Mengapa Hukum Dipermainkan ?

  • Bagikan
Mengapa Hukum Dipermainkan ?

Oleh Eka Putra Zakran, SH MH

Istilah “zona integritas” yang digaungkan dan terpampang di lembaga-lembaga peradilan dan pemerintahan, bukan lagi sunnah, tapi wajib diejanwantahkan dalam kehidupan sehari-hari, jangan lagi sebatas life servis atau slogan semata

Mengapa Hukum Dipermainkan ? Pertanyaan publik yang menggelitik mengapa hukum dipermainkan? Sebuah pertanyaan yang terkesan amat sangat sederhana, akan tetapi sesungguhnya sarat dengan makna. Secara teori dibangku kuliah barangkali pertanyaan seperti ini akan mudah terpecahkan.

Namun secara praktis pertanyaan ini membutuhkan penjiwaan yang mendalam, penghayatan yang sungguh-sungguh dan totalitas, karena menyangkut etika-moral Aparat Penegak Hukum (APH) sebagai instrumen penegakan hukum di Indonesia.

Dalam konteks pembangunan hukum nasional, setidaknya ada 3 (tiga) istrumen penegakan hukum yang bertalian, satu sama lain saling menopang dan tak boleh dipisahkan. Lawrence M. Friedman seorang sejarawan sejarah hukum Amerika dan anggota fakultas di Standford Law School sejak 1968 mengemukakan tiga instrumen hukum yang merupakan pilar penting, saling ketergantungan dan berfungsi sebagai tiang penyangga dalam rangka tegaknya hukum. Ketiga istrumen hukum tersebut diantaranya: Pertama, Substansi (substance); Kedua, Struktur (structure); dan Ketiga, Budaya/kultur (culture).

Secara ideal, ketiga pilar pembangunan hukum tersebut harus berjalan serasi, selaras, seimbang dan tak boleh berlainan arah karena ketiganya sangat berkaitan erat satu sama lain. Sekiranya satu saja dari isntrumen penegakan hukum ini patah atau bengkok, maka akan babak belur dan nyungseplah upaya penegakan supremasi hukum, sehingga penegakan hukum tak ubahnya seperti ludruk, pepesan kosong, senda gurau atau hanya sebatas permainan belaka. Artinya bila terjadi ketimpangan antara satu dengan yang lain maka dapat dipastikan bahwa tujuan hukum yang dicita-citakan sangat muskil akan tercapai.

Gustav Radbruch menyatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Dalam konteks penegakan hukum, keadilan harus ditempatkan pada posisi yang pertama dan yang paling utama dibanding kepastian dan kemanfaatan hukum. Secara historis, pada awalnya menurut Gustav Radburch tujuan kepastian hukum menempati peringkat atau posisi yang paling atas di antara tujuan yang lain.

Namun, setelah melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut di Jerman di bawah kekuasaan Nazi melegalisasi praktek-praktek yang tidak berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia II dengan jalan membuat hukum yang mensahkan praktek-praktek kekejaman perang pada masa itu. Akhirnya Gustav Radbruch berkesimpulan dan meralat teorinya tersebut dengan menempatkan tujuan keadilan pada posisi yang paling atas barulah kemudian tujuan yang lainnya. 

Sebagaimana diketahui, pada kenyataannya sering kali antara kepastian dengan kemanfaatan hukum ini terjadi suatu benturan atau begitu sebaliknya, antara keadilan dengan kepastian hukum dan keadilan dengan kemanfaatan hukum juga terjadi benturan. Nah, benturan-benturan tersebut dalam praktiknya acap kali menjadi kerikil tajam yang menggangu jalannya proses penegakan hukum yang berkeadilan.

Sebut saja misalnya, kepentingan yang bersifat politis dari DPR karena hukum notabene juga merupakan produk politik di DPR atau adanya kepentingan elit (penguasa) yang kadang tak dapat ditampik campur tangan (intervensi) itu datang dari penguasa, ikut-ikutan mengutak-atik jalannya sebuah proses hukum, walaupun secara kasat mata campur tangan itu tak “pala” kelihatan, tetapi aromanya sangat kental tercium oleh hidung dan terdengar sampai ke telinga.

