Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan

  • Bagikan

Pemutakhiran data pemilih berkelanjutan. Nyaris tidak ada perubahan regulasi atau peraturan agar bagaimana pemutakhiran data pemilih itu bisa benar-benar mengikat ke semua pihak (pemangku kepentingan)

Kerja-kerja Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB) hakikatnya merupakan tugas mulia yang diemban oleh KPU. Disebut tugas mulia karena 2 faktor yakni terkait tujuan dan fungsi tunggal KPU itu sendiri.

Tugas mulia pertama bahwa PDPB ini adalah kegiatan untuk memperbaharui data pemilih berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) dari Pemilu atau Pemilihan terakhir. Dimana data tersebut sudah disinkronisasikan dengan data kependudukan secara nasional.

Lalu, tugas mulia kedua, PDPB ini hanya bisa dikerjakan oleh KPU (pusat sampai daerah) sesuai UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 6 Tahun 2021 tentang Pemutakhiran Data Berkelanjutan.

Karena sifatnya tugas mulia, maka ada atau tidak adanya tahapan Pemilu, KPU pasti bertugas untuk memutakhirkan data pemilih. Untuk itu jugalah, KPU wajib memegang teguh 9 prinsip dalam penyelenggaraan PDPB sesuai yang diamanatkan di pasal 2 PKPU No. 6/2021.

Prinsip ini harus dijalankan secara tegak lurus mulai dari jajaran di KPU RI sampai tingkat KPU Kabupaten/Kota. Artinya, kesembilan prinsip tersebut juga harus dipahami bersama oleh para pemangku kepentingan yang ada. Apalagi bila prinsip itu menyangkut aspek inklusif, mutakhir, responsif, atau partisipatif.

Oleh karenanya, aspek itu jugalah yang menjadikan alasan bagi KPU untuk selalu melibatkan para pemangku kepentingan ketika diadakannya Pleno PDPB di setiap jenjang. Dimana keterlibatan para pemangku kepentingan itu bisa menjadi satu bukti bahwa proses PDPB itu benar-benar berjalan sesuai aturan normatif dan legal.

Tapi yang namanya sebuah proses, KPU secara kelembagaan juga tidak bisa bekerja sendirian untuk merampungkan PDPB yang diamanatkan oleh UU. KPU juga harus mendapat dukungan yang total dan riel dari para pemangku kepentingan di Indonesia. Tidak terkecuali oleh Parpol yang nantinya juga akan menjadi peserta Pemilu dan berkepentingan terhadap data pemilih.

Dukungan yang riel dan total inilah selalu menjadi polemik yang berkepanjangan bagi KPU selama ini dalam melakukan pelaksanaan PDPB. Alih-alih harus memegang teguh kesembilan prinsip tersebut, KPU masih selalu saja menjadi sasaran tembak terkait carut marutnya DPT.

Baik itu sasaran tembak dari para Parpol dan caleg peserta Pemilu maupun para calon kepala daerah. Hal inilah yang terus terjadi dalam setiap momen Pemilu dan Pemilihan yang membuat trust warga ke KPU mengalami pasang surut.

Pemutakhiran data pemilih berkelanjutan. Nyaris tidak ada perubahan regulasi atau peraturan agar bagaimana pemutakhiran data pemilih itu bisa benar-benar mengikat ke semua pihak (pemangku kepentingan).

Kelemahan Sistim
Apa yang sering dialami oleh KPU terkait PDPB ini tidak bisa terlepas dari yang namanya regulasi yang dibuat oleh pemerintah. Untuk masalah ini, penulis ingin mencoba menggugah rasionalitas para pengurus Parpol dan pemerintah sendiri. Bahwa PDPB ini hakikatnya harus bisa mengikat ke semua pemangku kepentingan di Indonesia.

Dimana proses PDPB yang selama ini dijalankan oleh KPU tidak bersifat tunggal. Melainkan juga harus melibatkan secara langsung Parpol dan badan pemerintah lainnya yang memiliki locus terkait data administrasi kependudukan.

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) bersama Parpol setidaknya juga harus memiliki data sekunder terkait DPT yang dimiliki. Dari data itulah nantinya, kedua pemangku kepentingan bisa bersinergi membantu kerja-kerja KPU di dalam pelaksanaan PDPB.

Bagi Disdukcapil pastinya dituntut untuk memiliki sistim dan pola administrasi kependudukan yang terintegrasi mulai dari tingkat desa/kelurahan hingga ke Provinsi. Sedangkan bagi Parpol, bentuk dan polanya juga relatif sama karena Parpol juga memiliki kepengurusan di tingkat desa/kelurahan.

