Palestina & Paradoks Kemanusiaan

  • Bagikan
Palestina & Paradoks Kemanusiaan

Oleh Surya Adi Sahfutra

Argumentasi praktis bahwa nilai kemanusiaan itu universal mungkin dibuktikan dengan banyaknya demonstrasi lintas negara, lintas agama untuk mendesak agar perang segera dihentikan di Palestina karena dunia disuguhkan laporan korban yang mengerikan, ribuan orang meninggal

Benarkah bahwa nilai kemanusiaan itu universal bukan partikular? Pertanyaan ini pantas diajukan kepada mereka, apakah itu negara, Lembaga internasional seperti PBB dan kepada siapa saja yang memegang teguh nilai-nilai kemanusiaan dan meyakininya sebagai nilai universal. Dogma tentang universalisme kemanusiaan sudah seharusnya digugat atas tragedi penderitaan warga Palestina dan warga dari negara-negara berkembang yang tak berkesudahan melalui masa-masa paling menyakitkan yakni tercerabutnya hak-hak dasar kemanusiaan mereka.

Perang dalam bentuk apapun adalah nilai abadi, fondasi paling dasar dan mungkin juga paling purba yang merasuk kedalam DNA manusia, terwariskan dari generasi ke generasi. Dari manusia dan masyarakat paling primitif hingga yang mendaku paling modern sekali pun. Sejatinya inilah nilai yang universal, bukan sebaliknya, kemanusiaan yang selama ini kita dengungkan, suarakan bahkan menjadi agenda penting banyak kalangan.

Bukan kah sejarah manusia itu adalah sejarah perang? Bukan kah apa yang kita kenal dengan perdamaian, kerukunan dan istilah lain yang menggambarkan persaudaraan sejatinya adalah perang yang tertunda? Terlalu banyak omong kosong kita yang berbusa-busa menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan tapi dengan watak partikular. Israel menyerang Palestina atas dasar menjaga kemanusiaan kelompoknya. Logika yang sama juga dipakai oleh Hamas saat menyerang Israel. Begitu pun pemimpin negara-negara maju yang pro sana dan sini. Satu bukti yang tidak terbantahkan untuk menunjukkan bahwa universalisme kemanusiaan itu adalah omong kosong sampai hari ini adalah Palestina belum resmi diakui sebagai negara. Meskipun lebih dari 50% negara di dunia sudah mengakuinya, tapi toh, ketok palu utama di PBB ada pada negara adi kuasa yang hanya mendukung Israel semata sebagai sebuah negara.

Argumentasi apapun yang ada terkait kenapa hanya Israel yang didukung, atau hanya Palestina yang didukung, sekali lagi membuktikan bahwa aspek kemanusiaan itu tidak universal, melainkan partikular. Titik! Padahal di sini salah satu akar persoalan panjang tragedi kemanusiaan di Palestina. Lantas suara yang mendukung gagasan two-state solution sampai hari ini juga diendapkan oleh dewan PBB yang terhormat. Lantas masih kah kita mau teriak bahwa nilai kemanusiaan itu universal?

Wajah Ganda Nilai Kemanusiaan

Satu-satunya argumentasi praktis bahwa nilai kemanusiaan itu universal mungkin dibuktikan dengan banyaknya demonstrasi lintas negara, lintas agama untuk mendesak agar perang segera dihentikan di Palestina karena dunia disuguhkan laporan korban yang mengerikan, ribuan orang meninggal, wajah anak-anak tak berdosa menjadi tumbal perang yang tidak seimbang. Kalau kita sepakat bahwa kemanusiaan itu universal negara seperti Amerika Serikat serta sekutunya sebagai corong demokrasi paling terdepan untuk menyuarakannya. Tapi kenyataannya merekalah penabuh perang sesungguhnya. Argumentasi ini boleh dikatakan terlalu dini dan generalis, tapi buktinya, tanah suci yang diklaim oleh agama Ibrahim itu masih bersimbah darah.

