Merebaknya “Prostitusi” Akademik

  • Bagikan
<strong>Merebaknya “Prostitusi” Akademik</strong><strong></strong>

Oleh Ahmad Muda Harahap

Praktik akademisi karbitan perlu disikapi dengan serius, sebab berkaitan langsung dengan marwah perguruan tinggi. Sebagai tempat di mana ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni diproduksi dan dikembangkan, fenomena tersebut tentu mencoreng muka dunia pendidikan tinggi

Membaca judul tulisan ini, seolah kita merasa ringkih menjadi seorang dosen/peneliti di Indonesia. Kata “prostitusi” yang selama ini kita pahami sebagai kata “hina” dalam seksualitas, justru kata itu merebak pada lembaga pendidikan tinggi sebagai penyangga peradaban-etik bangsa. Namun disisi lain, sangat tidak berlebihan untuk membaca judul di atas. Fenomena transaksional dalam hal publikasi, jabatan, dan lain sebagai yang terjadi di perguruan tinggi kita hari ini semakin meningkat dan massif.

Karena itu, agaknya pemerintah perlu mencermati secara serius persyaratan kenaikan jabatan atau pemberian gelar akademik kepada para akademisi di negeri ini. Bila dicermati, ternyata tuntutan persyaratan tersebut telah menjelma seperti pisau bermata dua. Di satu sisi kuantitas akademisi dengan jabatan akademik tinggi meningkat, namun di sisi lain justru berdampak pada tereduksinya etika-moral para akademisi dan marwah perguruan tinggi.

Prostitusi Akademik

Perguruan tinggi sebagai akar tunjang peradaban bangsa ini memang selalu menyisakan perkerjaan besar. Tidak hanya dalam mencapai tujuannya, bahkan dalam hal menjaga marwah dan integritasnya. Banyaknya kasus yang terjadi menimpa lembaga yang sering disebut sebagai agen of chang itu seakan memberikan lonceng kematian integritasnya. Mulai dari kasus pembelian gelar, korupsi, suap, bahkan hingga pelecehan seksual, sudah sering terjaring oleh para penegak hukum.

Tidak tanggung-tanggung, para petinggi dan elit lembaga itu pun banyak melakukan penyimpangan. Tidak sedikit akademisi hari ini menjelma menjadi “pemburu gelar”. Sementara institusi perguruan tinggi kian tercerabut dari peran sosial-kemasyarakatannya lantaran sibuk mengejar sertifikasi dan perankingan. Agar lekas naik jabatan akademik, para pendidik di perguruan tinggi tak segan menempuh berbagai cara untuk memenuhi persyaratan yang diberikan pemerintah. Salah satu fenomena yang belakangan semakin menjamur adalah “makelarisasi publikasi ilmiah”.

Dalam konteks inilah yang penulis maksud sebagai prostitusi akademik. Publikasi karya ilmiah tidak lagi mempertimbangkan mutu dan kualitas hasil penelitian, namun seberapa besar harus dibayar dalam satu terbitan tulisan itu. Bahkan dalam tarap yang lebih memprihatinkan, tidak sedikit dosen yang tidak pernah melakukan penelitian, namun memiliki banyak publikasi ilmiah yang dibayar dengan jumlah rupiah yang pantastis.

Para dosen rela membayar berapapun supaya segera memiliki artikel yang dipublikasikan di jurnal internasional bereputasi. Muncullah banyak “akademisi karbitan” di negeri ini. Mereka memiliki gelar akademik mentereng, tapi tidak dengan karya ilmiahnya. Dampak lanjutan dari fenomena akademisi karbitan adalah maraknya makelar artikel ilmiah di perguruan tinggi. Parahnya, para aktor di belakangnya juga merupakan pendidik di perguruan tinggi. Asal harga cocok, mereka mau menulis artikel ilmiah untuk jurnal ilmiah bereputasi internasional dan mengawalnya hingga terbit.

Tuntutan besar publikasi internasional sebagai syarat adminstratif dalam sertifikasi menjadi salah satu pendorong munculnya para makelar itu. Ukuran akademisi yang bermutu tentu dengan karya ilmiah yang mumpuni, walaupun dengan cara menyewa jasa para makelar. Di era yang sarat dengan kompetisi ini, brand dan label memang dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing dan memperkuat eksistensi lembaga. Selain itu, sertifikasi dan perankingan internasional juga dapat meningkatkan kebanggaan sivitas akademika perguruan tinggi. Namun sayangnya, pelaksanaan tridharma yang bermutu dan etika-moral tenaga pendidik justru luput dari perhatian dan terpinggirkan.

Minus Karya

Ternyata tingginya gelar dan jabatan akademik dosen di Indonesia tidak selalu berbanding lurus dengan etika-moral dan produktivitas karya ilmiah. Masih banyak lagi akademisi bergelar Doktor bahkan Professor, tapi dari segi karya masih minus. Jikapun punya, karya itu bukanlah hasil dari daya kreativitasnya sendiri, melainkan hasil dari “prostitusi akademik”. Dalam bahasa sederhananya, karya-karya itu adalah hasil “membeli” dari para makelar karya ilmiah.

