Penundaan Pemilu & Kualitas Demokrasi

  • Bagikan

Penundaan Pemilu & Kualitas Demokrasi. Ini penting bagi kita untuk menempatkan wacana penundaan Pemilu berlawanan dengan kualitas demokrasi atau tidak

Di tengah hiruk pikuk persoalan wacana penundaan Pemilu dan penambahan masa jabatan Presiden Jokowi, sebuah terobosan telah dilakukan Program Studi Magister Hukum, Universitas Malikul Salleh melalui acara diskusi publik, 26/3/2022.

Bertempat di gedung Pascasarjana Universias Malikul Salleh. Diskusi Publik bertema “Penundaan Pemilu: Ditinjau dari sudut Hukum Tata Negara dan Politik di Indonesia” menghadirkan pembicara Zulfikar Arse Sadikin, S.IP, MSi anggota Komisi II DPRRI; Dr Mexsasai Indra Dekan Fakultas Hukum Universitas Riau, dan saya diminta berbicara dari sisi politik.

Acara yang ramai dihadiri para mahasiswa dan akademisi serta masyarakat itu dibuka secara resmi Dekan Fakultas Hukum Universitas Malikul Salleh, Prof Dr Jamaluddin, SH. M. Hum yang dengan baik menghantarkan diskusi publik ini dengan menegaskan penundaan Pemilu merupakan wacana hangat syarat dengan kepentingan politik dan oleh karenanya harus diungkap secara akademik.

Di sisi lain, Ketua Magister Hukum Universitas Malikul Salleh, Dr Yusrizal SH, MH, menyebutkan menghadirkan wacana penundaan Pemilu dengan menghadirkan pakar dibidangnya diharapkan membawa persfektif akademik dalam memahami persoalan tersebut sehingga ada dialog, pemikirian dan bahkan kritik di dalamnya secara utuh.

Penundaan Pemilu & Kualitas Demokrasi
Memahami persoalan tersebut, saya memberikan perspektif kualitas demokrasi. Ini penting bagi kita untuk menempatkan wacana penundaan Pemilu berlawanan dengan kualitas demokrasi atau tidak.

Walaupun proses demokrasi diberbagai negara sedang berlangsung dengan dinamika yang dihadapi, kita kini menghadapai apa yang disebut pengabaian demokrasi Subnasional. Alasan utama pengabaian demokrasi subnasional.

Seperti yang dinyatakan oleh Dahl, adalah kurangnya data dan bukan keyakinan bahwa masalah ini secara substansial tidak penting. Begitu penelitian subnasional muncul setelah desentralisasi, ia memang mengungkapkan variasi yang cukup besar di dalam negara-negara di mana warga menikmati hak-hak demokratis.

Setelah demokratisasi, elit otoriter kadang-kadang bertahan di tingkat subnasional, menumbangkan lembaga formal yang demokratis, dan kadang-kadang bahkan memperdalam kekuasaan mereka.

Desentralisasi, yang telah memberi pemerintah dan sumber daya pemerintah daerah, mengisolasi rezim semacam itu. Sementara fokus empiris dari literatur adalah pada Latin-American, dinamika yang sama telah didokumentasikan di negara-negara pasca-Soviet dan Amerika Serikat Selatan selama Jim Crow.

Secara kolektif, literatur yang berkembang ini menunjukkan bahwa variasi subnasional dalam demokrasi adalah aturan, bukan pengecualian, khususnya di negara demokrasi federal yang besar (Harbers, I.; Bartman, J.; van Wingerden, E., 2019).

2) Berkurangnya kemauan politik dan pengaruh politik dari pihak donor Meningkatnya perjuangan untuk, jika bukan erosi, demokrasi di banyak negara demokrasi yang mapan bergabung di tingkat internasional dengan kembalinya geopolitik dan kekuatan keras yang banyak dibahas.

Akibatnya, negara-negara donor yang sebelumnya aktif menjadi kurang antusias. Perhatian mereka telah berpaling dari mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia, karena banyak negara demokrasi yang sudah mapan – bahkan lebih dari sebelumnya – memberikan prioritas pada kebijakan luar negeri dan tujuan serta kepentingan pembangunan seperti stabilisasi.

Selain itu, sejauh aktor negara masih terlibat atas nama demokrasi, mereka sering dihadapkan dengan aktor yang bersaing yang menawarkan keterlibatan (investasi, bantuan, mitra ekonomi) tanpa ikatan politik.

3) Meningkatnya skeptisme, kontestasi, dan perlawanan di sisi penerima Di sisi lain dari persamaan, akhir-akhir ini “penerima” juga telah berpaling dari gerakan prodemokrasi. Di seluruh wilayah dunia, negara-negara yang sebelumnya menyambut atau setidaknya menerima promosi demokrasi internasional tidak lagi bersedia melakukannya.

“Dorongan balik” melawan promosi demokrasi ini, yang dapat diamati di sekitar 60 negara, mungkin akan tetap ada – ini merupakan “normal baru”. Akibatnya, ketika promosi demokrasi diperlukan lebih dari sebelumnya dari sudut pandang normatif, ada lebih sedikit dan lebih sedikit tempat di mana itu diterima.

Persoalan demokrasi sebagaimana di atas telah mempetakan kepada kita hambatan yang muncul dalam demokratisasi. Kita memahami bahwa Demokratisasi dapat dipahami sebagai proses yang dibagi menjadi tiga fase: (i) fase liberalisasi, ketika rezim otoriter sebelumnya terbuka atau hancur;

(ii) fase transisi, seringkali memuncak ketika pemilihan kompetitif pertama diadakan; dan (iii) fase konsolidasi, ketika praktik demokrasi diharapkan menjadi lebih mapan dan diterima oleh sebagian besar aktor yang relevan (O’Donnell dan Schmitter, 1986; Linz dan Stepan, 1996).

