Reformasi Kepolisian

  • Bagikan
Reformasi Kepolisian

Oleh Shohibul Anshor Siregar

Apakah dimungkinkan reformasi Kepolisian untuk meningkatkan kemampuan penanganan berbagai bentuk kekerasan struktural dan kekerasan budaya? Apa tantangannya?

Kekerasan struktural dan kekerasan budaya adalah dua bentuk kekerasan yang seringkali disembunyikan, dinormalisasi, atau dibenarkan oleh struktur sosial dan norma budaya yang dominan. Kekerasan struktural mengacu pada kerugian atindasan sistematis yang menimpa kelompok masyarakat tertentu akibat distribusi kekuasaan, sumber daya, dan peluang yang tidak merata. Kekerasan budaya mengacu pada aspek kekerasan simbolik atau diskursif yang melegitimasi atau memperkuat kekerasan struktural, seperti ideologi, narasi, stereotip, atau prasangka.

Menurut berbagai kajian, salah satu tantangan utama dalam menangani kekerasan struktural dan budaya adalah peran polisi, baik sebagai pelaku maupun penegak hukum. Memang, di banyak negara, polisi sering dituduh melakukan tindakan bias, yang berarti mereka menargetkan, melecehkan, atau mendiskriminasi kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, etnis, agama, gender, seksualitas, atau kelas.

Misalnya, Rothstein (2017) menggali sejarah undang-undang perumahan dan kebijakan pemerintah yang secara sistematis menciptakan segregasi rasial di Amerika Serikat. Dampak perumahan dan urbanisasi terhadap ketidaksetaraan rasial terus melaju.

Pada pihak lain Hall, Critcher, Jefferson, Clarke, dan Roberts (1978) menyelidiki hubungan antara politik, media, dan tindakan polisi dalam menanggapi isu “mugging” (begal?) di Britania Raya pada tahun 1970-an. Para penulis menawarkan diskusi konsep “penjahatan moral” dan bagaimana tindakan polisi lazimnya potensil menciptakan ketidaksetaraan sosial.

The New Jim Crow: Mass Incarceration in the Age of Colorblindness (Alexander, 2010) menyoroti sistem keadilan pidana di Amerika Serikat dan bagaimana kebijakan ini dapat menyebabkan ketidaksetaraan rasial, dengan menekankan dampak pada komunitas kulit hitam.

Dalam Are Prisons Obsolete? yang ditulis Davis (2003) didiskusikan isu-isu sistem peradilan pidana dan penjara di Amerika Serikat, termasuk kebijakan yang dapat dianggap mendiskriminasi kelompok tertentu.

Sedangkan dalam The End of Policing (Vitale, 2017) dipertanyakan secara kritis tentang apakah polisi saat ini memainkan peran yang positif dalam masyarakat dan menawarkan diskusi alternatif kebijakan dan solusi untuk menangani masalah sosial tanpa penekanan pada setiap penegakan hukum.

Lila Abu-Lughod (2013) mengkritisi pandangan Barat tentang Muslimah sebagai korban yang perlu diselamatkan. Karya ini berusaha menyelidiki bagaimana intervensi kepolisian dan pekerja sosial dapat menciptakan ketidaksetaraan dan ketidakadilan.

Reformasi Kepolisian

Punishment and Inequality in America (Western, 2006) menyelidiki ketidaksetaraan dalam sistem pidana Amerika Serikat, dengan fokus pada dampak terhadap kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat.

Semua literatur yang ditunjukkan secara umum mengaffirmasi bahwa pemolisian yang bias dapat mengakibatkan penggunaan kekuatan yang berlebihan, penangkapan palsu, hukuman yang salah, atau bahkan pembunuhan di luar proses hukum.
Selain itu soal akuntabilitas sebagai kebutuhan penelitian terkini, isu-isu terbar dalam ranah tata kelola dan akuntabilitas, budaya kerja dan peran budaya dalam pekerjaan polisi saat ini, dan bagaimana berkomunikasi melalui media sosial dengan cara yang peka budaya, telah mendapat sorotan perhatian dengan baik (Walker, 2007; Wals & Conway, 2011; Louis & Grantham, 2019; Charman, 2017; Reiner, 2017; Pinette, 2020; dan Richards, 2022).

Karena itu banyak dugaan bahwa polisi seringkali dilindungi oleh kurangnya akuntabilitas, yang berarti bahwa mereka jarang dimintai pertanggungjawaban atas kesalahan atau penyalahgunaan kekuasaan mereka. Polisi mungkin mempunyai kekebalan hukum, dukungan institusional, pengaruh politik, atau simpati publik yang melindungi mereka dari penuntutan atau hukuman.

Selain itu, polisi mungkin kurang memiliki kepekaan budaya, yang berarti bahwa mereka tidak menghormati atau memahami beragam nilai, kepercayaan, praktik, atau kebutuhan masyarakat yang mereka layani. Ketidakpekaan budaya dapat menyebabkan benturan budaya, kesalahpahaman, atau ketidakpercayaan antara polisi dan masyarakat.

Apa yang harus dilakukan untuk mengatasi tantangan-tantangan ini? Reformasi kepolisian diperlukan untuk meningkatkan kemampuan penanganan terhadap berbagai bentuk kekerasan struktural dan budaya.

