Pendekatan Komunikasi Dalam Kelangkaan Migor

  • Bagikan

Oleh Suwardi Lubis

Melihat persoalan kelangkaan Migor dari pendekatan komunikasi. Dengan kata lain bagaimana pesan yang “ditembakkan” dalam wacana ini dan bagaimana pula penerimaan khayalak terhadap pesan-pesan tersebut

Berkembangnya wacana kelangkaan minyak goreng (Migor) di tengah masyarakat telah menjadi isu hangat hampir di semua kalangan. Dari mulai kaum terpelajar, kaum elit sampai masyarakat kelas bawah menjadikan wacana ini sebagai buah bibir.

Di satu sisi, secara praktis Migor adalah produk olahan nabati yang sangat akrab dengan masyarakat kelas bawah. Karena banyak sekali jenis panganan yang dimasak dengan menggunakan Migor ini.

Bahkan hal tersebut telah menjadi kebiasaan dan budaya dalam rentang waktu yang lama. Karena itu ketika timbul permasalahan pada produk olahan nabati ini, maka masyarakat kelas bawah akan sangat cepat terlibat dalam pembicaraan bahkan hiruk pikuk yang terjadi di dalamnya.

Sedangkan secara umum dipahami bahwa Indonesia merupakan penghasil Crude Palm Oil (CPO) terbesar kedua di dunia setelah Malaysia. CPO merupakan bahan baku Migor. Jika mau jujur bahkan sebenarnya Indonesia yang terbesar mengingat banyak lahan perkebunan sawit di Indonesia yang digarap oleh pengusaha Malaysia.

Pengelolaan yang massif terhadap hasil perkebunan yang telah sejak lama menjadi primadona khususnya di Sumatera Utara ini tentunya melibatkan modal besar dan kekuatan besar. Karenanya, sebagaimana produk perkebunan atau pertanian strategis lainnya—tidak mengherankan jika kekuasaan mengambil peran penting dalam pengelolaan produk satu ini.

Industri Migor telah melibatkan berbagai stakeholders strategis baik di tingkat lokal maupun di tingkat nasional, bahkan sampai ke tingkat internasional. Maknanya tidak hanya sebatas business as usual dengan tanpa intervensi sektor lain. Namun ada trik ekonomi politik yang sangat massif di sini. Bahkan pada saat tertentu, sektor hukum ikut berada dalam “ring permainan” ini.

Dari pengantar di atas, tulisan singkat ini akan melihat persoalan kelangkaan Migor ini dari pendekatan komunikasi. Dengan kata lain bagaimana pesan yang “ditembakkan” dalam wacana ini dan bagaimana pula penerimaan khayalak terhadap pesan-pesan tersebut.

Frasa Kelangkaan

Frasa yang akrab digunakan dalam persoalan Migor ini adalah “kelangkaan”. Padahal kalau mau jujur sebenarnya bukanlah kelangkaan tetapi kenaikan harga. Hal ini juga diakui oleh Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi Migor akan ada dan lebih baik meski mahal daripada dipatok harga murah namun langka.

Namun bisa difahami. Karena pada awal masalah Migor ini adalah ketika pemerintah dalam hal ini Kementrian Perdagangan mematok harga eceran tetinggi (HET). Pada saat itu tiba-tiba Migor menjadi langka, dan sulit dijumpai di beberapa daerah. Isu langka ini kemudian menjadi frasa yang akrab dalam diskusi masyarakat.

Dalam pesan di ruang publik, antara frasa “langka” dengan “mahal” tentu berbeda dan masing-masing memiliki perbedaan dalam konsekuensinya. Dalam kaitannya dengan ketersediaan bahan pokok, kata “langka” akan memiliki daya “rusak” yang lebih besar ketimbang kata “mahal”. Langka akan ditanggapi secara lebih agresif oleh khayalak ketimbang mahal.

Karena langka berarti, sulit atau tidak bisa didapat, dan kalau pun bisa harganya akan menjadi lebih mahal. Sedangkan jika harga mahal, itu berarti bisa didapat dan tidak sulit untuk menemukannya. Karena itu dalam kata “langka” perlu usaha yang lebih besar untuk mendapatkan sesuatu yang menjadi kebutuhan hidup.

