Pelajaran Dari Perang Korea

  • Bagikan
<strong>Pelajaran Dari Perang Korea</strong>

Oleh Budi Agustono

Keinginan berdamai di wilayah perbatasan Korea Selatan terasa berbuncah tatkala terlihat ratusan malah ribuan pita warna warni menjuntai panjang mensimbolkan keinginan damai dari warga Korea Selatan. Pita warna warni panjang yang bergelantungan di pagar kawat berduri…

Pelajaran dari perang Korea. Sewaktu berkendaraan darat dari Seoul Korea Selatan menuju perbatasan Korea Selatan – Korea Utara yang memakan waktu kurang lebih sembilan puluh menit melewati jalan tol berkualitas tanpa bergelombang.

Kendaraan roda empat melaju kencang menuju Imtingak, kota kecil di ujung perbatasan Korea Selatan – Korea Utara. Meski melaju kencang kendaraan tidak bergetar dan stabil. Tidak ada bekas tambalan aspal di ruas jalan tol berkualitas itu. Ini membuat kendaraaan meluncur aman tanpa ada rasa cemas dalam kecepatan tinggi.

Mendekati Imtingak di kiri kanan jalan terpancang panjang kawat berduri dan deretan pos militer mengawasi wilayah perbatasan antara kedua negara.

Imtingak wilayah yang masuk dalam zona demiliterisasi, demiliterized zone (DMZ). DMZ adalah wilayah yang terlindungi dari sistem peretas yang ingin memasuki suatu wilayah tanpa memiliki izin akses.

Pengelolaan keamanan di Imtingak sangat ketat. Meski diawasi ketat kota kecil di perbatasan mempunyai infrastruktur dan fasilitas modern. Gedung pertokoan bergaya barat. Parkir bus terkelola rapi, gerai makanan dan minum tertata apik dan pemandanganya indah.

Ditambah lagi udara sejuk membuat nyaman pengunjung atau pelancong. Pengunjung atau pelancong yang datang ke Imtingak tidak lain hanya untuk melihat perbatasan Korea Selatan – Korea Utara. 

Terpisahnya Korea Selatan – Korea Utara akibat kecamuk Perang Korea 1950 -1953. Tahun 1950an adalah masa perang dingin antara blok kapitalis (Amerika) dengan blok komunis – sosialis (Uni Sovyet). Perang dingin memproduksi pembilahan ideologi di negara dunia pertama dan dunia ketiga.

Dunia ketiga adalah negara-negara baru merdeka yang kemudian menjadi pengikut dan pendukung blok Barat (kapitalisme) dan Timur (Uni Sovyet).

Sebelumnya Korea Selatan – Korea Utara menyatu dalam wilayah Semenanjung Korea. Dalam tarikan pertarungan ideologi Kim Il Sung menjadi pengikut setia blok Timur (komunis – sosialis), sedangkan Korea Selatan menyatu ke blok Barat (kapitalisme) yang pemain utamanya Amerika Serikat.

Perebutan pengaruh idelogi semakin menguatkan Kim Il Sung menyokong komunisme sosialis. Hal ini diperlihatkannya atas bantuan Uni Sovyet dan Tiongkok menginvasi militer untuk menundukkan Korea Selatan.

Menyaksikan negara sekutunya diinvasi militer negara tetangganya yang ingin menancapkan komunisme lewat kekuatan militer, Amerika Serikat dan negara pendukungnya membantu persenjataan pasukan Korea Selatan bertempur melawan Korea Utara. Inilah awal perang Korea tahun 1950.

Pertarungan ideologi kapitalisme dan sosialisme antar negeri dua saudara di masa perang dingin pernah dicoba menempuh jalan damai. Namun tak berhasil lantaran Korea Utara bersikeras menolak perdamaian menyatukan dua negeri ini. Ambisi ideologi menutup peluang jalan damai. Ujungnya Korea Selatan – Korea Utara berpisah.

Perang Korea yang saling baku tembak lewat tank, panser, granat, pistol dan alat perang lainnya yang didatangkan dari kedua negara adi daya waktu itu menewaskan dua juta orang. Orang Korea terpecah dua di Selatan dan Utara.

Perang Korea selama tiga tahun sisa-sisanya tidak dikenang lisan masyarakat Korea Selatan. Sisa kenangan itu dipatrikan dan dirawat dengan memelihara rel dan gerbong kereta api yang dulunya menjadi moda transportasi di ujung perbatasan Imtingak Korea Selatan menuju ke wilayah Korea Utara.

Juga di wilayah perbatasan ini tersimpan senjata, peluru dan alat perang lainnya di bekas gerbong kereta api yang membawa penduduk dari perbatasan Korea Selatan terus menembus daerah lainnya ke Korea Utara sebelum perang. 

Di sekitar gerbong kereta api itu yang dijadikan lokasi peninggalan sejarah direnovasi yang di dalamnya dipenuhi peluru dan banyak koper yang tersisa dalam pertikaian ideologi masa perang dingin.

Tidak jauh dari gerbong kereta api terdapat bungker panjang yang menjadi tempat berlindung atau keperluan perang lainnya masih terpelihara baik. Bungker yang mempunyai penerangan listrik menyimpan senjata, mesin tik, dan peluru yang dipakai memerangi pasukan Korea Utara.

Di atas bungker bawah tanah ada penatapan sepanjang seratus lima puluh meter ke arah batas wilayah Korea Utara. Dari sini terlihat perkampungan rumah penduduk Korea Utara yang jalannya masih pasir berbatu di pinggiran sungai besar yang memisahkan dua negara ini.

