Reformasi Birokrasi Melalui Fungsionalisasi

  • Bagikan
<strong>Reformasi Birokrasi Melalui Fungsionalisasi</strong><strong></strong>

Oleh Aulia Akbar

Praktik penyetaraan yang dilakukan saat ini masih berdasarkan pada nomenklatur instansi semata dan mengabaikan kompetensi secara individu. Idealnya, instansi yang menjadi pelaksana kebijakan ini melakukan penempatan dan kompetensi ASN di unit kerjanya sebelum penyetaraan dilakukan, namun hal ini tidak terjadi

Topik penyetaraan jabatan administrasi atau struktural ke jabatan fungsional menjadi salah satu isu yang paling banyak dibicarakan di internal Aparatur Sipil Negara (ASN) sepanjang dua tahun terakhir. Kebijakan penyetaraan ini merupakan implementasi reformasi birokrasi untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) melalui penyederhanaan jabatan administrasi di setiap instansi pemerintahan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 28 Tahun 2019 dan dilanjutkan dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 Tahun 2021 tentang Penyetaraan Jabatan Administrasi ke dalam Jabatan Fungsional.

Dari kebijakan ini, diharapkan dapat tercipta struktur birokrasi yang lebih dinamis, efektif, efisien, dan profesional untuk mendukung kinerja pelayanan pemerintah kepada masyarakat di semua kementerian/lembaga termasuk pemerintah provinsi/kabupaten/kota.

Pro Kontra

Menyikapi kebijakan ini, tentu saja ada ASN yang pro dan ada pula yang kontra. Pihak yang pro dengan kebijakan ini berpendapat bahwa karir di jabatan fungsional memberikan cukup banyak keuntungan. Misalnya saja, dari sisi karier lebih jelas, dari sisi kenaikan pangkat/golongan dapat jauh lebih cepat dibandingkan dengan jabatan administrasi, dan dari sisi batas usia pensiun juga bertambah. Disamping itu, ASN diberi ruang untuk berinovasi dan mengembangkan kompetensi yang dimilikinya dan tidak terjebak pada tugas-tugas rutin dan monoton yang biasa dialami oleh ASN ketika mengemban jabatan administrasi.

Pihak yang kontra merupakan ASN yang selama ini berkarir di jabatan administrasi dan merasa terusik zona nyamannya. Mereka cenderung enggan dengan perubahan drastis setelah sekian dekade merasakan nyamannya berada di jabatan administrasi. Belum lagi dampak psikologis yang dirasakan setelah penyetaraan, karena ‘prestise’ jabatan administrasi yang terkesan lebih mentereng dibanding jabatan fungsional, mengakibatkan banyak yang tidak menghendaki dan siap dengan perubahan ini. Sudah bukan rahasia lagi bahwa di kalangan ASN, jabatan fungsional masih dipandang sebelah mata. Proses mutasi dan promosi yang mewarnai dinamika pergantian jabatan pimpinan tinggi dan jabatan administrasi jauh lebih menarik untuk diperbincangkan daripada kenaikan jenjang seorang ASN ke jabatan fungsional yang lebih tinggi.

Sebagai ilustrasi, ketika mendengar nama jabatan administrasi ‘Kepala Bidang Infrastruktur dan Kewilayahan’ dibandingkan dengan nama jabatan fungsional ‘Perencana Ahli Madya’’, kira-kira jabatan mana yang jenjangnya lebih tinggi dan lebih dihormati? Hampir semua orang yang penulis beri pertanyaan ini menjawab bahwa nama jabatan yang pertama terkesan lebih prestisius dan berwibawa. Padahal pangkat dan kelas jabatan dari masing-masing jabatan tersebut mungkin sama atau tidak jauh berbeda. Dari sisi penghasilan pun demikian. Stigma jabatan fungsional sebagai jabatan kelas dua ini sudah kadung melekat di benak sebagian besar ASN kita. Inilah yang memicu rendahnya minat ASN untuk memilih berkarir melalui jabatan fungsional.

