Muslim Prancis Dan Persoalan Identitas

  • Bagikan

Oleh Dr Warjio

Prancis memiliki populasi Islam terbesar di Eropa (5,7 juta) dan salah satu persentase terbesar dari total populasi (8,8 persen), bersama dengan Swedia, Bulgaria, dan Siprus. Sementara Musim semi Arab dan konflik terkait di Timur Tengah terjadi memicu masuknya banyak migran ke negara itu

Mengawali karyanya yang sangat menarik, Deconstructing the nation: Immigration, racism and citizenship in modern France (1992:1), Maxim Silverman dengan sedikit memprovokasi seolah ingin menghadirkan fenomena Islamofobia di Prancis. Dia langsung menghunjamkan persoalan identitas Prancis: sekulareisme dan dibenturkan dengan identitas Islam: hijab untuk perempuan.

Menurut Maxim Silverman untuk memahami tindakan Islamofobia di Prancis seseorang harus tahu budaya dan secularism di Prancis. Seseorang juga harus memahami bagaimana identitas Islam itu ada—terutama dengan melihat atau menghadirkan para imigran yang banyak berasal dari Afrika dalam wacana public yang sering menjadi perhatian dunia tersebut. Benarkah demikian?

Muslim Di Prancis

Bagi siapapun yang pernah mengunjungi Prancis, tentu akan akan merasakan bahwa Prancis memiliki daya tarik yang luar biasa. Bukan saja dari sisi budaya akan tetapi juga keadaan sosial politiknya sebagai negara yang memiliki banyak negara jajahan dan koloni-koloninya kota-kota yang ada di Prancis seperti memberikan kenikmatan sendiri bagi siapapun untuk ditinggali–setidaknya untuk beberapa hari.

Masyarakatnya yang multicultural memberikan warna tersendiri. Seperti yang saya rasakan ketika mengunjungi Prancis pada tahun 2015. Mengunjungi menara Eifel yang romantik—menyaksikan kota Paris dari ketinggian serta mengelilingi sungai Rein yang mengalir tenang ataupun sekedar cuci mata di kawasan Lafayette—pusat belanja fasion yang berharga mahal atau hanya sekedar jalan kaki kelilingkota Paris sambil menyaksikan pemusik jalanan: semua begitu menarik dan memberikan kesan tersendiri.

Tapi bagi saya secara pribadi—lebih penting dari itu semua, saya bisa menyaksikan ramai orang keturunan dari Aljajair atau Maroko yang tinggal di Prancis—terutama Paris. Mereka umumnya bekerja atau berusaha dengan membuka restoran atau cafe makanan halal.

Seperti di suatu sore saya bertemu dengan Hassan—seorang keturunan Maroko. Dia sangat ramah dan mempersilahkan saya untuk ke restorannya. Di sangat senang sekali saat mengetahui saya berasal dari Indonesia. Dia juga tanpa segan dan ragu menceritakan asal usul atau silsilah keluarga yang bermigrasi—sebagai imigran dari Maroko ke Prancis.

Ketika saya tanya bagaimana perasaannya sebagai keturunan Maroko yang kemudian tinggal dalam negara Prancis yang sekuler? Dengan diplomatis ia menjawab bahwa itu (masalah Islam di Prancis) sangat sensistif dan dia tidak mau membicarakannya lebih dalam.

Imigrasi dan identitas nasional telah menjadi isu sentral dalam politik Prancis selama beberapa dekade sekarang. Tetapi pertanyaan ini menjadi semakin kompleks mengingat berbicara tentang Prancis saat ini berarti berbicara tentang Eropa, dan berbicara tentang Eropa juga berbicara tentang pengalaman sejarah yang lebih lama di luar negeri (Dominic Thomas, 2013)

Meskipun sejarah imigrasi Muslim ke Prancis hampir setua Inggris, hal itu ditandai dengan kontinuitas yang jauh lebih besar. Sudah pasti ada mahasiswa dan pengusaha serta orang-orang buangan politik selama abad kesembilan belas – orang buangan yang paling terkenal adalah Muhammad Abduh dan Jamal al-Din al-Afghani.

