Pro-Kontra Pengungsi Rohingya Di Aceh

  • Bagikan
Pro-Kontra Pengungsi Rohingya Di Aceh

Oleh Khairil Miswar

Meskipun Indonesia tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, tetapi pengalaman Indonesia dalam menampung pengungsi Vietnam dan Kamboja pada 1979 di Pulau Galang dapat dijadikan pedoman untuk menyelesaikan masalah ini. Saat itu Indonesia menampung hampir 300 ribu pengungsi dari dua negara tersebut. Faktanya, tidak terjadi masalah apa pun di sana, tidak ada konflik dan benturan dengan masyarakat lokal

Kedatangan para pengungsi Rohingya ke Aceh baru-baru ini hendaknya tidak dipandang sebelah mata oleh pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah harus segera mengambil sikap bulat terhadap mereka, bukan justru melakukan pembiaran yang kemudian berdampak pada munculnya problem sosial di Aceh. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, maka potensi kekacauan akan semakin terbuka, di mana benturan antara pendatang dengan penduduk lokal tidak bisa lagi dihindari.

Kita bisa menyaksikan sendiri adanya perbedaan sikap masyarakat Aceh dalam menyikapi kedatangan pengungsi kali ini. Pada kedatangan tahun-tahun sebelumnya (2009, 2013, 2015, 2018, 2020, 2021, 2022) para pengungsi diterima dengan sangat baik oleh masyarakat Aceh. Tidak ada gejolak apa pun saat itu. Namun, pada kedatangan kali ini, gelombang penolakan terhadap pengungsi Rohingya bermunculan di berbagai daerah.

Hal ini disebabkan oleh perbedaan informasi yang didapat masyarakat Aceh. Perbedaan informasi ini kemudian berdampak pada perbedaan pengakuan. Pada kedatangan Rohingya pertama kali, dari tahun 2009-2022, narasi yang berkembang saat itu bahwa para pengungsi Rohingya mengalami persekusi dan penindasan di negara asal mereka, Myanmar; bukan saja oleh junta militer, tapi juga para biksu Buddha yang dipimpin Ashin Wiratu. Karena informasi demikian, masyarakat Aceh pun bersatu padu menampung dan memberikan bantuan kepada para mereka yang dianggap sebagai saudara seiman, mengingat mayoritas pengungsi adalah Muslim.

Kondisi berbeda terjadi pada kedatangan mereka kali ini, di mana narasi yang berkembang justru sebaliknya. Saat ini narasi kebencian terhadap pengungsi Rohingya terus diproduksi dan beredar luas di media sosial. Akibatnya framing, labeling, stigmatisasi dan stereotipe terhadap pengungsi pun dishare berulang-ulang sehingga informasi tersebut viral di beberapa platform media sosial, khususnya Tiktok. Dalam narasi-narasi tersebut disebutkan bahwa pengungsi Rohingya adalah pendatang yang akan merebut tanah Aceh dan kemudian mengusir pribumi, seperti dilakukan imigran Yahudi yang merebut tanah Palestina pasca Holocaust.

Bagi sebagian masyarakat yang tidak kritis, informasi tersebut diterima begitu saja sehingga kebencian kepada pengungsi Rohingya pun kian tajam. Kondisi ini diperparah dengan beredarnya rekaman video beberapa tokoh masyarakat dan tokoh agama yang juga menyatakan menolak kedatangan pengungsi. Akibatnya, emosi massa pun terbentuk sehingga kebencian kepada para pengungsi tidak lagi sebatas percakapan-percakapan di kedai kopi, tapi telah menyeruak dalam tindakan di lapangan.

Aksi pengusiran terhadap para pengungsi Rohingya yang dilakukan sejumlah mahasiswa di Banda Aceh pada 27 Desember 2023 adalah salah satu contoh tentang bagaimana narasi-narasi kebencian yang beredar di media sosial mampu memengaruhi publik sehingga mereka pun melakukan tindakan di luar nalar. Fatalnya, pertentangan antar masyarakat Aceh yang pro dan kontra terhadap kedatangan pengungsi Rohingya juga semakin tajam.

Pascapengusiran itu, beberapa media online lokal menulis tentang sosok Koordinator Lapangan (Korlap) yang memimpin demonstrasi pengusiran tersebut, di mana yang bersangkutan disebut-sebut pernah menjadi narapidana kasus Narkoba. Di sini terlihat ada upaya perlawanan terhadap para demonstran yang sebelumnya berupaya mengusir para pengungsi. Sepintas hal ini terlihat sederhana. Namun, hal-hal demikian bisa memicu konflik antar kelompok di Aceh, apalagi masyarakat Aceh sendiri adalah masyarakat yang sudah sangat akrab dengan konflik di masa lalu.

Sikap Pemerintah

Pernyataan Menkopolhukam, Mahfud MD, yang meminta masyarakat Aceh membantu pengungsi Rohingya dengan memberikan penampungan sementara bukanlah solusi. Di satu sisi, pernyataan ini bisa saja mengimbangi narasi-narasi kebencian yang terus berkembang. Namun, di sisi lain, pernyataan demikian justru memicu reaksi negatif dari sebagian masyarakat yang kontra pada pengungsi, sebab negara bukannya mengambil peran, tapi melimpahkan tanggung jawab tersebut kepada masyarakat.

Meskipun Indonesia tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, tetapi pengalaman Indonesia dalam menampung pengungsi Vietnam dan Kamboja pada 1979 di Pulau Galang dapat dijadikan pedoman untuk menyelesaikan masalah ini. Saat itu Indonesia menampung hampir 300 ribu pengungsi dari dua negara tersebut. Faktanya, tidak terjadi masalah apa pun di sana, tidak ada konflik dan benturan dengan masyarakat lokal.

Karena itu, sudah selayaknya solusi terhadap pengungsi Rohingya segera dipikirkan agar tidak lagi muncul keresahan di tengah masyarakat, khususnya masyarakat Aceh. Ada baiknya, para pengungsi tersebut terkonsentrasi di satu tempat yang jauh dari pemukiman masyarakat lokal sehingga pihak UNHCR dan IOM dapat melakukan pengawasan dengan mudah tanpa adanya intimidasi dari oknum-oknum tertentu, apalagi hingga saat ini demonstrasi penolakan terhadap pengungsi terus terjadi.

Selain itu, produksi narasi kebencian terhadap para pengungsi juga harus dihentikan, apalagi ada kecurigaan di tengah masyarakat bahwa narasi ini melibatkan pihak tertentu yang sengaja menciptakan benturan dalam masyarakat. Karena itu negara harus memastikan tidak ada oknum dari institusi tertentu yang terlibat dalam keriuhan ini. Jika ini tidak dilakukan maka potensi kekerasan di tengah masyarakat akan semakin meruncing.

Negara harus bertindak cepat sebelum munculnya aksi anarkis dari oknum-oknum tertentu yang ingin menangguk di air keruh.

Penulis adalah Alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry.

  • Bagikan