Dimana data sekunder ini bisa ditarik dari para konstituen (pemilih) yang berada di Daerah Pemilihan (Dapil) para anggota legislatifnya masing-masing.

Data sekunder yang dimiliki oleh Parpol bisa ditarik dari para pengurus yang terdaftar mulai dari level desa/kelurahan sampai tingkat Provinsi. Dengan adanya data sekunder ini, secara tidak langsung Parpol juga sudah ikut membantu kerja-kerja KPU.

Selanjutnya, tinggal bagaimana ikhtiar ini bisa ditunjukkan oleh para pimpinan Parpol di tingkat pusat hingga desa/kelurahan. Tentunya, sistim digitalisasi yang terintegrasi ini tidaklah terlalu sulit untuk dibangun dan dikembangkan oleh Disdukcapil dan Parpol.

Toh juga kepentingan yang ingin dicapai adalah bagaimana DPT yang nantinya ditetapkan dalam Pemilu dan Pemilihan memang benar-benar akurat dan akuntabel.

Mewujudkan Ikhtiar
Dengan memulai membangun ikhtiar, niscaya PDPB yang dikerjakan oleh KPU hasilnya relatif bisa memuaskan para pihak pemangku kepentingan. Baik itu bagi para Parpol, caleg peserta Pemilu dan para calon kepala daerah.

Karena itu, untuk mewujudkan ikhtiar tersebut perlu kiranya dibangun sebuah regulasi yang mengikat antara KPU dengan para pemangku kepentingan. Artinya, pelaksanaan PDPB yang dilakukan oleh KPU sejatinya juga harus bisa bersinergi dengan sistim yang dimiliki oleh pemerintah dan Parpol.

Untuk itu, pemerintah dan Parpol juga harus bisa mewujudkan sistim digitalisasi yang terintegrasi terkait data sekunder para calon pemilih yang akan dimutakhirkan oleh KPU.

Bila KPU sendiri telah memiliki aplikasi Sistim Informasi Data Pemilih (Sidalih), maka pemerintah dan Parpol sudah selayaknya juga memiliki sistim penunjang yang sifatnya sama.

Untuk membangun sistim yang sama ini, pastinya tidaklah terlalu sulit pendanaannya bagi pemerintah dan Parpol. Lagi-lagi yang dituntut adalah apakah ikhtiar terkait perbaikan mutu dan kualitas pemutakhiran data pemilih ini merupakan kepentingan bersama atau tidak.

Bila perbaikan ini tidak terwujud, tentu saja carut marut data pemilih akan terus berlangsung dalam setiap Pemilu dan pemilihan di Indonesia. Apalagi, bangsa ini akan segera menghadapi Pemilu Serentak 2024 yang notabene keserentakan ini akan berkelanjutan pada periode berikutnya.

Katakanlah untuk Pemilu 2024 nanti ikhtiar ini belum terwujud, tapi setidaknya pemerintah dan Parpol memiliki waktu yang relatif panjang untuk memperbaikinya. Sangat ironi memang, bila sampai sekarang pemerintah dan Parpol tidak/belum memiliki sistim digitalisasi terkait data pemilih yang akan dimutakhirkan oleh KPU.

Di saat era sekarang ini teknologi digitalisasi sudah menjadi kebutuhan yang utama di dalam upaya menunjang aspek efisiensi dan efektivitas. Karena itu, demi menunjang sinergisitas perbaikan tersebut, maka diperlukan sebuah regulasi yang mengikat.

Apakah itu dengan merevisi UU atau dengan membangun kerjasama yang strategis antar lembaga/instansi terkait PDPB.

Sudah saatnya PDPB ini didukung secara riil dan total oleh para pemangku kepentingan di Indonesia. Dengan dukungan yang riel tersebut, maka kerja-kerja KPU menjadi relatif lebih mudah dan ringan.

Dimana tujuannya hanya satu yakni bagaimana menghasilkan data pemilih yang sahih dan akuntabel untuk digunakan dalam setiap pelaksanaan Pemilu dan Pemilihan. Memang benar, KPU diamanatkan oleh UU untuk melakukan pemutakhiran data pemilih.

Tapi tidak salah juga bila proses PDPB tersebut didukung secara riel dan terintegrasi oleh Kemendagri dan Parpol yang lolos memenuhi ambang batas perolehan suara di parlemen.

Jangan pula sehabis pemerintah bersama Parpol berpesta (Pemilu dan Pemilihan), selalu saja KPU yang dapat bagian mencuci piring kotornya. Padahal sejatinya, Pemilu dan Pemilihan itu adalah pesta demokrasi semua pihak, termasuk juga bagi KPU sendiri.

Penulis adalah Alumnus Fakultas Ilmu Budaya USU dan Peminat Kepemiluan.

  • Bagikan