Namun, bahkan sebelum Perang Dunia Pertama, terdapat elemen migrasi tenaga kerja yang signifikan. Jumlah terbesar berasal dari Aljazair, dan selama beberapa dekade pertama migrasi, Kabyle adalah satu-satunya kelompok yang paling banyak jumlahnya.

Pada tahun 1912, setengah dari 4.000 hingga 5.000 orang Aljazair bekerja di penyulingan minyak zaitun dan industri terkait di sekitar Marseilles. Sisanya tersebar di sekitar pabrik dan tambang di Timur dan Utara negara itu.

Reaksi awal terhadap pecahnya perang pada tahun 1914 ditandai dengan penurunan populasi yang tajam, tetapi dengan cepat kebutuhan akan laki-laki baik dalam pekerjaan sipil maupun militer menggoda puluhan ribu orang Aljazair dan lebih banyak lagi orang Tunisia dan Maroko.

Selain itu, pemerintah mengambil kebijakan merekrut orang. Selama perang, hampir 200.000 orang Aljazair datang ke Prancis, dua pertiga dari mereka meminta bantuan. Pemerintah Prancis, sebagai pengakuan atas keterlibatannya dalam upaya perang ini, mengalokasikan dana untuk pembangunan masjid di Paris. Di bawah arahan kepercayaan yang dijalankan oleh perwakilan Aljazair, Tunisia, Maroko dan Senegal, masjid ini dibuka pada tahun 1926 (Jørgen S. Nielsen dan Jonas Otterbeck, 2016:20)

Persoalan Identitas

Di Prancis, Muslim sebagian besar adalah orang Afrika Utara (dari koloni lama seperti Aljazair, Maroko, Tunisia, Senegal, dan lain sebagainya (Ramon Frosfugel, 2012; Paul A. Silverstein, 2004).

Banyak penelitian tentang kehadiran Islam kontemporer di Prancis, beberapa lebih bersifat historikal atau sosiologis, atau campuran keduanya, serta studi komparatif tentang Islam di Barat dan/atau Eropa.

Dalam wacana umum, Islam “digambarkan sebagai budaya asing, yang pada dasarnya didefinisikan oleh nilai-nilai ‘Arab’ atau ‘Muslim’ sebagaimana yang konon disebarkan oleh para imigran Afrika Utara; atau sebagai sebuah agama, seringkali agama fundamentalis; atau sebagai kekuatan geopolitik, mengacu pada krisis di Timur Tengah, umma, dan terorisme Islam ”(Laurence dan Vaïsse ix).

Tiga gambar telah muncul berturut-turut untuk menandai segmen population ini: pertama “imigran Arab” pada tahun 1970-an, diikuti oleh “warga sipil” pada tahun 1980-an, dan terakhir, “warga Muslim” yang dimulai pada tahun 1989-an (Carine Bourget, 2019).

Benar apa yang dikatakan Hassan. Sebab pemerintah dan beberapa kalangan kelompok atau orang kulit putih Prancis seringkali memandang masyarakat Islam imigran dengan diskriminatif.

Tindakan mereka sering kali digambarkan sebagai sesuatu yang inheren baru di antara populasi etnis minoritas di Prancis, khususnya Maghrebis. Memang, meskipun mobilisasi politik mereka masih dan masih inovatif, itu bukanlah tanda pertama dari aksi sosiopolitik afirmatif yang terstruktur di antara populasi migran Afrika Utara.

Pandangan umum, yang tampaknya bertahan di Prancis, adalah bahwa imigrasi Afrika Utara mulai menjadi ‘terlihat’ dengan datangnya usia ‘generasi kedua’ dari akhir 1970-an /awal 1980-an dan seterusnya.

