berkelanjutan. Predikat produsen CPO terbesar dunia paling tidak menjadi modal besar bagi pemerintah untuk merealisasikan harapan tersebut. Semoga.

Penulis adalah Fungsional Statistisi Statistisi Ahli Madya pada BPS Provinsi Sumatera Utara.

  • Bagikan