Tentu saling menguntungkan, karya yang di barter dengan rupiah itu tidak jarang digunakan untuk memenuhi persyaratan naik jabatan akademik. Namun parahnya, kenaikan jabatan akademik itu, tidak lantas ditindak lanjuti dengan peningkatan kompetensi dan produktivitas diri. Justru malah lebih doyan untuk memesan makelar dengan pertimbangan lebih praktis dan siap saji.

Pada akhirnya, mereka yang memiliki gelar Doktor atau bahkan Professor itu tidak dapat mengemban amanah dengan baik. Minimnya kompetensi dan produktivitas secara tidak langsung menggeser marwah mereka menjadi akademisi karbitan. Mereka “mengkarbit” diri supaya siap menjadi guru besar dengan cara menyewa jasa makelar karya ilmiah. Orientasi utama menjadi guru besar hanyalah gengsi dan tunjangannya. Parahnya, perguruan tinggi justru mendukung penuh cara menyedihkan ini dengan program-program akselerasi kenaikan jabatan akademik.

Marwah Di Ujung Tanduk

Praktik akademisi karbitan sebagaimana disinggung di atas perlu disikapi dengan serius, sebab berkaitan langsung dengan marwah perguruan tinggi. Sebagai tempat di mana ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni diproduksi dan dikembangkan, fenomena tersebut tentu mencoreng muka dunia pendidikan tinggi. Selain itu, bila terus dilestarikan, praktik tersebut lambat laun akan menjadi kanker ganas yang mematikan pendidikan di Tanah Air.

Tugas utama perguruan tinggi menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pendidikan Tinggi tercakup dalam bentuk tridharma yang terdiri dari pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Dharma pendidikan mewajibkan perguruan tinggi menyelenggarakan pendidikan yang bermutu supaya mampu menghasilkan lulusan yang yang menguasai cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa.

Dalam rangka mewujudkan pendidikan yang bermutu tentu dibutuhkan tenaga pendidik yang bermutu pula. Mutu pendidik ditentukan oleh penguasaan yang bersangkutan terhadap empat kompetensi inti, yaitu pedagodik, profesional, sosial, dan kepribadian. Pertanyaannya kemudian, apakah akademisi karbitan menguasai empat kompetensi inti ini –mengingat pengabaian etika-moral yang dilakukan?

Dharma selanjutnya adalah penelitian. Dalam dharma ini, perguruan tinggi memiliki kewajiban melaksanakan penelitian dengan tujuan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan daya saing bangsa. Fenomena akademisi karbitan jelas mencederai semangat ini. Karya ilmiah yang dihasilkan bukan lagi ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, karya ilmiah itu hanya untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

Dharma ketiga adalah pengabdian kepada masyarakat (PKM). Ini merupakan upaya perguruan tinggi mengamalkan dan membudayakan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Lagi-lagi, fenomena akademisi karbitan menjadi penghambat perguruan tinggi dalam mengamalkan dharma yang ketiga ini. Bagaimana bisa perguruan tinggi berkontribusi memajukan kesejahteraan masyarakat melalui iptek, jika yang dihasilkan berasal dari prostitusi akademik.

Edukasi Monitoting

Tumbuh suburnya praktik akademisi karbitan dan makelarisasi karya ilmiah menjadi PR serius yang harus dicarikan solusinya oleh perguruan tinggi. Jangan sampai semangat pembangunan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional justru dikhianati oleh para ujung tombaknya sendiri.

Sejatinya, dari aspek kebijakan yang mempersyaratkan dosen memiliki publikasi artikel di jurnal ilmiah internasional bereputasi tidak menjadi soal. Kebijakan ini bisa dikatakan mendukung upaya peningkatan mutu dan kompetensi dosen. Supaya hasil dari penerapan kebijakan ini sesuai dengan harapan, perlu dibarengi dengan edukasi dan monitoring yang ketat.

Edukasi dapat dilakukan melalui program-program stimulasi pengembangan riset dan pendampingan intensif serta menjalin kerja sama bidang penelitian dan PKM dengan mitra yang strategis. Pimpinan perguruan tinggi perlu mengawal pengembangan karier dosen dan memastikan proses yang dilalui “sehat”, tidak mencederai moral-etika.

Selain itu, perlu juga disusun roadmap penelitian dan PKM yang selaras dengan roadmap kementerian. Hal lain yang tak kalah penting adalah quality assurance dalam pelaksanaan semua dharma. Quality assurance yang terinternalisasi dan membudaya dapat mencegah tumbuhnya akademisi karbitan dan makelarisasi karya ilmiah.

Penulis adalah Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAITA) Tapanuli Padangsidimpuan

  • Bagikan