Yang disebut generasi pertama, terpinggirkan di daerah kumuh (bidonvilles), hostel pekerja dan kemudian perumahan (hunian à loyer modéré, HLM), pada dasarnya dilihat sebagai gabungan pekerja pasif ‘tak terlihat’ yang hidup tenang dan kesepian hidup jauh dari pandangan kebanyakan orang dari populasi Prancis (Rabah Aissaoui, 2009:1; Jørgen S. Nielsen dan Jonas Otterbeck, 2016).

Prancis memiliki populasi Islam terbesar di Eropa (5,7 juta) dan salah satu persentase terbesar dari total populasi (8,8 persen), bersama dengan Swedia, Bulgaria, dan Siprus. Sementara Musim semi Arab dan konflik terkait di Timur Tengah terjadi memicu masuknya banyak migran ke negara itu.

Prancis telah menjadi tujuan imigran dari bekas koloninya seperti Maroko dan Aljazair sejak paruh kedua abad ke-20 sering diperdebatkan bahwa imigrasi pascakolonial di Prancis telah menimbulkan tantangan baru bagi apa yang disebut model integrasi republik Prancis.

Kerusuhan yang berulang di kawasan perumahan dan pinggiran kota di Prancis (banlieues) dan masih adanya xenofobia di Prancis memicu perdebatan publik, politik, dan media tentang integrasi imigran dan anak-anak mereka serta tentang masa depan Prancis sebagai masyarakat multikultural.

Istilah imigran sering dialihkan dari arti aslinya untuk merujuk terutama kepada orang non-Eropa, khususnya orang Afrika Utara, terlepas dari apakah mereka lahir di Prancis dan berkewarganegaraan Prancis atau tidak.

Sebagaimana disampaikan Rabah Aissaoui (2009:1) dalam proses ini, yang menempatkan imigrasi sebagai masalah, Pertanyaan tentang agama sering kali dilontarkan dan terkait erat dengan kepribadian imigran. Gambar fundamentalisme Islam disulap.

Urusan jilbab pada tahun 1989 dan 1994,dan kecurigaan dan pengawasan yang dilakukan oleh otoritas Prancis terhadap Maghrebis, yang mereka khawatirkan mungkin merupakan kolom kelima di Prancis selama dua perang Teluk dan perang saudara Aljazair pada 1990-an menggambarkan bagaimana Utara Orang Afrika telah mewujudkan perbedaan di Prancis.

Dalam menghadapi rasisme dan segregasi sosiopolitik, ekonomi dan budaya yang dialami Maghrebis dan etnis minoritas pascakolonial lainnya di tahun 1980-an, sejumlah organisasi antirasis dibentuk.

Ini adalah asosiasi yang dekat dengan partai sosialis Prancis seperti SOS-Racisme yang ramah media dan Prancis Plus yang asimilasi, atau Jeunes Arabes de Lyon et sa banlieue (JALB) yang lebih berbasis etnis dan regional. Maghrebis mengembangkan aksi politik mereka sendiri.

Seperti pawai melawan rasisme dan kesetaraan pada tahun 1983, dan memainkan peran utama dalam pawai multietnis, dan konvergensi yang agak kurang berhasil pada tahun 1984, serta apa yang disebut ‘pawai ketiga melawan rasisme’ 1985.

Pada 1990-an, munculnya gerakan sosial baru seperti Mouvement de l’immigration et de la banlieue (MIB) mencerminkan keinginan di kalangan migran dan anak-anak mereka agar lebih otonom dan proaktif dalam memerangi diskriminasi dan rasisme.

Terlepas dari keberhasilan mereka sejauh ini terbatas dalam membawa perbaikan pada hak dan kehidupan etnis minoritas di Prancis, politisi dan media telah melihat gerakan-gerakan ini sebagai menandai era baru tindakan afirmatif di antara para imigran dan anak-anak mereka di Prancis dan sebagai tanda yang disebut ‘pemuda generasi kedua’ memasuki ranah pemerintahan Prancis (Rabah Aissaoui, 2009:1).

Penulis adalah Dosen Ilmu Politik, Fisip USU.

  • Bagikan