Di perkampungan dan perkotaan Korea Selatan tidak ada lagi dijumpai jalan pasir berbatu. Jalan pasir berbatu menandakan keterbelakangan dan ketertinggalan sebuah negara.

Di atas penatapan batas wilayah warga bukan Korea Selatan dapat mengodak dan berfoto ke depan mata, tetapi dilarang mengodak atau mengambil gambar di sebelah kiri dan kanan lokasi penatapan. Jika dari penapatan batas ada yang mengodak arah kiri dan kanan akan mendatangkan bencana politik lantaran terekam oleh aparat militer Korea Utara.

Mencintai

Sebelum memasuki bungker terdapat dua patung perempuan duduk dengan wajah sendu dan sedih yang di masing-masing sisi ada kursi batu kosong. Kursi batu kosong memantik banyak tafsir salah satunya menantikan entah kapan perempuan dan laki-laki dari Korea Utara duduk di atas kursi bersebelahan dengan dua perempuan Korea Selatan itu.

Jika perempuan atau laki-laki dari Korea Utara duduk bersebelahan dengan saudaranya dari Korea Selatan ditafsir permusuhan politik – ideologi antara dua negara telah berakhir. Dengan demikian harapan damai terwujud. Namun permusuhan ideologi antara kedua negara tak pernah kunjung selesai. Justru sebagian besar kalau bukan semua perempuan atau laki yang duduk di kursi batu sebelah perempuan Korea Selatan sebagian besar orang asing bukan berasal dari Korea Selatan yang berkunjung ke destinasi wisata ini.

Keinginan berdamai di wilayah perbatasan Korea Selatan terasa berbuncah tatkala terlihat ratusan malah ribuan pita warna warni menjuntai panjang mensimbolkan keinginan damai dari warga Korea Selatan. Pita warna warni panjang yang bergelantungan di pagar kawat berduri berisi pesan kemanusiaan hanya bergerak tanpa suara tertiup desiran angin. Tentu pesan damai kemanusiaan tak sampai dan terdengar oleh warga Korea Utara.

Masyarakat Korea Utara tidak pernah diberi insentif kebebasan. Alih-alih kebebasan warga Korea Utara malah dilarang mendekati perbatasan Korea Selatan. Jika ada warganya tertangkap melarikan diri keluar dari negeri komunis itu ditembak mati aparat militer dan keluarganya dihabisi. Tersebab itu nyaris tidak ada warganya lari ke luar lewat perbatasan karena kecil peluangnya bisa bertahan dan selamat. Biasanya bila ingin lari keluar dari negerinya lewat perbatasan dengan China. Kalau selamat sementara dapat menetap di wilayah Tiongkok lalu ke Korea Selatan jika tujuan akhirnya ke negeri ginseng ini. 

Orang ingin melarikan diri dari Korea Utara karena tersiksa dan menderita hidup. Kehidupan masyarakat sangat dibatasi. Radio dan televisi tersedia tetapi setiap waktu diisi program propaganda negara. Tidak ada produk-produk modern dinikmati masyarakat karena tidak ada hubungan ekonomi dengan negara Barat.

Telepon dan jaringan internet disediakan tetapi tidak dapat diakses bebas. Segalanya dikendalikan negara. Sementara warga Korea Selatan di benaknya tidak terlintas secuilpun mengunjungi Korea Utara. Tidak ada warga Korea Selatan berminat berkunjung dan mencari apapun ke Utara apalagi warga Selatan kehidupan ekonominya jauh lebih makmur dan menjadi salah satu negara kaya di Asia yang sampai sekarang masih menjadi pengekspor mobil Hyundai, KIA, telepon pintar, pendingin udara, dan kulkas bermerk Samsung ke seluruh dunia.

Ditambah lagi ingatan invasi mesin perang Korea Utara ke Korea Selatan masih hidup dan terus dihidupkan melalui peninggalan perang menjadi testimoni kekejaman dan kekerasan Korea Utara semakin menjauhkan warga Korea Selatan berhubungan dengan Korea Utara.

Perang Korea memproduksi kepedihan dan melumatkan persaudaraan. Perang hanya mengkreasi kebencian dan meluluhlantakkan relasi kemanusiaan. Relasi kemanusiaan yang luhur dan fitri terkoyak dan tercerai berai hanya untuk meraih ambisi ideologi dan ekspansi kuasa pribadi yang dikejar melalui perang.

Dalam narasi sejarah Korea Selatan Perang Korea yang berlangsung enam puluh sembilan tahun lalu tidak dibiarkan pupus dalam ingatan warganya. Korban jiwa penderitaan, saling bantai dan saling baku tembak sesama saudara dalam deru peperangan terus diingat dan ditransmisikan melalui agensi pendidikan.

Lokasi terjadinya peperangan di perbatasan dijadikan situs sejarah dan destinasi wisata. Para siswa sekolah dasar sebelum memasuki pendidikan lanjutan oleh gurunya dibawa bersama mendatangi dan menyaksikan koleksi peninggalan Perang Korea di wilayah perbatasan Imtingak untuk menghidupkan ingatan masa lalu guna menumbuhkan spirit nasionalistik, mencintai bangsa dan memertahankan negara.

Dari produksi ingatan masa lalu inilah pemuda Korea Selatan tidak pernah menolak memasuki wajib militer di negaranya. Inilah pelajaran yang tak ternilai harganya dari Perang Korea untuk menumbuhkan mencintai bangsanya.

Penulis adalah Guru Besar Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

  • Bagikan