Refleksi Akhir Tahun MUI SU

  • Bagikan
Refleksi Akhir Tahun MUI SU

Oleh Shohibul Anshor Siregar

Pemurtadan itu ada di mana-mana. Sebagian formal, lainnya tak begitu disadari. Murtadin miskin di pedesaan mungkin kentara tak lagi terdata dalam komunitas awal. Di perkotaan gejala murtad dapat tersamar sambil mempertegas dan memperkuat simbol-simbol budaya bertrivia Islam

Perhelatan yang khidmat dalam bentuk permusyawaratan. Dinamai refleksi akhir tahun. Secara khusus dimaksudkan sebagai mekanisme organisasi untuk evaluasi program setahun berlalu. Sekaligus, atas dasar evaluasi itu, dilakukan perencanaan program untuk 2024. Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara (MUI SU) melaksanakannya 30-31 Desember 2023, di Medan.

Sejumlah rekomendasi telah disepakati, meski masih akan menunggu pentahfizan oleh tim perumus yang bertanggungjawab kepada pimpinan. Sifatnya ada yang ditujukan ke dalam (internal) dan ada yang ke luar (eksternal).

Artikel ini menyoroti beberapa di antaranya. Dikandung maksud untuk berusaha menarik sebuah benang merah tentang fakta-fakta empiris sehari-hari di tengah masyarakat, yang menjadi alasan reflektif atas rekomendasi yang dibahas. Kiranya hanya sebagian kecil hulu permasalahan benar-bernar terkait dengan struktur lokal. Sedangkan sebagian besar lainnya dipastikan berhulu pada struktur yang menunjukkan adanya otoritas pemerintahan nasional yang mungkin disfungsional.

Karena ruang yang terbatas, artikel ini hanya akan menyoroti beberapa hal saja, salah satunya kemaharajalelaan narkoba. Dahsyat ancamannya. Para ulama resah. Terkait fakta itu muncul usul mendirikan pusat rehabilitasi berbasis syari’ah. Niatnya baik, ingin berpartisipasi aktif mengurangi masalah yang menjerat masa depan bangsa. Digerogoti secara destruktif (generasi muda) oleh narkoba. Secara hipotesis keadaan ini dapat menggagalkan obsesi bonus demografi yang digembar-gemborkan.

Secara kuantitatif obsesi beroleh bonus demografi itu memenuhi rumus prediksi statistik. Tetapi jika dalam jumlah besar usia muda (yang seyogyanya produktif) terpuruk dalam kualitas hidup rendah dan bahkan bermasalah karena narkoba, nasib negara tidak baik-baik saja.

Karena itu sukar menemukan alasan pembenar untuk usul ini. Sebaliknya alternatif partisipasi patut dipertimbangkan, dialihkan ke upaya mobilisasi keumatan di tingkat grassroot. Ciptakan lingkungan perang melawan narkoba. MUI memiliki struktur organisasi yang secara rizomatik merambah ke bawah. Jaringan itu sangat potensil dimanfaatkan sebagai motor penggerak perlawanan untuk sebuah jihad yang tak memerlukan lagi rasa takut. MUI sangat potensil bergandengan tangan dengan ormas lain yang juga mengeluhkan beban yang sama (kecemasan masa depan karena bencana global Narkoba).

Tunjukkan bukti yang dapat dipercaya bahwa Presiden Duterte di Filipina begitu buruk menyelamatkan bangsanya dari narkoba ketika pertamakali (dan terus dalam niatnya) melakukan operasi besar-besaran yang kemudian dikutuk oleh negara-negara besar dan lembaga swadaya dunia yang bergerak dalam bidang HAM. Duterte dituduh bertanggung jawab atas pelanggaran HAM dan pantas dimakzulkan. Ia dianggap bukan anggota masyarakat berperadaban.

Tetapi Duterte menyelamatkan negerinya, dan semua orang secara rasional atau terpaksa harus mengakui. Bandingkan dengan Indonesia yang pertambahan lembaga, budget dan signifikansi industri narasinya malah diikuti peningkatan kompleksitas permasalahan dari waktu ke waktu. Kenyataan makin meleceng dari harapan.

Tunjukkanlah contoh keberhasilan lembaga rehabilitasi. Saat masih berada dalam proses rehabilitasi, semua parameter kesembuhan mungkin terpenuhi. Tetapi ketika pasien pulang ke rumah, yang untuk saat ini amat patut diasumsikan telah berada di lingkungan yang umumnya sudah amat ramah narkoba, siapa yang bertanggung jawab untuk kekambuhan?

