Sepeda

  • Bagikan
Sepeda

Oleh Budi Agustono

Dari dulu sampai sekarang Belanda adalah negeri sepeda. Di Leiden salah satu kota yang mempunyai perguruan tinggi bereputasi dunia pemakaian sepeda sangat tinggi dan digunakan siapa saja tanpa perbedaan kelas sosial

Di masa kolonial Belanda tidak semua orang bisa menggowes sepeda. Hanya orang tertentu saja yang mampu mengendarai sepeda, terutama kalangan terpelajar berpunya. Tidak semua mampu lantaran seoeda di waktu itu menjadi pertanda gengsi sosial dan diiklankan di koran-koran kertas berbahasa Belanda dan Melayu.

Jenis sepeda ada yang untuk laki-laki dan perempuan dengan model yang berpeda pula. Mengayuh sepeda memerpendek jarak tempuh dari satu tempat ke tempat lain sehingga memercepat waktu sampai ke tujuan.

Dalam masyarakat kolonial di wilayah tertentu penyepeda tidak sembarangan dapat leluasa melewati petinggi kolonial jika berpapasan di jalan. Bila sedang bersepeda bertemu dengan petinggi kolonial melaju tanpa memerhatikan dengan siapa bertemu dianggap mengganggu keamanan dan ketertiban kekuasaan.

Jarak sosial antara penjajah berkulit putih dengan orang terhajah betwarna sawo matang sangat pekat. Jarak sosial yang melebar terlihat kuat di perkebunan-perkebunan besar. Jika pribumi berkendaraan sepeda berpapasan dengan pembesar kebon bila bersepeda harus turun dari sepeda, membungkuk dan tanpa boleh menatap wajah pembesar kebon (administratur atau asisten) sampai menjauh. Jika pembesar kebon itu menjauh dari pandangan mata barulah penyepeda bangkit dibolehkan menunggang kembali sepedanya.

Itulah sistem kolonial bertakuk-takuk yang ditanamkan Belanda ke masyarakat Hindia Belanda. Sejatinya masyarakat global telah lama mengenal sepeda. Mulanya sepeda pertama kali dirancang tahun 1815 di Jerman perlahan bentuk dan modelnya disempurnakan dan paruh ketiga abad kesembilan belas sepeda menjadi moda transportasi digunakan orang, walaupun belum bisa diakses publik secara luas.

Bersepeda tidak saja membuat tubuh sehat juga menjadi alat transportasi dipakai orang banyak. Malah dalam cabang olah raga sepeda dipertandingkan. Di berbagai kejuaraan di nasional dan dunia (Olimpiade) yang menangkan pertandingan sepeda diberi hadiah perunggu, perak dan emas.

Meski sepeda dipertandingkan di kejuaraan olah raga bergengsi tapi makin hari seoeda hanya diperlombakan di arena olah raga. Dalam keseharian masyarakat di seluruh pelosok negeri ini sepeda tidak lagi sebagai kendaraan merakyat. Sepeda kian tersingkir dari kehidupan keseharian masyarakat.

Hal ini disebabkan makin membaiknya pendapatan masyarakat yang tadinya memiliki sepeda berganti ke sepeda motor. Sepeda motor memerpendek jarak tempuh dengan kecepatan tinggi ditambah lagi bombardir iklan sepeda motor yang membuat tergoda membelinya menjadi pilihan memiliki sepeda motor.

Dalam pandangan masyarakat sepeda motor lebih bergengsi ketimbang sepeda motor. Hanya nun jauh di perkampungan sepeda masih terlihat dipakai. Di perkotaan tidak ada lagi yang berkendaraan sepeda lama. Kalaupun ada sepeda lama atau onthel bukannya dipakai keseharian melainkan menjadi koleksi pribadi untuk keperluan aktivitas komunitas yang digunakan untuk perayaan hari besar.

Sedangkan kebanyakan seoeda yang berseliweran di kota adalah sepeda bermodel modern atau sepeda balap yang digunakan menggowes berolah raga bersama komunitas lainnya. Di luar jenis ini tak ada lagi memakai sepeda. Kalaupun terlihat sepeda onthel dipajang di cafe dan hotel untuk asesoris interior yang memerlihatkan keantikan sepeda mengingatkan masa lalu.