Reformasi kepolisian dapat mencakup langkah-langkah seperti melaksanakan pelatihan dan pendidikan anti-bias bagi polisi untuk meningkatkan kesadaran dan mengurangi prasangka mereka (Feigenberg & Glaser, 2021). Membangun mekanisme pengawasan dan peninjauan independen bagi polisi untuk memantau kinerja mereka dan menyelidiki pengaduan terhadap mereka (James, James, Mitchell, 2023).

Meningkatkan keterlibatan dan partisipasi masyarakat bagi kepolisian untuk membangun kepercayaan dan kerja sama dengan Masyarakat (Asquith & Theron, 2021). Mempromosikan keberagaman dan inklusi bagi kepolisian untuk mencerminkan dan menghormati keberagaman sosial dan budaya Masyarakat (Miles-Johnson, 2022; Long, 2021).

Beberapa kisah yang dapat dipetik dari berbagai negara menunjukkan bahwa, misalnya, sebagian besar departemen polisi di AS telah mengimplementasikan pelatihan anti-bias yang bertujuan untuk membantu petugas mengenali dan mengurangi bias bawah sadar mereka. Namun, penelitian menunjukkan bahwa pelatihan semacam itu tidak efektif dalam mengubah perilaku polisi atau mengurangi ketimpangan rasial dalam penangkapan, penggunaan kekerasan, dan hasil lainnya. Pelatihan yang lebih fokus pada keadilan prosedural dan hubungan masyarakat dapat lebih bermanfaat dalam membangun kepercayaan antara polisi dan komunitas yang mereka layani.

Di Inggris telah diadopsi pendekatan yang disebut Stop and Search untuk mengatasi bias rasial dalam pemeriksaan orang di jalan. Stop and Search adalah kebijakan yang digunakan dengan beberapa poin penting, di antaranya polisi memiliki wewenang untuk menghentikan dan mencari individu atau kendaraan jika mereka memiliki “alasan yang masuk akal” untuk mencurigai bahwa orang tersebut membawa obat-obatan ilegal, senjata, barang curian, atau sesuatu yang bisa digunakan untuk melakukan kejahatan.

Seorang petugas polisi dapat menghentikan dan mencari seseorang tanpa alasan yang masuk akal jika hal itu telah disetujui oleh seorang petugas polisi senior. Sebelum diperiksa, petugas polisi harus memberi tahu nama mereka dan stasiun polisi, apa yang mereka harapkan untuk temukan, alasan mereka ingin mencari, dan mengapa mereka secara hukum diizinkan untuk mencari. Seorang petugas polisi dapat meminta untuk melepas mantel, jaket, atau sarung tangan terperiksa. Polisi mungkin meminta untuk melepas pakaian lain dan apa pun yang terperiksa kenakan untuk alasan agama, misalnya cadar. Jika petugas ingin melepas lebih dari jaket dan sarung tangan, mereka harus berjenis kelamin yang sama dengan terperiksa. Diperiksa tidak berarti sedang ditangkap.

Pendekatan ini melibatkan pelatihan petugas untuk menggunakan bukti yang obyektif dan rasional dalam menghentikan dan menggeledah seseorang, serta memberikan penjelasan yang baik dan sopan kepada orang yang diperiksa. Selain itu, polisi Inggris juga menggunakan sistem pemantauan dan evaluasi untuk mengukur dampak dari Stop and Search terhadap komunitas minoritas.

Polisi Indonesia mungkin belum memiliki program pelatihan anti-bias yang khusus atau sistematis. Namun, beberapa inisiatif telah dilakukan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman polisi tentang hak asasi manusia, keragaman, dan inklusi. Misalnya, pada tahun 2019, Polri bekerja sama dengan Komnas HAM dan UNDP untuk menyelenggarakan pelatihan tentang perlindungan hak asasi manusia bagi beberapa polisi wanita. Selain itu, pada tahun 2020, Polri juga mengadakan pelatihan tentang penegakan hukum yang berkeadilan gender bagi beberapa petugas polisi dari berbagai satuan.

Indonesia memiliki satu kepolisian nasional yang terpisah dari angkatan bersenjata sejak tahun 1999. Ada beberapa upaya untuk mereformasi polisi, termasuk dengan memberikan pelatihan hak asasi manusia dan inisiatif polisi masyarakat. Namun, polisi masih dianggap sebagai lembaga yang korup dan tidak dipercaya oleh masyarakat. Salah satu masalah utama adalah kurangnya mekanisme akuntabilitas polisi yang efektif, baik internal maupun eksternal. Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam), yang bertugas menangani keluhan terhadap polisi, sering kali tidak transparan, tidak profesional, dan tidak independen. Selain itu, tidak ada badan pengawas polisi independen yang dapat menjamin penegakan hukum dan perlindungan hak korban.

Reformasi-reformasi ini, meskipun sulit untuk dilaksanakan, dapat secara signifikan meningkatkan kemampuan polisi untuk mengadili berbagai bentuk kekerasan struktural dan budaya. Namun, penting untuk dicatat bahwa hal ini hanyalah solusi potensial, dan efektivitas reformasi ini mungkin berbeda-beda berdasarkan konteks dan komunitas tertentu. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan strategi reformasi kepolisian yang paling efektif dalam bidang ini.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

  • Bagikan