Itulah yang tak mampu dilakukan oleh pemerintah hanya karena tidak mendasari usaha dengan filosofi dan pengenalan akar permasalahan yang akurat, valid dan jujur. Mestinya pemerintah memastikan nihilisasi supply agar deman menurun drastis. Namun, tanpa melebih-lebihkan, rasanya justru hanya persoalan pokok itu yang tak dapat dilakukan oleh pemerintah. Di situlah MUI justru memiliki kelebihan peluang peran dan modalitas wibawa keumatan.

Itulah yang seyogyanya digelorakan oleh MUI. MUI dapat dengan cara-cara santun “memaksa” support pemerintah untuk memobilisasi perlawanan rakyat atas serbuan massif narkoba. Dengan bahasa keagamaannya yang purified, MUI dapat memosisikan pemerintah dalam gerakannya, baik dari segi pembiayaan maupun pelibatan sumberdaya insani tertentu, khususnya dari kalangan yang berkewenangan menggunakan represi sesuai keadaan.

Apakah keadaan tidak terbalik? Memang benar. Ini anomali serius dan, suka atau tidak, sebetulnya pemerintah tampak sudah lama give up karena beban strukturalnya sendiri yang berjalin berkelindan menegasikan tajdid usaha penyelamatan bangsa.

Fiqh perkotaan itu spesifik dan penting. Salah satu bahan diskusi saat refleksi dan perumusan rekomendasi. Apa akar masalahnya? Inilah sebuah keniscayaan yang sejak lama sudah menjadi studi khusus dalam berbagai bidang Ilmu Sosial terutama Sosiologi dan Antropologi. Dikhotomi yang terbangun luar biasa. Kota-desa tidak lagi kontinum. Menerangkan karakteristik kota saat ini adalah upaya lugas menerangkan karakteristik desa secara terbalik.

Joko Widodo bilang pindah ke Ibu Kota Negara (IKN) meniscayakan hijrah dari Jawa Sentris menjadi Indonesia Sentris. Joko Widodo dikritik, terutama karena prinsip kurang ksatria meninggalkan Jakarta karena penuh masalah (over populated, banjir, polluted dan sebagainya). Juga karena sifat IKN yang proyek oriented sambil mengabaikan banyak hal. Pertama, kemampuan keuangan negara yang terseok karena utang amat fantastis.

Kedua, niat pengarusutamaan investasi asing meski tanpa respon positif meski sudah dijajakan ke mancanegara. Tetapi ada keraguan, bahwa saat sudah terancam gagal di tengah bayang-bayang kemampuan pemerintah yang semakin melemah seiring akan berakhirnya masa jabatan Joko Widodo, Tiongkok dapat bergegas bak pahlawan penyelamat namun dengan gaya monopolistik seperti lazimnya dan mendiktekan berbagai persyaratan yang tak menguntungkan bagi bangsa sebagaimana terjadi dalam proyek-proyek Belt and Road Inisiative (BRI) lainnya di Malaysia dan lain-lain.

Ketiga, pengabaian kelestarian lingkungan. Keputusan membangun IKN dan penunjukan lokasi tidak diawali dengan studi mendalam dan komprehensif mengenai dampak lingkungan. Masih banyak hal lain, di antara hal paling serius lainnya, yakni, tentu saja, IKN yang dengan tanpa argumen yang cukup untuk menunjukkan benang merah dengan keniscayaan kebijakan pembangunan inklusif. Itu masalah besar.

Karena itu secara filosofis Anies-Imin mengoreksi dengan gagasan membangun 40 kota utama Indonesia. Kota-kota yang terkoneksi secara langsung dengan mekanisme pembangunan ekonomi, sosial, budaya hinterland yang tak hanya mengakomodasi pertumbuhan (growth) di negeri super luas Indonesia.

Anies menyelesaikan kerangka pemikiran akademis yang menghadirkan solusi. Secara historis Imin yang warga Nahdhatul Ulama tentu sangat faham kehidupan agraris pedesaan (di Jawa dan di luarnya) yang tak harus tersandera kemajuannya karena kedigdayaan oligarki memusatkan segala obsesinya di kota-kota Pulau Jawa yang bertitik-fokus di Jakarta.

