Mengambil Pelajaran Dari Bencana Tsunami

  • Bagikan
Mengambil Pelajaran Dari Bencana Tsunami

Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA.

Setiap tanggal 26 Desember tiba, kita  terkenang kembali peristiwa gempa dan Tsunami di Aceh tahun 2004. Gempa berkekuatan 9,3 skala richter dan disusul dengan gelombang Tsunami di Aceh ini merupakan peristiwa paling dahsyat yang terjadi dalam sepanjang abad ini di Indonesia, bahkan di dunia.

Tsunami telah meluluh lantakkan kota Banda Aceh, Calang, Lamno, Meulaboh dan puluhan kampung di kabupaten Aceh Besar. Selain menghancurkan rumah, toko, perkantoran dan lainnya, Tsunami juga telah memakan korban melebihi 200 ribu orang. Peristiwa Tsunami ini telah menyisakan duka yang mendalam bagi masyarakat Aceh.

Kini, sudah 19 tahun Tsunami berlalu . Namun, pelajaran apa yang dapat kita ambil dari bencana Tsunami ini? Adakah kita melakukan muhasabah (introspeksi diri) dan berusaha untuk menghindari maksiat yang merupakan penyebab utama terjadinya Tsumami agar tidak terulang lagi? Adakah kita semakin dekat dengan Allah ta’ala dan semakin baik pdrilaku kita?

Sudah sepatutnya kita tidak boleh melupakan bencana dahsyat ini. Tetlebih lagi bagi masyarakat Aceh yang terkena Tsunami di mana mereka kehilangan saudara-saudara yang dicintai dan harta benda mereka.

Seorang muslim harus melihat suatu bencana dari sudut pandang agama. Dia wajib meyakini bahwa tsunami merupakan teguran, azab dan ujian dari Allah Swt. Dia selalu mengaitkan suatu peristiwa dan bencana alam dengan ketetapan dan kehendak Allah Swt. Bencana disikapi dari aspek keimanan terlebih dahulu. Setelah itu, aspek logika atau ilmu sains.

Hal ini tidak berarti menafikan penyebab bencana menurut logika dan sains berupa peristiwa  alam seperti pergeseran lempeng bumi dan sebagainya sehingga menyebabkan gempa dan Tsunami. Proses alam itu sendiri hanya merupakan proses sebab akibat atau konsekuensi logis dari takdir Allah. Inilah yang membedakan cara berpikir seorang mukmin dengan orang kafir. Orang kafir melihat suatu bencana alam dengan logika dan sains semata, tanpa mengaitkan dengan keyakinan agama. Adapun seorang mukmin selalu mengaitkan dengan keimanan.

Tidaklah Allah Swt menciptakan peristiwa atau bencana alama dengan sia-sia. Allah Swt berfirman: “Maka apakah kamu mengira, bahwa Kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Al-Mukminun: 115).

Manusia diperintahkan oleh Allah Swt untuk merenungi dan mengambil pelajaran dari berbagai  peristiwa yang terjadi. Allah Swt mengajak kita untuk merenungi kisah-kisah umat terdahulu agar tidak mengulangi dosa yang dilakukan sebagai penyebab bencana agar  menjadi pelajaran bagi generasi saat ini dan akan datang.

Allah swt berfirman, “Sesungguhnya Kami akan menurunkan azab dari langit atas penduduk kota ini (kota Sodom) karena mereka berbuat fasik. Dan sungguh telah Kami tinggalkan daripadanya suatu tanda yang nyata bagi orang-orang yang berakal.” (Al-Ankabut: 35).

Allah Swt juga berfirman, “Maka ambillah (kejadian) itu untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (Al-Hasyr: 2).

Oleh karena itu, kita wajib mengambil pelajaran dari setiap musibah atau bencana alam dengan keimanan dan berhusnu zhan kepada Allah Swt. Memang, dibalik suatu musibah atau bencana pasti ada pesan-pesan ilahi yang mesti dijadikan pelajaran, agar kita bermuhasabah dan bertaubat kepada Allah Swt.

Di antara pelajaran penting yang dapat kita ambil dari bencana Tsunami dan lainnya yaitu:

Pertama; Bencana atau musibah merupakan ketentuan (qadha dan qadar) Allah Swt. Seorang muslim wajib meyakini bahwa setiap bencana atau musibah yang terjadi merupakan ketentuan  Allah Swt. Maka, dia harus menerimanya dengan kesabaran dan ridha. 

Allah Swt berfirman, “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan tidak pula pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (lauh Mahfuz) sebelum Kami menciptakannya.” (Al-Hadid: 22).

Allah Swt juga berfirman, “Katakanlah, sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami.” (At-Taubah: 51).

