Penindasan Atas Nama Moral

  • Bagikan
<strong>Penindasan Atas Nama Moral</strong><strong></strong>

Dr Suheri Sahputra Rangkuti, M.Pd

Dalam pengetahuan moral, sejatinya, hati nurani menjadi kekuatan yang merespon kondisi sosial yang berfungsi mempertimbangkan dan memeriksa serta mengatasi fenomen baik/buruk yang dirasakan dalam hidup manusia

Kekuasaan dan moralitas ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi kekuasaan selalu menonjolkan nilai ideal sebagai sarana perwujudan aspirasi bagi yang dipimpinnya. Namun di sisi lain, kekuasaan identik dengan praktek penindasan dengan berbagai bentuk untuk melanggengkan kekuasaannya.

Termasuk menjadikan moral sebagai alat untuk membungkam orang-orang yang bersuara dan menindas orang-orang yang dianggap mengganggu singgasana.

Terkait moral, problema kekuasaan hari ini adalah memposisikan moral sebagai alat bagi kekuasaan untuk menundukkan orang-orang yang di bawah garis kekuasaan. Berulang kali kita mendengar himbauan para penguasa agar tunduk mengikuti aturan.

Sementara di lain waktu para kaum elit birokrasi mempertontonkan pelanggaran demi pelanggaran di depan mata. Kita juga sering kali diajak tabah menghadapi tekanan ekonomi namun di lain hal kita melihat kehidupan glamor dan hedon dari kaum elit penguasa yang kerap dipertontonkan di media sosial. Wajar bila kita menduga bahwa moral bagi pemangku kekuasaan hanyalah intrik kekuasaan semata tidak menembus kesadarannya.

Sementara itu, kita (sebagai yang dikuasi) sering kali menilai ajakan moral dari penguasa sebagai ajakan yang murni tanpa memerhatikan sebenarnya apa yang terjadi di belakang itu. Produksi narasi moral yang berlebihan di kalangan penguasa sebenarnya adalah bagian dari ketidakmampuan menyejahterakan orang-orang yang di bawah kekuasaannya.

Mau tidak mau, hanya narasi moral yang dianggap lebih efektif untuk menenangkan jiwa dari derita yang melanda. Tentu kita tahu bahwa ajakan moral merupakan sesuatu yang baik namun ajakan moral dari penguasa yang tidak mampu menyejahterakan orang-orang yang di bawah kekuasaannya patut untuk dicurigai.

Ketidakjelian kita (sebagai yang orang yang dikuasi) untuk membaca apa yang terjadi disebut sebagai kesadaran palsu. Bukan kesadaran yang menerjemahkan keadaan, namun keadaan kita yang kemudian membentuk kesadaran-kesadaran itu sendiri.

Kita tentu telah memiliki pijakan kesadaran. Namun, kita tidak melihat keadaan apa yang berlaku di sekeliling kita sehingga membentuk kesadaran itu. Artinya kesadaran kita hanya merupakan “kesadaran palsu”.

Kita sering disuruh sabar untuk hak-hak kita yang dirampas. Kita juga sering disuruh tunduk untuk mengikuti prosedur aturan yang dibuat tidak rasional dan tidak jelas. Fenomena inilah yang saya sebut sebagai penindasan dan perbudakan atas nama moral.

Karena kita sadar bahwa ajakan itu sebenarnya lebih pantas untuk orang yang mengkhutbahkannya. Namun akibat variabel lain kita terpaksa mengamini ajakan moral itu.

Dalam pengetahuan moral, sejatinya, hati nurani menjadi kekuatan yang merespon kondisi sosial yang berfungsi mempertimbangkan dan memeriksa serta mengatasi fenomen baik/buruk yang dirasakan dalam hidup manusia.

Hati nurani–dalam pengertian ini– lantas dipahami sebagai suatu kesadaran batin/interior yang ada dalam hati manusia yang membimbing hidup manusia atas problem kehidupan bak elang yang melihat segala sesuatu secara keseluruhan. Bukan malah menjadikan moral sebagai identitas untuk menyembunyikan ketidakmampuan penguasa dalam mengakomodasi hak orang-orang yang ia kuasai.

Seorang pemikir Muslim Al-Farabi (filosof Muslim) menyebut bahwa indikator dari moral itu adalah tindakan dan ketenangan. Dalam hal ini, ketenangan yang dimaksud adalah ketenangan jiwa yang didapatkan setelah melakukan tindakan tertentu baik kepada yang menerima tindakan itu maupun yang melakukan tindakan itu sendiri.

Pokok pikiran dari pernyataan Al-Farabi tentang penjelasan moral ini adalah tindakan dan ketenangan. Sementara seruan moral dari penguasa hanyalah ucapan atau ekspresi verbal belaka. Karenanya, seruan moral tidak akan berarti tanpa tindakan. Karena tindakanlah yang akan menentukan apakah seruan moral dari penguasa dianggap sebuah penindasan atau ketenangan.

Sebagai penutup tulisan ini akan ditutup dengan tulisan Jeremy Bantham, Ia mengatakan, bahwa Para tahanan, para penghuni, selalu merasa diamati, meskipun sebenarnya tidak. Tumbuh  kepatuhan, terbentuk disiplin, tanpa dicambuk dan dihardik. Teror bertaut dengan imajinasi.

Penulis adalah Dosen Pascasarjana UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan.

  • Bagikan