Dari perbandingan itu diharapkan MUI yang akan merumuskan fiqh perkotaan serta-merta menginvestasikan waktu dan sumberdaya insaninya untuk pekerjaan berbasis riset ini. Riset dapat mencakup kompleksitas baru perkotaan yang demikian dinamis yang serta-merta anti pemerataan. MUI tak wajar menutup mata atas fakta disparitas ini.

Fiqh lain, yakni fiqh kebencanaan, mungkin sama mendesaknya sebagaimana ditunjukkan dalam sebuah rekomendasi lain MUI Sumatera Utara yang menyadarkan atas prediksi kekerapan yang akan semakin tinggi ke depan karena perilaku pembangunan yang kurang berdisiplin selama ini. Dalam kedua fiqh ini, MUI kelak tak dapat hanya sebatas memproduk narasi laporan riset, melainkan harus menegosiasikannya untuk memengaruhi kebijakan publik.

Ada keluhan tentang pemurtadan di daerah minoritas sebagai dasar atas usul perlunya lembaga yang lebih kuat, studi yang lebih mendalam, data yang lebih valid-updated, program, kerjasama antar organisasi dan pembiayaan dalam ekonomi. Wilayah kerja ini tidak bisa dihadapi sambil lalu sebagaimana cara konvensional selama ini. Jadi dakwah trip dalam durasi beberapa jam bukan zamannya lagi. Beralih ke dakwah berbasis markaz aktif.

Pemurtadan itu ada di mana-mana. Bedanya Sebagian berlangsung formal, dan sebagian lainnnya tak begitu disadari. Murtadin miskin di pedesaan mungkin kentara tak lagi terdata dalam komunitas awal. Di perkotaan mekanismenya gejala murtad dapat tersamar sambil mempertegas dan memperkuat simbol-simbol budaya bertrivia Islam.

Misalnya, bagaimana mempertanggungjawabkan keislaman seorang akademisi yang jalan fikiran, narasi dan mimpinya sudah diboboti kuat karakteristik self hating muslim? Bagaimana apresiasi atas keislaman seseorang yang dengan jalan birokrasi dan politik abusive-nya terus memupuk kekayaan dengan korupsi sambil terus memperkaya simbol penting keislaman?

Ia mungkin berulangkali dalam setahun memerlukan ritual umrah, dan hadir dalam perhelatan-perhelatan simbolik. Tetapi ia mestinya sadar, dan dakwah MUI juga penting ke sasaran untuk memudahkannya beroleh hidayah agar kembali ke jalan yang benar (taqwa).

Rekomendasi lain mengenai studi banding ke luar negeri, dengan penekanan kalimat dan diksi yang kuat saat dibacakan. Membanding usul ini dengan fakta-fakta penyelenggaraan hal serupa dalam institusi pemerintahan, terasa ada yang perlu disarankan. Kemajuan sarana dan prasarana komunikasi terus berpacu. Bentuk check on the spot yang berlangsung layaknya wisata, sudah semakin kurang relevan. Jika untuk studi mendalam, tentu kendala waktu dan biaya, selain seleksi tim yang ketat berdasarkan kepakaran, sangat kentara.

Jika akan sebagai penambah variasi pengalaman peserta studi banding, tentu terasa mengingkari keprihatinan umat saat ini. Realitas itu begitu menyayat hati dan mendesak sebuah perubahan besar yang bahkan MUI secara nasional berkewajiban mendorongnya.

Didirikan tahun 1975 dan berfungsi otoritatif atas urusan agama Islam, MUI memainkan peran penting membentuk wacana Islam, mengeluarkan fatwa, dan memberi panduan keagamaan. Diisi para cendekiawan Islam terkemuka, yang dikenal sebagai ulama, yang diakui karena pengetahuan dan keahlian dalam yurisprudensi Islam. Para anggota terorbit melalui proses seleksi yang melibatkan berbagai organisasi dan institusi Islam.

Tujuan utamanya mempromosikan dan menjaga ajaran Islam, persatuan dan kesatuan, dan mewakili kepentingan umat. Secara aktif terlibat dalam isu-isu keagamaan dan sosial, sertifikasi halal, pendidikan agama, etika, kerukunan, pembentukan lanskap keagamaan, dan berkontribusi bagi pengembangan masyarakat. Wallahul muwaffiq ila aqwamittariq.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Ketua Lembaga Ukhuwah Umat Islam MUI Sumatera Utara. Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

  • Bagikan