Ketidakmampuan

Dalam hal kelangkaan ataupun harga yang lebih mahal dari Migor, akan menjadi sebuah pesan yang sampai ke khalayak sebagai sebuah pertanyaan besar. Dasarnya secara empirik, masyarakat semua mengetahui bahwa di daerah ini memiliki sumber daya alam yang melimpah untuk minyak goreng.

Sepanjang perjalanan ke luar kota Medan, setiap orang akan disajikan pemandangan perkebunan sawit yang menghampar di mana-mana. Ribuan hektar lahan telah didayagunakan untuk menghasilkan produk perkebunan tersebut. Maka akal secara umum kemudian memahami bahwa dengan sumber daya alam sedemikian besar maka tidak mungkin terjadi kekurangan pasokan untuk Migor.

Ketika ternyata kita mengalami kelangkaan ataupun mahalnya harga Migor, publik dengan cepat akan menyimpulkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres yang menjadi penyebabnya. Sesuatu yang tidak beres itu bisa karena korupsi, bisa karena manajemen pemerintahan yang salah dan lain sebagainya. Intinya orang menarik kesimpulan adalah bahwa telah terjadi salah urus oleh pihak pemerintah.

Apalagi ketika orang membandingkan dengan Arab Saudi dan negara-negara kaya di teluk misalnya. Indonesia dengan negara-negara tersebut memiliki kesamaan, yakni sama-sama kaya minyak. Namun negara-negara kaya di teluk kaya akan minyak di dalam bumi (energi fosil), tetapi Indonesia kaya minyak di atas bumi (nabati).

Kekayaan alam ini ketika dikelola oleh masing-masing pemerintahan telah membuat negara-negara teluk seperti Arab Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab dan sebagainya menjadi negara kaya raya. Penduduknya ikut terimbas menjadi sejahtera secara ekonomi. Sedikit sekali orang miskin di negara-negara ini—kalau tidak mau dibilang tidak ada sama sekali—karena sistem pemerintahan yang dibangun di sana memberikan santunan kepada penduduk miskin.

Berbeda dengan Indonesia, meski kaya minyak nabati namun tidak membuat rakyatnya sejahtera. Bahkan secara kasat mata di sekitar perkebunan tempat sumber kekayaan itu berasall, banyak kemiskinan betebaran. Masalah pembagian hasil perkebunan sawit ini bahkan sejak lama telah menjadi masalah yang tidak terselesaikan. Pemerintah pusat terus merasa nyaman dengan pembagian yang lebih besar, sedangkan pemerintah daerah terus merasa diperlakukan tidak adil.

Maka kesimpulan ketidakmampuan atau lebih tepatnya ketidakmauan untuk mengelola sumber pendapatan asli ini dengan lebih baik oleh pemerintah, akan sangat gampang difahami publik. Tentu dalam retorikanya pemerintah memiliki alasan mereka sendiri, tetapi pesan itu telah ditangkap sedemikian rupa oleh khalayak sehingga membentuk suatu persepsi yang massif terhadap suatu ketidakbecusan dalam pengeolaan.

Penutup

Kita memahami hukum penawaran bahwa jika penawaran tinggi sedang permintaan rendah maka harga akan murah. Sebaliknya jika penawaran rendah dan permintaan tinggi maka harga akan mahal.

Tingkat permintaan dan penawaran barang memang saling mempengaruhi. Dalam skenario sebaliknya, harga turun karena permintaan untuk suatu produk menurun, menyebabkan lebih sedikit perusahaan untuk menghasilkan barang itu. Ketika produksi turun, pasokan menurun, dan harga naik kembali ke ekuilibrium.

Mestinya seperti itulah harga itu berlangsung—berdasarkan pada campur tangan dari sesuatu yang tidak dapat didefenisikan. Beberapa kalangan memahaminya sebagai suatu campur tangan Tuhan. Rekayasa yang menyalahi kondisi seperti ini adalah ketidakpatutan semestinya menjadi musuh semua pihak.

Tapi dalam kondisi penawaran melimpah dengan kepatutan pada kebutuhan utama di dalam negeri, maka harga yang mahal adalah kesalahan yang menyalahi hukum kepatutan. Karena sepatutnya kita yang tinggal di Sumatera Utara ini khususnya tidak pernah dipusingkan dengan masalah Migor karena tersedia secara murah dan berkualitas.

Penulis adalah Guru Besar Fisip USU dan STIK-P Medan.

  • Bagikan