Terbentuknya stigma ini tidak terlepas dari budaya kepemimpinan tradisional yang selama ini berkembang di tanah air. Dalam falsafah Jawa misalnya, masyarakat Jawa menilai kekuasaan sebagai sesuatu yang agung dan keramat yang bersumber dari Sang Mahakuasa. Dengan demikian, kekuasaan hanya dapat diampu oleh manusia terpilih yang memiliki daya kekuatan sehingga mampu menyandang atau duduk di posisi pemimpin (Yasasusastra, 2011). Di kebudayaan Minangkabau, kepemimpinan dilaksanakan oleh para penghulu yang memiliki sifat bijaksana dan gemar bermufakat. Sifat yang dimiliki para penghulu ini menjadi falsafah dasar kehidupan masyarakat Minangkabau yaitu kebersamaan, bersama untuk bermufakat dan bersama pula untuk membuat kebijakan (Suryami, 2014). Dari dua contoh tadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa kepemimpinan dan menjadi pemimpin dipandang sebuah capaian prestatif yang tidak dapat diraih oleh sembarang orang. Pandangan ini memotivasi orang untuk berlomba-lomba menjadi pemimpin dan menduduki posisi-posisi penting dalam struktural kepemimpinan, baik di instansi pemerintah maupun non-pemerintah. Dalam konteks birokrasi kita, menduduki jabatan administrasi sering dipandang memiliki keunggulan dibanding duduk di jabatan fungsional karena luasnya pengaruh dan wewenang yang dimiliki.

Teori vs Implementasi

UU Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN menyebutkan tiga jenis jabatan yang dapat diemban oleh seorang ASN, yaitu jabatan pimpinan tinggi, jabatan administrasi, dan jabatan fungsional. Peran pejabat pimpinan tinggi dan pejabat administrasi lebih fokus pada fungsi manajemen dengan pola kerja yang menerapkan dikotomi staf dan pimpinan. ASN yang duduk di jabatan pimpinan tinggi dan jabatan administrasi memiliki kewenangan untuk mengatur, mendelegasikan tugas dan kerja pegawai yang berada di bawah kendalinya untuk mencapai tujuan organisasi. Sementara staf memiliki kewajiban untuk mengikuti arahan dan perintah dari pimpinan.

Kebijakan penyetaraan jabatan mengharuskan perubahan pola pikir pimpinan dan bawahan dalam dunia jabatan administratif. Dalam konteks hubungan antara jabatan administrasi dan jabatan fungsional, tidak terdapat terminologi pimpinan dan staf, yang ada adalah rekan kerja yang menjalankan tugas dan fungsi sesuai dengan jabatan administrasi ataupun keahlian jabatan fungsionalnya masing-masing serta sama-sama bertanggung jawab langsung kepada pimpinan tinggi.

Pada tataran implementasi, kebijakan ini masih belum sepenuhnya berhasil. Sistem birokrasi yang berjalan saat ini masih menggunakan pola lama yang membutuhkan penelaahan berjenjang dan kinerja bertahap. Akibatnya hampir semua pejabat yang mengalami penyetaraan tetap harus menjalankan peran selayaknya masih menjabat jabatan administrasi. Dengan kata lain, mereka masih diberikan kewenangan dan tanggung jawab dalam bidang tertentu sebagaimana yang melekat pada jabatan sebelumnya. Kondisi ini tentu menambah beban pejabat yang terdampak penyetaraan. Di satu sisi, mereka harus beradaptasi dan mengikuti iklim kerja jabatan fungsional yang berbasis kinerja perorangan dengan bukti pengumpulan angka kredit. Di sisi lain, mereka tetap diberi beban, tanggung jawab serta peran sebagaimana jabatan struktural yang sebelumnya dijabat. Kebijakan penyetaraan ternyata belum bisa mengubah paradigma lama. Praktik yang berjalan sehari-hari di berbagai kantor pemerintahan masih menerapkan relasi staf dan pimpinan antara pejabat fungsional dan pejabat administrasi.