Ada juga yang bersepeda model kekinian harganya mencapai puluhan juta yang dipertontonkan orang berpunya jika ada perhelatan hari tertentu. Jika pengguna sepeda di republik ini terlihat berdasar kelas sosial, bagaimana di Belanda.

Dari dulu sampai sekarang Belanda adalah negeri sepeda. Di Leiden salah satu kota yang mempunyai perguruan tinggi bereputasi dunia pemakaian sepeda sangat tinggi dan digunakan siapa saja tanpa perbedaan kelas sosial. Hampir setiap rumah ada sepeda. Ke tempat kerja, berbelanja, bepergian jarak dekat, mahasiswa kuliah, pelajar bersekolah saban hari terlihat bersepeda.

Pun orang yang rapi memakai jas, dasi dan menenteng tas kerja atau juga pengajar Universitas Leiden yang berdiri di tahun 1500an itu dan pegawai kantoran apalagi mahasiswa sarjana, master dan doktoral lebih suka bersepeda. Bersepeda tidak mengeluarkan biaya dan membuat sehat. Bersepeda tak membuat turun status sosial apalagi dipandang sebelah mata.

Bersepeda juga menunjukkan kota memberi rasa aman, nyaman dan nenyenangkan, meskipun di malam. Di Belanda seperti di Den Haag, Leiden dan Anasterdam ibu kota Belanda suasana kota yang seperti ini membuat masyarakat menyukai bersepeda. Karena itu di stasiun kereta api, bus dan tentu saja kampus-kampus halamannya dipenuhi sepeda.

Pengendara sepeda jika bepergian ke kota lain sering di parkir di stasiun bus atau bus, naik kereta tanpa membawa sepeda. Sepulang dari tujuan sepeda yang diparkir dikendarai kembali. Atau jika ke kota tujuan ingin membawa sepeda kereta api mempunyai tempat tertentu untuk sepeda.

Di masa lalu sewaktu mengkolonisasi Hindia Belanda (Indonesia sekarang) Belanda menciptakan stratifikasi sosial dalam masyarakat. Stratifikasi sosial itu membuat masyarakat Hindia menempati posisi bawah dalam bangunan masyarakat. Tersebab ditempatkan di bawah masyarakat Hindia atau pribumi mengalami pembatasan dan penjarakan sosial serta geriknya sebagai manusia dibatasi.

Orang Hindia atau pribumi tidak bisa mengunjungi fasilitas umum seperti tempat hiburan lantaran perbedaan warna kulit. Kulit putih lebih superior dari kulit berwarna. Anjing dibolehkan memasuki tempat hiburan, sedangkan orang Hindia atau pribumi tubuhnya dilarang bergabung dengan kulit putih.

Ramah

Seperti dinarasikan di atas sebagai lanjutan dari bangunan masyarakat yang terstrativikasi sosial bersepedapun mengalami hal yang sama. Jika ada petinggi kolonial kulit putih berpapasan dengan kulit berwarna, yang terakhir ini harus turun dari sepedanya. Dengan melahirkan dan menerapkan sistem sosial yang kaku dan rasis Bekanda dapat menekuk habis bangsa ini untuk menguasai dan menaklukkannya guna menyedot keuntungan ekonomi dan poliik tanpa ada pembangkangan sosial.

Berbeda dengan di negeri koloninya, di negaranya sendiri Belanda menerapkan sistem demokratis, tidak ada pelapisan sosial dan dan masyarakatbta egaliter. Tersebab itu dari dulu sampai sekarang sepeda dikendarai siapa saja tanpa pernah menyoal latar sosialnya.

Namun di negara kita berkendaraan sepeda makin dijauhi masyarakat karena pandangan masyarakat tentang posisi sosial sepeda yang tidak mempunyai tempat dalam ruang publik kota yang tidak ramah terhadap sepeda. Selain itu ada alasan struktural lain yang menjauhkan masyarakat dari seoeda sepeda. Sementara di negara maju sepeda tak mengenal sekat sosial yang dapat digubskan siapa saja. Apalagi kota memberi jalur tersendiri sepeda sehingga aman bersepeda dan lebih dari segalanya membuat sehat dan bugar pemakainya.

Penulis adalah Guru Besar Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

  • Bagikan