Fase terakhir ini sangat penting untuk membangun rezim demokratis yang tahan lama. Itu juga terbukti menjadi yang paling menantang bagi negara-negara demokrasi baru di negara berkembang (Lise Rakner , Alina Rocha Menocal and Verena Fritz, 2007:7).

Hambatan untuk demokratisasi dalam kelompok negara ini adalah politik, budaya, dan ekonomi. Salah satu hambatan politik yang berpotensi signifikan untuk demokratisasi di masa depan adalah tidak adanya pengalaman dengan demokrasi di sebagian besar negara yang tetap otoriter pada tahun 1990.

Di sisi lain, memberikan harapan agak tinggi dan tidak realistis. Sebab kita sesungguhnya mengalami apa yang disebut dengan kemunduran demokrasi (Democratic Backsliding). Kemunduran demokrasi adalah fenomena umum yang meresahkan.

Terlalu sering, pemilihan kompetitif dirusak, warga kehilangan hak mereka untuk memobilisasi atau menyuarakan tuntutan mereka dan pemerintah menjadi kurang akuntabel. Artinya, perubahan dilakukan dalam lembaga-lembaga politik formal dan praktik-praktik politik informal yang secara signifikan mengurangi kapasitas warga negara untuk membuat klaim yang dapat ditegakkan atas pemerintah.

Dasar pemikiran di atas bagi saya—dalam kaitannya dengan penundaan Pemilu 2024 dan memperpanjang masa jabatan Presiden menjadi bagian dari upaya memundurkan kualitas demokrasi.

Penundaan Pemilu 2024 mengakibatkan negara kehilangan kualitas dari satu-satunya produk reformasi, yaitu demokrasi. Yang berkuasa di Indonesia adalah kuasa rakyat bukan oligarki. Negara tidak boleh menjadi sewenang-wenang apalagi membiarkan kaum oligarki berhasil menghabisi demokrasi.

Ini tentu saja membahayakan demokrasi dan sistem ketatanegaraan. Membahayakan karena akan merusak tatanan demokrasi yang sudah terbentuk dan berjalan baik, dibawa kearah ketidakpastian. Apalagi jika terjadi penundaan dan perpanjangan jabatan tidak ada jaminan pula akan menjadi baik, sebaliknya apabila kondisi memburuk justru berpotensi terjadi kekacauan dan konflik.

Tidak ada yang lebih baik dari menaati konstitusi agar Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun. Indonesia memiliki sejarah panjang sukses menyelenggarakan Pemilu sejak tahun 1955. Kenapa tiba-tiba muncul keinginan menunda Pemilu.

Ini jelas ahistoris dan terindikasi hanya keinginan segilintir kelompok semata. Terbukti hasil survey yang dilakukan menunjukkan warga sebagian besar menolak penundaan Pemilu. Jadi alasan menunda Pemilu sangat sumir dan tidak memiliki relevansi sama sekali.

Sistem ketatanegaraan juga terancam ketika Pemilu ditunda yang berimplikasi jabatan Presiden dan lembaga lainya diperpanjang. Soal otoritas lembaga mana yang menetapkan penundaan dan perpanjangan jabatan, juga bermasalah. Lalu apa dasarnya untuk menetapkan dan mengisi, karena kelembagaan negara seperti Presiden, DPR, DPD, DPRD, didasarkan hasil Pemilu.

Jadi sangat problematik bagi sistem ketatanegaraan dan beresiko terjadi deligitimasi dan gugatan keabsahan kelembagaan negara apabila diperpanjang. Penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden tidak sesuai dengan amanat konstitusi negara dan mengacaukan siklus demokrasi yang membatasi masa jabatan rezim pemerintahan yang berkuasa.

Periodisasi presiden per lima tahun itu dalam rangka menjaga kultur demokrasi dan regenerasi kepimimpinan nasional di Indonesia. Oleh sebab itu, usulan penundaan Pemilu akan menciptakan krisis yang berkepanjangan di Tanah Air.

Kualitas demokrasi yang harus dihormati. Jadi ketika kultur ini kemudian dirombak maka bisa menciptakan krisis. Sebab, Kualitas demokrasi mendorong sejauh mana warga negara dapat melakukan partisipasi yang terinformasi dalam proses pemilihan umum yang bebas, adil, dan sering dan mempengaruhi pengambilan keputusan kebijakan publik, dan sejauh mana mereka yang membuat keputusan bertanggung jawab dan responsif terhadap kehendak populer (Daniel H. Levine dan Jose E. Molina, 2007:6).

Philippe C. Schmitter (2004:48) menyebutkan demokrasi yang berkualitas mensyaratkan pertanggungjawaban politik yaitu hubungan antara dua set orang atau (lebih sering) organisasi di mana pemberi informasi setuju untuk memberi informasi kepada mereka, untuk menawarkan kepada mereka penjelasan atas keputusan yang diambil, dan untuk memberikan sanksi yang telah ditentukan sebelumnya yang mungkin mereka kenakan.

Yang terakhir, sementara itu, tunduk pada perintah pembuat, harus memberikan informasi yang diperlukan, menjelaskan kepatuhan atau ketidakpatuhan terhadap perintah-perintahnya, dan menerima konsekuensi yang dilakukan atau dibiarkan tidak dilakukan.

Penutup
Tidak ada hal yang mendesak bagi pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk menunda pelaksanaan Pemilu 2024 dan itu merupakan bagian dari pertangungjawaban politik dari amanah lima tahunan yang diberikan rakyat padanya. Bila Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perppu untuk menunda Pemilu sama saja melecehkan konstitusi dan kualitas demokrasi

Penulis adalah Dosen Ilmu Politik, Fisip USU.

  • Bagikan