Di samping itu, praktik penyetaraan yang dilakukan saat ini masih berdasarkan pada nomenklatur instansi semata dan mengabaikan kompetensi secara individu. Idealnya, instansi yang menjadi pelaksana kebijakan ini melakukan penempatan dan kompetensi ASN di unit kerjanya sebelum penyetaraan dilakukan, namun hal ini tidak terjadi.  Sehingga di berbagai instansi, cukup banyak pejabat fungsional yang berasal dari jabatan administrasi yang masih gamang bahkan tidak mengenal jabatan fungsional yang diembannya. Banyak juga di antara mereka yang merasa tidak memiliki pengetahuan, keahlian, atau kompetensi yang berkaitan dengan jabatan fungsionalnya.

Apa Yang Harus Dilakukan

Meskipun implementasi kebijakan ini masih jauh panggang dari api, cepat atau lambat sistem kerja di birokrasi pemerintahan pasti akan berubah. Para ASN harus siap dengan perubahan yang terjadi dengan tetap melaksanakan kewajiban dan menunjukkan kinerja terbaiknya sebagai abdi negara. Untuk itu, instansi pembina jabatan fungsional dan instansi tempat ASN bertugas memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. Instansi pembina jabatan fungsional harus menyiapkan berbagai instrumen terkait dengan persyaratan dan kompetensi jabatan fungsional, termasuk sistem dan mekanisme penilaian kinerja ASN yang menduduki jabatan fungsional. Butir-butir kegiatan yang akan dijadikan poin dalam penilaian angka kredit harus diuraikan secara jelas, mudah dipahami, dan bisa dilaksanakan.

Instansi tempat ASN bertugas bertanggung jawab untuk meningkatkan kompetensi para ASN agar memenuhi bidang tugas, kebutuhan, dan persyaratan jabatan. Di samping itu, pimpinan instansi harus mau bersikap terbuka, melakukan sosialisasi, dan membangun komunikasi dengan ASN agar proses transisi penyetaraan jabatan administrasi ke jabatan fungsional ini dapat terlaksana dengan baik. Kita berharap muara dari semua upaya ini adalah meningkatnya kualitas layanan dan manfaat terbaik bagi masyarakat, ketika para ASN yang terdampak kebijakan penyetaraan ini dapat betul-betul paham, komit, dan mampu untuk melaksanakan tugas-tugas fungsional yang diembannya. Insya Allah.

Penulis Pegawai Bappedalitbang Kab. Deliserdang.

Menyoal PT SMGP Si Pencabut Nyawa

Oleh Eka Putra Zakran, SH MH

Ibarat orang yang sedang mengalami sakit parah, akut dan/atau komplikasi (complicated), maka harus diberikan obat yang mujarab atau setidak-tidaknya dilakukan tindakan operasi besar, sebut saja misalnya amputasi

Keberadaan PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP) yang berlokasi di Desa Sibanggor Julu, Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara, akhir-akhir ini terus menjadi sorotan dan perbincaan publik, baik di tingkat lokal maupun nasional. Hal ini bukan tak beralasan, mengingat seringnya PT SMGP berulah, sehingga masyarakat setempat acap kali menjadi korban, baik korban jiwa maupun yang dilarikan ke rumah sakit, akibat keracunan yang di duga berasal dari kegiatan PT SMGP yang berada di Wilayah Hukum Polres Mandaiing Natal (Madina).

Perbicaraan mengenai keberadaan PT SMGP yang berulang menelan korban tersebut bukan lagi sebatas perbincangan di masyarakat awam, namun sudah menyeruak ke ruang publik, baik itu DPRD Madina, Pemda Madina, Pemrov Sumut bahkan dalam Rapat Dengan Pendapat (RDP) di Komisi III DRR RI juga sudah pernah di bahas, artinya sudah bersifat skala nasional. Akan tetapi hingga saat ini belum mendapatkan hasil yang positif dalam rangka memitigasi dampak, menyelesaikan dan mencegah terjadinya kerugian yang lebih fatal, baik berupa kerugian materiil maupun immateriil. Dalam beberapa kesempatan penulis sering menyatakan bahwa keberadaan PT SMGP di Sibanggor Julu, lebih besar mudhorat (dampak buruknya) dari pada maslahat (kebaikannya), khususnya bagi warga setempat.   

