Refleksi Hari Pahlawan 2022

  • Bagikan
<strong>Refleksi Hari Pahlawan 2022</strong>

Oleh Tgk. Helmi Abu Bakar El-Langkawi, M.Pd

Esensi sosok seorang pahlawan merupakan mereka yang mampu menempatkan diri pada tempatnya, tidak menzalimi orang lain, bersikap adil dalam segala tindakannya, dan mampu untuk objektif melihat sesuatu…

Setiap tanggal 10 November kita memperingati Hari Pahlawan. Keberadaan 10 November merupakan tanggal dan bulan bersejarah dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negara. Berdasarkan catatan sejarah disebutkan bahwa pada 10 November 1945 terjadi pertempuran besar pascakemerdekaan yang disebut sebagai pertempuran Surabaya.

Pada 25 Oktober 1945, pasukan sekutu, Inggris dan Belanda menginjakkan kakinya di Surabaya setelah berhasil memenangkan Perang Asia Timur Raya.Pada 1945 pasca Indonesia memproklamirkan kemerdekaanya pada 17 Agustus 1945, situasi politik di Indonesia dalam keadaan yang tidak stabil dan bergejolak.

Kedatangan sekutu di Indonesia tepatnya di Jakarta pada 15 September 1945 memicu terjadinya gesekkan antara sekutu dan para pejuang bersama rakyat di Surabaya.Dikutip dalam buku Sejarah Nasional VI, Pada tanggal 19 September 1945, para pemuda dan pejuang di Surabaya dengan berani menurunkan hingga merobek warna biru pada bendera Belanda yang dikibarkan di Hotel Yamato, sehingga menyisahkan bendera berwarna merah dan putih. Akibat dari ketidakstabilan situasi pada saat itu kemudian menyebabkan sebuah perang untuk pertama kalinya yakni pada tanggal 27-30 Oktober 1945.

Singkat cerita, Mayor Jenderal Robert Mansergh pada 9 November 1945 mengeluarkan ultimatum kepada rakyat Surabaya. Isi dari ultimatum tersebut adalah pertama, seluruh pemimpin Indonesia di Surabaya harus melaporkan diri. Kedua, seluruh senjata yang dimiliki pihak Indonesia di Surabaya harus diserahkan kepada Inggris. Ketiga, para pemimpin Indonesia di Surabaya harus bersedia menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat.

Sontak Ultimatum yang dikeluarkan Mansergh berbuah perlawanan dari para pejuang dan arek-arek Surabaya, sehingga mengakibatkan perang besar terjadi yang menelan banyak korban dan menyebabkan kota Surabaya menjadi hancur. Tragedi ini kemudian dikenal dengan Peristiwa 10 November 1945. Untuk mengingat peristiwa ini Presiden Pertama RI, Sukarno menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan Nasional dalam Rapat Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BPKRI) di Yogyakarta pada tanggal 4 Oktober 1946.

Esensi Hari Pahlawan

Hari pahlawan yang diperingati setiap 10 November jangan jadikan peringatan Hari Pahlawan sebagai acara seremonial belaka. Jadikan hari bersejarah ini sebagai momentum bagi kita untuk melakukan introspeksi diri. Berkaca terhadap diri sendiri tentang seberapa jauh kita mewarisi nilai-nilai kepahlawanan yang sesungguhnya, melanjutkan perjuangan, mengisi kemerdekaan demi mencapai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sejahtera.

Tak ada bangsa yang besar, tanpa jiwa kepahlawanan. Kehadiran, Indonesia tak bisa dilepaskan dari peran para pahlawan. Jiwa, raga, bahkan ceceran darah, demi kehadiran Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Sejatinya, heroisme 10 November, sangat mengesankan, menyejarah dan nilai-nilai perlu ditanamkan kepada anak bangsa pada zamannya. Tentu, dengan metode yang ramah dan kontekstual.

Dulu, para pahlawan merebut kemerdekaan dengan darah dan airmata. Tentu, generasi milenial perlu mentransformasikan nilai-nilai kepahlawanan tersebut ke dalam era dan zaman generasi milenial saat ini. Berjuang dengan gagasan inovatif, karya yang orisinil, dedikasi membantu kelompok-kelompok rentan, menumbuhkan budaya berkarakter dalam keseharian, merupakan cermin kepahlawanan yang bisa dilakukan generasi milenial.

Esensi sosok seorang pahlawan merupakan mereka yang mampu menempatkan diri pada tempatnya, tidak menzalimi orang lain, bersikap adil dalam segala tindakannya, dan mampu untuk objektif melihat sesuatu, serta bisa menahan gejolak emosi. Karena orang kuat adalah pribadi yang kuat membendung kemarahannya ketika marah. Dalam hal ini Nabi bersabda: “Orang yang kuat bukanlah seorang yang menang dalam pergulatan, tetapi manusia yang kuat adalah siapa yang mampu mengendalikan dirinya ketika dia marah” (HR. Bukhari).

Membuka lembaran sejarah kepahlawanan dalam Islam, kita akan menemukan figur-figur luar biasa yang memang pantas disebut sebagai pahlawan sejati. Nabi Muhammad SAW adalah sosok utama yang layak menyandang predikat tersebut, maka tidak berlebihan jika salah seorang sejarawan barat M. Heart memilih Muhammad sebagai orang paling berpengaruh di dunia.