Dalam proses penangan perkara, baik yang ditempuh melalui jalur hukum perdata ataupun jalur hukum pidana, di sana sini selalu ada benturan atau hambatan yang datang menghampiri para pencari keadilan, sehingga tak jarang masyarakat yang tadinya mau mengambil upaya atau langkah hukum kemudian menjadi urung, “balik kanan” atau “balik gagang” akibat tidak mampu mendapatkan akses di negara yang berdasarkan atas hukum ini.

Sehingga akhirnya muncul apatisme terhadap hukum dan beragam stigma negatif pun muncul, bahkan cenderung tendensius misalnya, muncul persoalan mengnai mahalnya biaya (honorarium) kuasa/penasehat hukum (advokat), termasuk mahalnya biaya berperkara yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum.  

Selain itu, di tengah masyarakat muncul pula stereotip “hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah”, hukum hanya milik penguasa atau keadilan hanya milik mereka yang berduit, bahkan yang lebih parahnya lagi ada ungkapan “kalau tak menyogok, perkara tak akan menang”. Nah, ragam stigma negatif dan stereotip ini sering penulis dengar bersileweran di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Pendeknya, sudah sedemikian rupa buramnya potret atau wajah hukum di mata publik. Padahal, sistem peradilan di Indonesia menganut asas equality before the law, yaitu asas kedudukan setiap orang adalah sama di mata hukum.

Pasal 27 ayat (1) UUD1945 menyatakan bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Kesamaan di hadapan hukum berarti bahwa setiap warga negara harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah, namun dalam praktik menegakkan equalitu before the law bukanlah perkara mudah dan tanpa hambatan. Hambatan tersebut bermacam-macam, bisa bersifat politis, yuridis dan sosiologis.

Disamping itu, dalam penanganan kasus-kasus yang melibatkan empat pilar penegak hukum seperti Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat seperti halnya dalam kasus pidana, acap kali terdengar ingar-bingar istilah “86 (delapan enam)”, sedikit-sedikit “lapan anam”.

Hal ini menunjukkan bahwa kultur/budaya hukum masyarakat Indonesia secara umum masih tertinggal juah (terbelakang) dalam konteks reformasi dan modernisasi penegakan hukum dan kedailan (law inforcement), bahkan dalam praktiknya belakangan ini muncul istilah yang menurut hemat penulis merupakan istilah baru, yaitu obstruction of justice.   

Obstruction of Justice

Istilah obstruction of justice (penghalangan keadilan) maksudnya adalah suatu tindak pidana yang terdiri dari tindakan menghalang-halangi jaksa, penyelidik atau pejabat pemerintah lainnya. Dalam beberapa yurisdiksi, hal ini juga mencakup pelanggaran yang lebih luas dari sekedar memutarbalikkan jalannya sutau proses keadilan.

Contoh kasus yang paling populer dan booming menyebutkan istilah ini yaitu pada kasus pembunuhan yang menerpa Brigadir Yosua Hutabarat alias Brigadir J, dengan tersangka Ferdy Sambo, Putri Chandrawathi, Kuat Ma’aruf, Richard Eliezer dan Ricky Rizal, yang mana dalam kejahatan ini sedikitnya 83 anggota atau personil polri dinyatakan bersalah sebagai pelaku obstruction of justice. Mulai dari yang berpangkat tinggi sampai yang rendah.

Belajar dari kasus pembunuhan Brigadir J ini, tampak jelas bahwa tidak sedikit oknum APH yang terlibat dalam konteks permainan (gym) hukum, artinya hukum dijadikan hanya sebatas gimmick semata. Nah, jika permainan hukum seperti ini tidak dihentikan secara kolektif (bersama), maka negara hukum akan “kacau-balau” dan “carut-marut”, bahkan menjadi preseden buruk dalam konteks penegakan supremasi hukum yang sesungguhnya.

Belum berhenti sampai di situ, fakta lain menunjukkan bahwa dunia peradilan baru-baru ini tergoncang akibat seorang Hakim Agung bernama Sudrajat Dimyati ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka dalam kasus suap untuk memengaruhi putusan kasasi di Mahkamah Agung (MA). Kasus OTT KPK terhadap penyelenggara lembaga yudisial bukan kali ini saja.