Peristiwa atau kejadian berulang dalam kasus keracunan warga di Desa Sibanggor Julu, bukan kali pertama, namun berdasarkan keterangan yang penulis himpun dari masyarakat dan informasi yang beredar di berbagai media cetak maupun elektronik, kejadian serupa memang terus saja terjadi secara beruang. Tidak sedikit warga yang menjadi korban, ada yang sekedar dilarikan ke rumah sakit, bahkan beberapa warga yang menjadi korban juga ada yang meninggal dunia. Cerita yang penulis sampaikan bukan hanya sekedar ide, gagasan atau narasi-narasi hampa, melainkan sebuah peristiwa yang aktual dan faktual, melainkan sungguh-sungguh dan benar-benar terjadi. Pendeknya, melalui pendekatan empiris pun bisa dibuktikan fakta-fakta peristiwa yang terjadi di lapangan.

Peristiwa naas dan berulang yang menyebabkan warga Desa Sibanggor Julu menjadi korban keracunan karena di duga menghirup Hidrogen Sulfida (H2S) akibat bocornnya pipa gas milik PT SMGP tidak boleh dibiarkan begitu saja atau dipandang sebelah mata, akan tetapi harus menjadi perhatian serius dari semua pihak, mulai dari tokoh masyarakat, Pemda setempat, Pemprov Sumut dan termasuk Pemerintah Pusat. Artinya, jangan di nilai dari aspek usaha, bisnis atau investasinya saja, lalu kemudian mengabaikan aspek-aspek lain seperti aspek sosial, hukum, kesehatan, kemanusiaan dan keselamatan warga negara.

Dalam dua tahun terakhir (2021-2022) penulis telah mencatat, setidaknya sudah 5 (lima) kali peristiwa yang menelan korban ini terjadi. Jika diurut, kejadian pertama sekitar 25 Januari 2021, sedikitnya 5 warga meninggal dunia dan puluhan warga dilarikan ke rumah sakit, berikutnya 6 Maret 2022, sedikitnya 57 warga dilarikan ke rumah sakit. Selanjutnya, 24 April 2022 peristiwa serupa terjadi lagi, 21 warga dilarikan ke rumah sakit. Kemudian tanggal 16 September 2022, sedikitnya 8 warga keracunan termasuk anak kecil juga dilarikan ke rumah sakit dan kemarin 27 September 2022 kejadian serupa terjadi lagi, terupdate 79 warga keracunan dan dilarikan ke rumah sakit. Pendeknya terus berulang, sebab itulah muncul pertanyaan mengapa peristiwa naas ini terus berulang?

Pertanyaan besar ini merupakan suatu tantangan yang harus dicarikan jawaban serta jalan keluar atau solusinya, agar tidak menjadi bias, sehingga aspek-aspek yang saya sebutkan di atas tadi secara keseluruhannya merupakan Hak Asasi Manusia (HAM), seperti hak warga negara untuk mendapatkan jaminan hidup layak dan tenang, hak untuk mendapatkan kesehatan, kemanusian dan keselamatan tidak bisa di tawar-tawar lagi, karena seluruh hak-hak tersebut secara tegas dilindungi oleh Undang-Undang (UU). Sebab itu tidak ada alasan, justru semua pihak harus memberikan jaminan bahwa kasus serupa tidak boleh lagi terjadi, apalagi jaminan perlindungan HAM bersifat universal. Nah, dalam konteks inii jaminan tersebut menjadi skala prioritas diberikan kepada masyarakat Desa Sibanngor Julu yang notabene terdampak secara langsung dan berulang kali menjadi korban “keganasan” PT SMGP yang beroperasi di Kabupaten Madina “bak malaikat pencabut nayawa” tersebut.