Mari kita lihat, saat terjadi tragedi kemanusiaan di negara maju sebut saja misalnya Amerika Serikat, Prancis, Jerman atau negara maju lainnya seperti kasus bom, penembakan dan aksi-aksi nir kemanusiaan, respon pemimpin dunia serentak mengecam, mengutuk bahkan melakukan aksi embargo, seperti yang terjadi dalam perang Rusia-Ukraina. Tragedi 11 september di Amerika begitu pilu setidaknya bagi Amerika Serikat sendiri, tapi para pemimpin negara ini dan negara maju lainnya tidak sedikit pun merasa pilu Ketika tragedi kemanusiaan di Palestina. Syukurnya, demonstrasi masyarakat global masih menyisakan ruang untuk mengatakan bahwa nilai kemanusiaan itu masih universal, tapi sialnya demonstrasi itu bak angin lalu semata.

Melihat kondisi yang demikian, agaknya saya berani menyebut bahwa nilai kemanusiaan itu partikular, bukan universal. Wajah ganda kemanusiaan kita adalah buktinya. Kita akan gusar kalau yang terusik nilai kemanusiaan itu memiliki korelasi dengan kita, apakah itu karena faktor ras, etnis dan agama. Bagi Israel menghabisi nyawa anak-anak Palestina itu bukan masalah, yang penting anak-anak Israel bisa hidup dengan tenang dan nyaman. Begitu juga sepertinya berlaku bagi negara seperti Amerika Serikat dan sekutunya, tak soal warga Gaza mati menahan sakit akibat serangan rudal-rudal Israel, kelaparan dan bahkan mati secara perlahan secara massal akibat blokade Israel atas akses masuk ke jalur Gaza. Hal ini pun berlaku bagi Hamas yang tak mau kompromi soal tawaran banyak negara dengan solusi dua negara. Hamas justru menjadikan warga Gaza sebagai tameng atas pilihan ideologis mereka. Standar ganda kemanusiaan ada di mana saja, di semua sisi pihak perang tanpa terkecuali.

Perdebatan antara universalisme dan partikularisme dalam filsafat kemanusiaan telah lama menjadi titik fokus dalam dunia filsafat. Universalisme mempromosikan gagasan bahwa ada nilai-nilai dan prinsip-prinsip kemanusiaan yang bersifat universal, yang berlaku untuk semua individu tanpa memandang budaya atau konteks sosial. Di sisi lain, Partikularisme menekankan pentingnya budaya dan konteks lokal dalam pemahaman nilai-nilai kemanusiaan. Pandangan ini menolak pendekatan yang menganggap nilai-nilai universal dapat diterapkan tanpa pertimbangan konteks budaya yang berbeda. Partikularisme memahami bahwa nilai-nilai kemanusiaan berkembang dalam budaya yang beragam, dan penghormatan terhadap perbedaan tersebut harus dijunjung tinggi.

Namun, upaya untuk mencapai jalan tengah dalam perdebatan ini telah memunculkan konsep Kosmopolitanisme Kontekstual. Kosmopolitanisme Kontekstual mengakui nilai-nilai universal, seperti hak asasi manusia, namun juga menghormati keberagaman budaya dan konteks sosial. Pendekatan ini mendorong dialog antarbudaya, menciptakan pemahaman yang lebih dalam tentang perbedaan budaya, dan menekankan pentingnya mencapai keadilan sosial dalam tingkat global. Dengan demikian, Kosmopolitanisme Kontekstual mencoba menciptakan landasan yang lebih seimbang dan inklusif dalam memahami dan menerapkan nilai-nilai kemanusiaan di dunia yang semakin terhubung dan multikultural.

Dalam konteks Palestina, wajah paradoks kemanusiaan itu secara kasat mata, secara vulgar dan secara nyata dengan sangat mudah untuk disaksikan, bagaimana Amerika menggunakan logika non kemanusiaan untuk membela secara mambabi-buta kebijakan Israel. Sebenarnya, standar ganda semacam ini dari dulu selalu dipraktekkan oleh Amerika dan sekutunya dalam banyak kebijakan luar negerinya, apalagi yang menyangkut kemanusiaan bagi negara ketiga.

Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Dosen Filsafat Universitas Pembangunan Panca Budi Medan.

  • Bagikan