Terlepas dari itu semua, Muhammad merupakan pribadi sempurna dengan kepribadian yang sempurna dan patut di teladani, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzab ayat 21: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS. Al-Ahzab: 21).

Era millenial seperti saat ini, karakteristik seorang pahlawan adalah jujur, pemberani, dan rela melakukan apapun demi kebaikan dan kesejahteraan masyarakat. Setiap orang harus berjuang untuk menjadi pahlawan, minimal menjadi pahlawan untuk dirinya sendiri dan keluarga yang berlangsung setiap saat dalam kehidupan sehari-hari.

Artinya, kita menjadi warga yang baik dan meningkatkan prestasi dalam kehidupan masing-masing. Setidaknya kita harus mampu bertanya pada diri sendiri apakah rela mengorbankan diri untuk mengembangkan diri dalam bidang kita masing-masing dan mencetak prestasi dengan cara yang adil, pantas dan wajar.

Maka, peringatan Hari Pahlawan sebaiknya dijadikan momentum bagi para pemuda sebagai hari besar yang dirayakan secara khidmat dan dengan rasa kebanggaan yang besar. Karena merupakan kesempatan bagi seluruh bangsa untuk mengenang jasa-jasa dan pengorbanan para pejuang yang tak terhitung jumlahnya dalam perjuangan bersama bagi tegaknya Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945

Pahlawan bagi generasi milenial juga dipersepsikan sebagai sebuah aktivitas yang memberi inspirasi dan pengaruh positif bagi masyarakat. Pahlawan bagi milenial adalah suatu tindakan nyata yang memberi manfaat kepada masyarakat. Pahlawan bukan lagi dipahami sebagai sebuah gerakan heroik yang mengangkat senjata melawan penjajah.

Sebuah harian ibukota pernah mengadakan angket “7 Millennial Heroes” untuk menjaring apa yang dianggap pahlawan oleh generasi milenial. Tujuh katagori pahlawan milenial itu meliputi para figur milenial yang berkarya dalam bidang ekonomi digital, seni dan budaya, olahraga, pendidikan, sosial, lingkungan, dan kesehatan. Dalam setiap bidang dipilih tujuh orang yang dianggap sebagai pahlawan milenial.

Dari tujuh katagori kepahlawanan dan figur pahlawan yang terpilih menunjukan bahwa pahlawan generasi milenial adalah legenda hidup, bukan para tokoh masa lalu yang sudah wafat. Para pahlawan milenial dapat diikuti dalam praktik dan filosofi hidup mereka melalui akun media sosial seperti Instagram, Twitter, dan Facebook. Melalui media sosial, para pahlawan milenial bisa melakukan dialog interaktif secara online, sesuatu yang tidak bisa dilakukan pada pahlawan kemerdekaan yang telah gugur.

Generasi milenial akan menjadi fondasi sumber daya manusia Indonesia masa depan. Generasi inilah generasi emas yang akan memimpin Indonesia, mulai jadi pemilik kafe kopi, manajer perusahaan, tokoh budaya, hingga politisi dan pejabat tinggi negara. Di pundak merekalah cita-cita kesejahteraan Indonesia menjadi negara maju secara ekonomi pada 2045 seperti disampaikan Presiden Jokowi dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden RI periode 2019-2024 (Eko Sulistyo, 2019).

Sejarah telah mencatat kisah para pejuang yang merupakan sosok pahlawan yang dapat kita jadikan suri tauladan dalam kehidupan ini. Di antara kisah tersebut adalah Siti Khadijah ra istri Rasulullah SAW. Bagaimana seorang yang kaya raya rela memberikan hartanya untuk perjuangan suami tercinta Rasulullah SAW kala itu, bahkan tak jarang baju yang dikenakan banyak tambalan.

Malu jika kita saat ini memiliki koleksi baju yang banyak dan bagus padahal kelak yang kita gunakan untuk menghadap sang khalik hanyalah kain kafan. Seperti kisah Mus’ab bin Umair yang sangat mashur. Seorang yang sangat tampan dan kaya raya, terlahir dari keluarga terpandang.

Namun karena Islam, rela mengorbankan semua yang sudah dimiliki dan disandangnya menjadi pemuda yang sederhana yang mendedikasikan tenaga dan hidupnya untuk Islam. Bahkan orang madinah pernah mengatakan saat pertama kali bertemu Mus’ab“ seorang laki-laki yang belum aku lihat sebelumnya tidak ada orang semisal dirinya. Seolah-olah dia adalah lelaki dari kalangan penduduk surga”. Pengorbanan yang telah dilakukan seorang Mus’ab pastinya bukan pengorbanan yang Cuma-Cuma.

Beranjak dari penjelasan di atas, era millenial seperti saat ini, momentum Hari pahlawan diperingati 10 November yang menjadi pertanyaan, kita sebagai masyarakat baik orang tua, guru dan masyarakat lainnya, apa yang sudah kita korbankan untuk negeri dan agama ini? Layakkah kita disebut pahlawan? Wallahu Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq.

Penulis adalah Dosen IAI Al-Aziziyah Samalanga, Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga serta Ketua PC Ansor Pidie Jaya.

  • Bagikan