Secara kasat mata tak dapat di tampik lagi, kasus terbaru terjadi pada tanngal 26 September 2022, total warga yang keracunan akibat kebocoran pipa gas PT SMGP berjumlah 79 orang. Sebanyak 36 orang dirawat di RSUD Panyabungan dan 44 dirawat di RS Permata Madina, sedangkan 8 lainnya diperbolehkan pulang dengan status pasien rawat jalan. Data ini diperkuat dengan pernyataan yang disampaikan oleh Kapolres Madina AKBP Muhammd Reza Chairul Akbar Sidiq pada Rabu 28 Septeber 2022 di Madina. Oleh karena, kejadian yang berulang ini, tak berlebihan kiranya bila penulis berpendapat bahwa untuk menjamin hak hidup layak, kesehatan, kemanuasian dan keselamatan warga Sibanggor Julu, Sibanggor Tonga dan sekitarnya, sangat layak agar izin operasional PT SMGP di cabut.

Ibarat orang yang sedang mengalami sakit parah, akut dan/atau komplikasi (complicated), maka harus diberikan obat yang mujarab atau setidak-tidaknya dilakukan tindakan operasi besar, sebut saja misalnya amputasi. Sehingga dengan mengamputasi organ yang sudah akut tersebut menjadi jalan atau solusi agar penyakit yang akut tersebut tidak menjalar dan berdampak sistemik keseluruh organ tubuh lainnya. Sebaliknya, jika tindakan besar tidak dilakukan, maka lambat laun seluruh organ lainnya akan rontok.

Sepintas lalu, tidak bisa dibayangkan mengapa peristiwa kebocoran pipa gas milik PT SMGP ini terus berulang, apakah ada unsur sengaja dari pihak manajemen atau pengelola, sehingga tidak dimitigasi sejak dini dampak buruk yang akan terjadi guna menghindari kasus serupa berulang. Nah, untuk mejawab ini tentu sangat diperlukan investigasi secara menyeluruh (komprehensif) dan mendalam dari pejabat terkait atau pejabat yang berwenang.

Berangkat dari sejumlah rangkaian peristiwa demi peristiwa yang terjadi, maka patut di duga bahwa PT SMGP telah melakukan kelalaian atau kekurang hati-hatian bahkan lebih dari itu, telah terjadi pelanggaran, baik secara perdata, pidana dan pelanggaran terhadap UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingungan Hidup (UUPPLH). Dalam UUPPLH disebutkan bahwa setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang berdampak atau menimbulkan kerugian terhadap orang lain dan/atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi atau tindakan tertentu lainnya kepada masyarakat yang dirugikan tersebut. Mengenai kejahatan pidana yang diatur dalam UUPLH dikenal pula dengan istilah “rechdelictum”, hal ini dimaknai bahwa level perbuatan tercelanya di atas pelanggaran.

Penegakan Hukum Dan Sanksi

Penegakan hukum lingkungan hidup merupakan suatu upaya untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum lingkungan hidup yang berlaku melalui pengawasan dan pemberian rekomendasi tindak lanjut. Penegakan hukum berupa penerapan sanksi tersebut, diantranya sanksi administrasi, perdata dan pidana. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 500 ayat (94) PP Nomor 22 tahun 2021.

Dalam penerapannya, sanksi administrtaif merupakan suatu instrumen yang bersifat pencegahan (preventif) dan dilakukan tanpa melalui prsoses persidangan (yudisial). Hal ini dimaksudkan agar prosesnya dapat berjalan lebih efesien dari segi waktu dan efektif dari segi hasil, jika dibandingkan dengan penegakan hukum secara perdata maupun pidana, karena jelas akan membutuhkan proses dan waktu yang lebih lama. Namun demikian, secara tegas perlu disampaikan bahwa penerapan sanksi adminstratif bukan menutup kemungkinan untuk dilakukannya penegakan hukum secara refresif (pidana). Apabila dampak dari suatu pelanggaran yang dilakukan oleh penanggung jawab usaha meliputi wilayah dan jumlah penduduk yang sangat signifikan dan mengancam secara serius bagi kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Langkah persuasif dalam koridor penegakan hukum lingkungan dikenal dengan istilah “ultimum remedium”. Hal ini dimaknai bahwa penerapan sanksi pidana merupakan langkah yang terakhir dalam rangka memberi efek jera dan ketaatan bagi pelaku usaha. Dengan kata lain, sepanjang pelanggaran terhadap ketentuan dalam bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup masih dapat dikendalikan dengan cara yang bersifat administratif, akan tetapi sebaliknya jika tidak, tentu sanksi perdata dan pidana menjadi langkah strategis untuk dilakukan agar para pelaku usaha tunduk dan patuh pada ketentuan hukum yang berlaku.