Allah Swt  juga berfirman, “Dan tidak ada suatu negeripun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya sebelum hari kiamat atau Kami siksa (penduduknya) dengan siksa yang sangat keras. Yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfuzh).” (Al-Isra’: 58).

Begitu pula, seorang muslim harus meyakini bahwa setiap bencana alam atau musibah yang terjadi atas kehendak Allah Swt. Tidak ada sesuatu yang terjadi di bumi ini melainkan dengan izin Allah Swt, termasuk bencana Tsunami. Tidak seorangpun yang bisa menolak bencana, kecuali Allah Swt. 

Allah Swt berfirman, “Tiada suatu musibah pun yang menimpa (seseorang) kecuali dengan izin Allah.” (At-Thaghabun: 11). 

Allah Swt juga berfirman: “Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Menguasai atas segala sesuatu.” (Al-An’aam: 17).

Oleh karena itu, kita tidak boleh meyakini bahwa seseorang atau benda-benda yang dianggap keramat atau ritual tertentu yang tidak diajarkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunmah membawa keberkahan dan kemaslahatan dan menolak bencana/bala dan kemudharatan, karena keyakinan ini termasuk syirik yang bertentangan dengan Islam (iman dan tauhid).

Islam mengajarkan bahwa hanya Allah Swt yang mendatangkan keberkahan dan kemaslahatan dan menolak bencana dan kemudharatan sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Inilah iman dan tauhid yang benar yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Allah Swt berfirman: “Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak kuasa mendatangkan manfaat maupun menolak mudarat bagi diriku kecuali apa yang dikehendaki Allah. Sekiranya aku mengetahui yang gaib, niscaya aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan tidak akan ditimpa bahaya. Aku hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (Al-A’raf: 188).

Kedua; Bencana merupakan ujian Allah Swt terhadap hamba-hamba-Nya. Allah Swt menguji keimanan mereka, apakah mereka ridha dengan ketetapan dan kehendak Allah atau tidak, sabar atau tidak, dan istiqamah beriman atau tidak. 

Allah Swt berfirman, “Dan Kami pecahkan mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan, di antaranya ada yang orang-orang yang shalih dan di antaranya ada yang tidak demikian. Dan Kami uji mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk agar mereka kembali (kepada kebenaran).” (Al-‘Araf: 168).

Allah Swt juga berfirman, “Dan kami pasti menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka itulah orang-orang yang mendapat ampunan dan rahmat dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-Baqarah: 155-157).

Maka, kita wajib ridha dan bersabar dalam menghadapi bencana atau musibah agar mendapat ampunan dan rahmat Allah Swt. Kita tidak boleh marah dan memaki Allah Swt, berputus asa, bersu’u zhan kepada-Nya, dan menggadaikan iman kita gara-gara musibah. Bila kita ridha terhadap ketetapan dan ujian Allah Swt, maka Dia akan ridha kepada kita. Bila tidak, maka Dia akan murka kepada kita.

Rasullullah Saw bersabda, “Sesungguhnya besarnya pahala itu tergantung besarnya ujian. Dan sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum, Allah mengujinya. Maka barangsiapa ridha dengan ujian Allah, baginya ridha (dari Allah), sebaliknya siapa yang murka, maka baginya murka (dari Allah).” (HR. At-Tirmizi).

Ketiga; Bencana merupakan peringatan dan azab Allah Swt terhadap maksiat yang terjadi di sekitar kita, agar kita sadar dan bertaubat kepada Allah Swt, mentaati segala perintah dan larangan-Nya, serta meninggalkan maksiat. Penyebab utama bencana adalah kemaksiatan.

Allah Swt berfirman, “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-‘Araf: 96).

Allah Swt juga berfirman, “Dan tidaklah Kami membinasakan suatu negeri kecuali penduduknya melakukan kezaliman.” (Al-Qashash: 59).

Allah Swt berfirman: “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi bila mereka melakukan kedurhakaan dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (hukuman Kami), kemudian Kami binasakan sama sekali negeri itu. Dan berapa banyak kaum setelah Nuh, yang telah Kami binasakan…” (Al-Isra’: 16-17).

Allah Swt juga berfirman: “Dan tidak ada suatu negeripun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya sebelum hari kiamat atau Kami siksa (penduduknya) dengan siksa yang sangat keras…” (Al-Isra: 58).

Di antara bentuk kemaksiatan yaitu meninggalkan kewajiban agama seperti shalat, puasa, membaca al-Qur’an, berdoa/berzikir, membayar zakat, syukur nikmat dan sebagainya. Kemaksiatan juga berupa syirik, khurafat, tahayul dan ajaran sesat bertentangan dengan Islam. Begitu pula perbuatan  bid’ah yang menyelisihi sunnah Nabi saw. Bahkan perbuatan maksiat syirik, bid’ah, khurafat dan tahayul  sudah menjadi tradisi  sehari-hari.