Beberapa kasus yang sama banyak menyeret nama-nama hakim di pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri) atau (Pengadilan Tata Usaha Negara), justru sudah pernah terjadi, hanya saja pada lingkup peradilan tertinggi baru kasus Sudrajat Dimyati yang terpantau langsug oleh KPK.

Penulis bukan berasumsi, namun menduga kuat di lembaga-lembaga penyelenggara negara lainnya hal serupa terkait masalah “suap-menyuap” ini masih ada.

Tak jauh-juah, barangkali masih segar dalam ingatan publik sekitar tahun 2020 ada kasus yang menggegerkan menerpa di Kejaksaan Agung (Kejagung) yaitu kasus yang menjerat seorang jaksa perempuan bernama Dr. Pinangki Sirna Malasari yang telah terbukti menerima uang suap dari Jdoko Tjandra dalam perannya sebagai orang yang akan mengurus fatwa MA melaui jalur di Kejagung agar Djoko Tjandra yang merupakan buronan terpidana kasus korupsi cessie Bank Bali itu tidak dieksekusi ke dalam Penjara.

Dalam kasus ini jaksa Pinangki dinyatakan bersalah karena telah melakukan tiga tindak pidana sekaligus, antara lain: Pertama, Pinangki dinyatakan terbukti telah menerima uang suap sejumlah Rp500.000 dollar AS dari Djoko Tjandra; Kedua, Pinangki terebukti melakukan tindak pidana pencucian uang dengan total Rp375.229 dollar AS atau setara dengan Rp5,25 miliar; dan Ketiga, Pinangki dinyatakan terbukti melakukan permufakatan jahat bersama Djoko Tjandra, Andi Irfan Jaya dan mantan kuasa hukum Djoko Tjandra bernama Anita Kolopanking. Selain itu, mereka juga terbukti menjanjikan uang sebanyak 10 juta dollar AS kepada pejabat di kejagung dan MA untuk mendapatkan fatwa MA tersebut di atas.

Penutup

Mencermati sejumlah kasus tersebut di atas, tujuan hukum justru malah bak “buah simalakama” dimakan mati ayah, tak dimakan mati ibu, begitulah beratnya godaan dan/atau tantangan yang datang silih berganti menghampiri para APH di negeri ini. Jika sumpah atau janji serta etika profesi tidak dijunjung tinggi, maka upaya penegakan supremasi hukum akan menjadi bias, hanya sebatas halusinasi dan mimpi belaka karena penegakan hukum belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

Sekali pun substansi hukum bagus, struktur bagus, namun kultur/budaya masyarakat hukum tidak bagus, jangan harap tujuan hukum akan tercapai. Ibarat pepatah mengatakan “masih jauh panggang dari api”. Sebab itu, hemat penulis semua pihak harus melakukan instropeksi diri, termasuk melakukan revolusi mental yang benar agar senatiasa takut kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga profesi mulia yang disandang oleh para APH di negeri ini dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya, amanah dan profesional.

Pendeknya, istilah “zona integritas” yang digaungkan dan terpampang di lembaga-lembaga peradilan dan pemerintahan, bukan lagi sunnah, tapi wajib diejanwantahkan dalam kehidupan sehari-hari, jangan lagi sebatas life servis atau slogan semata, melainkan benar-benar dilaksanakan sebagai landasan untuk boleh melakukan atau tidak boleh melakukan dalam rangka mewujudkan keadilan hukum yang sesungguhnya.

Penulis amat sangat berkeyakinan bahwa para pendahulu dan pendiri bangsa (founthing father) akan menangis bila melihat kondisi hukum yang serba carut-marut ini. Hal ini penting disampaikan agar kedepan hukum tidak lagi diperolok-olok, dipermainkan atau diperjualbelikan oleh siapapun, sehingga Indonesia maju, Indonesia bersih dan Indonesia yang berkeadilan sebagai cita-cita luhur bersama dapat direalisasikan. Semoga!!!.

Penulis adalah Ketua Umum PB PASUKetua PDPM Kota Medan 2014-2018.

  • Bagikan