Selanjutya, melangkah ke Pasal tentang kelalaian, kesalahan, kekurang hati-hatian atau kealpaan yang dalam hukum pidana dikenal dengan istiah “culpa”. Ketentuan ini terdaat dalam Pasal 359 KUHP yang menyatakan: “barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebakan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”.

Berbicara mengenai teori hukum pidana, peristiwa pidana atau yang lebih dikenal dengan istilah “strafbaarfeit’ merupakan kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum dan yang dapat berhubungnan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Kesalahan yang dimaksudkan tersebut meliputi unsur sengaja (dolus) dan unsur kealpaan atau kelalalian (culpa). Di Indonesia memang UU tidak memberikan definisi secara spesipik tentang culpa, namun terkait kealpaan atau kelaiaian yang mengakibatkan kematian bagi orang lain sepenuhnya di atur dalam Pasal 359 KUHP sebagaimana tersebut di atas.

Terkait dengan maksud Pasal 359 KUHP, R. Soesilo menafsirkan bahwa kematian sebenarnya tidak dimaksudkan sama sekali oleh pelaku, namun kematian tersebut hanya merupakan akibat kekurang hati-hatian atau kelalain dari si pelaku. Nah, dalam konteks peristiwa yang menyebakan meninggalnya warga akibat bocornya pipa Gas milik PTSMG yang beropersai di Desa Sibanggor Julu, menurut hemat penulis unsur culpa ini sejatinya sudah terpenuhi.

Dalam Pasal 112 UUPPLH dinyatakan: “Setiap pejabat berwenang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab uasaha dan atau kegiatan peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada Pasal 71 dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).

Selanjutnya, berkaitan dengan hak untuk hidup sebagai hak yang paling mendasar bagi setiap manusia, maka sifat keberadaan hak ini tidak dapat di tawar-tawar lagi. Hak ini disebut juga dengan non derogale rihts. Berikut ini dapat dicermati ketentuan UU mengenai hak untuk hidup, diantaranya: Pasal 28A UUD1945 secara tegas menyatakan: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Sementara dalam Pasal 28I ayat (1) ditegaskan pula bahwa: “hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapaun”.

Sementara itu, Pasal 9 ayat (1) UU HAM secara tegas disebutkan pula bahwa: “Setiap orang berhak untuk hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”. Bahkan dalam penjelasan Pasal 9 UU HAM ini dikatakan hak atas kehidupan melekat pada bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. Nah, dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa, yaitu demi kepentingan hidup ibunya, misalnya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Artinya, khusus terhadap dua hal ini hak untuk hidup dapat itu di batasi, selebihnya tak boleh.

Penutup

Dari beragam peristiwa berantai yang terjadi secara berulang-ulang di Desa Sibangghor Julu, kepada Pemerintah diharapkan dapat mengambil tindakan tegas dan memberi sanksi kepada PT SMGP yang beroperasi secara brutal, “bak malaikat pencabut nyawa” tersebut, agar dicabut izin operasionalnya, mengingat bahwa hak hidup, hak untuk mendapatkan kesehatan, kemanusiaan dan keselamatan bagi setiap warga negara jauh lebih penting mendapat jaminan dari negara dari pada sekedar untuk mendapat niai (value) hasil investasi dari PT SMGP tersebut.

Penulis bukan bermaksud untuk menafikan betapa pentingnya nilai investasi, akan tetapi jika keberadaan suatu usaha atau kegiatan investasi yang dilakukan oleh para penanggung jawab usaha telah mengabaikan aspek sosial, hukum, kesehatan, kemanusian dan keselamatan jiwa masyarakat, maka patut dipertimbangkan agar kegiatan tersebbut di tutup, karena hanya akan membawa kesengsaraan atau penderitan serta kerugian bagi warga masyarakat di sekitarnya. Semga menjadi perhatian!!!.    

Penulis adalah Ketua Umum PB PASU.

  • Bagikan