Kemaksiatan lainnya seperti kezhaliman pemimpin, korupsi, pembunuhan, penganiaan, perzinaan, pencurian, minum-minuman keras dan sebagainya. Demikian pula kemaksiatan krisis akhlak seperti  menipu, manipulasi, ghibah, memaki, menghina, menfitnah dan sebagainya.  Inilah penyebab utama yang mengundang berbagai bencana alam di tanah air kita, termasuk tsunami.

Agar tidak ditimpa suatu bencana, maka kita wajib menjalankan syari’at dengan melakukan kewajiban dan meninggalkan maksiat.

Allah Swt berfirman, “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi bila mereka melakukan kedurhakaan di dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlakulah terhadapnya perkataan (hukuman Kami), kemudian kami binasakan sama sekali (negeri itu).” (Al-Isra’: 16).

Allah juga berfirman, “Dan jika Allah menimpakan suatu bencana kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia.” (Yunus: 107).

Keempat; Musibah atau bencana alam yang terjadi mendorong kita untuk memperbanyak amal shalih dan istighfar atas segala kesalahan dan dosa yang selama ini kita lakukan. Istighfar ini sekaligus sebagai tolak bala (menghindari dari musibah berikutnya).

Allah Swt berfirman, “Dan sekali-kali Allah tidak akan mengazab mereka sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka sedang mereka meminta ampun.” (Al-Anfal: 33)

Selain menolak bala, amal shalih dan istighfar yang kita kerjakan akan mendatangkan rahmat dan berkah.

Allah Swt berfirman, “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-‘Araf: 96). 

Allah Swt berfirman, “Maka aku katakan kepada mereka: “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan memperbanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Nuh: 10-12)

Kelima; Musibah mendorong kita untuk menyiapkan bekal berupa amal shalih dan taqwa sebelum ajal menjemput kita dan keluarga kita. Orang yang cerdas adalah orang yang menyiapkan bekal untuk kehidupan setelah kematian  dengan bekal takwa.

Allah Swt berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah Swt dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)..”. (al-Hasyr: 18).

Allah Swt juga berfirman, “Dan berbekallah kamu. Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (Al-Baqarah: 197).

Rasulullah saw bersabda, “Orang yang cerdas adalah orang yang selalu menahan hawa nafsunya dan beramal untuk sesudah mati. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah.” (HR. At-Tirmizi).

Keenam; Musibah atau bencana alam yang terjadi di muka bumi ini karena akibat perbuatan manusia sendiri. Maka jangan menyalahkan Allah Swt dan alam. Alam ini akan bersikap ramah kepada kita, jika kita bersikap ramah kepadanya. Jika kita merusaknya, maka alampun marah dan terjadilah bencana dengan kehendak Allah Swt, agar manusia kembali kepada jalan yang benar (jalan Allah Swt).

Allah Swt berfirman, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (Ar-Rum: 41)

Allah Swt juga berfirman, “Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan kamu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahanmu).” (Asyura: 30).

Selama ini begitu banyak musibah yang terjadi di negara kita ini. Silih berganti bagaikan malam dan siang. Mulai dari bencana banjir, longsor, gunung meletus, gempa bahkan sampai Tsunami. Ini semua karena ulah tangan manusia, terutama maksiat. Allah Swt menimpakan berbagai bencana tersebut agar kita sadar terhadap tujuan hidup kita. Menegur kita agar kita tidak serakah dalam mengambil kekayaan alam. Mengingatkan kita untuk bersyukur atas nikmat yang Allah berikan. Memberi teguran dan peringatan atas maksiat yang kita lakukan.

Sebagai penutup, mari kita mengambil pelajaran dari bencana Tsunami di Aceh dengan selalu bertaubat dan bertakwa kepada Allah Swt. Berbagai bencana yang selama ini menimpa bangsa kita mesti dipahami sebagai peringatan dan azab dari Allah Swt, agar kita kembali kepada jalan yang benar yaitu sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, meninggalkan maksiat dan senantiasa melaksanakan syariat Allah Swt. Kita mesti takut dan waspada terhadap azab Allah Swt yang datang secara tiba-tiba akibat maksiat yang kita lakukan yang bisa menimpa semua orang. Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari bencana Tsunami ini. Amin !

*Penulis* adalah Doktor Fiqh dan Ushul Fiqh di Internatiomal Islamic University Malaysia (IIUM), Dosen Fiqh dan Ushul Fiqh UIN Ar-Raniry, Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Provinsi Aceh, Ketua bidgar Dakwah PW Persis Aceh, Anggota Ikatan Ulama dan Da’i Asia Tenggara.

  • Bagikan