Sesat Pikir Penghentian Penyidikan

  • Bagikan
<strong>Sesat Pikir Penghentian Penyidikan</strong>

Oleh Putri Rumondang Siagian, SH., M.H

…dihentikannya penyidikan yang dikarenakan telah adanya upaya damai dengan niatan “untuk mengawinkan antara pelaku dan korban pemerkosaan”, bukan termasuk bagian dari restorative justice. Penggunaan restorative justice sebagai penyelesaian masalah atas dugaan kasus pemerkosaan merupakan bentuk ketidakadilan

Sesat Pikir Penghentian Penyidikan. Dugaan kasus rudapaksa yang melibatkan salah seorang oknum pegawai di Kementerian Koperasi dan UKM kian bergulir kencang di jagat social media.

Bagaimana tidak, dugaan kasus pemerkosaan yang katanya terjadi di tahun 2019 kemarin itu tampaknya telah dihentikan penyidikannya oleh aparat kepolisian.

Bahkan menurut informasi yang beredar dari dugaan kasus pemerkosaan ini telah dihentikan penyidikannya dikarenakan perkawinan yang dilakukan oleh salah seorang pelaku dengan korban.

Sungguh telah terjadi sesat pikir bilamana hal tersebut memang benar terjadi. Bagaimana mungkin perkawinan sebagai alasan dihentikannya suatu penyidikan, bahkan yang menjadi ironi mengapa korban pemerkosaan justru dikawinkan dengan pelaku untuk dapat dikatakan sebagai upaya restorative justice?

Perkawinan antara korban dengan pelaku pemerkosaan bukanlah solusi, justru malah berpotensi sebagai masalah.

Adalah logical fallacy jikalau mengatakan bahwa perkawinan antara korban dan pelaku pemerkosaan bagian dari upaya pendekatan restorative justice.

Perkawinan terhadap korban dengan pelaku pemerkosaan merupakan perbuatan yang dilarang sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPSK).

Pemerkosaan merupakan tragedi mencekam yang meninggalkan trauma mendalam. Jangankan untuk menikah, bertemu dengan pemerkosa saja dapat menimbulkan dampak psikis seperti ketakutan dan rasa tak aman bagi si korban.

Fenomena mengawinkan korban dengan pelaku dapat memunculkan impunitas bagi pelaku atas tindak kejahatan yang telah dilakukannya.

Dengan menjadikan perkawinan sebagai sebuah solusi damai, tidak menjamin kekerasan seksual yang telah ia lakukan tidak berulang dalam perkawinan yang sifatnya terpaksa.

Pendekatan restorative justice sesungguhnya berfokus pada pemulihan korban sebagai hal yang terpenting dalam upaya mencapai keadilan.

Penyelesaian perkara dengan pendekatan restorative justice bukan berarti menghilangkan  pertanggungjawaban pidana dan memaksakan korban untuk berdamai ataupun pemaksaan perdamaian antara pelaku dan korban. 

Karenanya, restorative justice tidak sama dengan mediasi, atau menikahkan korban dengan pelaku sebagai upaya mencari jalan tengah.

Adanya pendekatan tersebut justru berorientasi untuk penindakan pelaku, adanya proses hukum yang berpihak pada korban, membuat korban menjadi berdaya,

bagaimana pun harus diupayakan korban memiliki dan diberikan akses terhadap keadilan sehingga mampu menyuarakan kerugiannya, yang kemudian dapat dipertimbangkan dalam penghukuman untuk pelaku.

Harus digaris bawahi restorative justice bukanlah sebagai alasan peniadaan pidana atau sanksi atas tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku.

Memang di dalam aturan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana Pasal 12 disebutkan bahwa restorative justice dapat diberlakukan dalam proses penyidikan asalkan telah memenuhi 2 syarat yakni materiel dan syarat formil.

Syarat materiil meliputi: (1) tidak menimbulkan keresahan masyarakat atau tidak ada penolakan masyarakat; (2) tidak berdampak konflik sosial;

(3) adanya pernyataan dari semua pihak yang terlibat untuk tidak keberatan, dan melepaskan hak menuntutnya di hadapan hukum;

(4) prinsip pembatas: a) pada pelaku: yang dapat dilihat dari tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat, yakni kesalahan dalam bentuk kesengajaan; dan 2) pelaku bukan residivis; b) pada tindak pidana dalam proses.

Kemudian syarat formil diantaranya meliputi (1) surat permohonan perdamaian kedua belah pihak (pelapor dan terlapor);

(2) surat pernyataan perdamaian (akte dading) dan penyelesaian perselisihan para pihak yang berperkara (pelapor, dan/atau keluarga pelapor, terlapor dan/atau keluarga terlapor dan perwakilan dari tokoh masyarakat) diketahui oleh atasan Penyidik;

(3) berita acara pemeriksaan tambahan pihak yang berperkara setelah dilakukan penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif;

(4) rekomendasi gelar perkara khusus yang menyetujui penyelesaian keadilan restoratif; dan

(5) pelaku tidak keberatan dan dilakukan secara sukarela atas tanggung jawab dan ganti rugi.

Adapun yang menjadi alasan penghentian penyidikan berdasarkan Pasal 109 ayat (2) KUHAP dikarenakan tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum.

Terhadap penghentian penyidikan yang didasarkan dengan alasan demi hukum yakni:

(1) Nebis in idem Seseorang tidak dapat lagi dituntut untuk kedua kalinya atas dasar perbuatan yang sama, terhadap maana atas perbuatan itu orang yang bersangkutan telah pernah diadili dan telah diputus perkaranya oleh hakim atau pengadilan yang berwenang untuk itu di Indonesia, serta putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(2) Tersangka meninggal dunia Dengan meninggalnya tersangka, dengan sendirinya penyidikan harus dihentikan.

(3) Daluwarsanya tindak pidana setelah melampaui tenggang waktu tertentu, terhadap suatu tindak pidana tidak dapat dilakukan penuntutan dengan alasan tindak pidana tersebut telah melewati batas waktu atau daluwarsa, (Pasal 78 KUHP).

Dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP 3) selalu menjadi bahan tudingan dari masyarakat bahwa penegak hukum tidak serius dalam menyelesaikan suatu kasus tindak pidana.

Penghentian penyidikan merupakan kewenangan dari penyidik yang diatur dalam Pasal 109 ayat (2) Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Alasan-alasan penghentian penyidikan diatur secara limitatif dalam pasal tersebut.

Terkait tudingan dihentikannya penyidikan yang dikarenakan telah adanya upaya damai dengan niatan “untuk mengawinkan antara pelaku dan korban pemerkosaan”, bukan termasuk bagian dari restorative justice.

Pemberlakuan restorative justice dikecualikan untuk tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat presiden dan wakil presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan.

Penggunaan restorative justice sebagai penyelesaian masalah atas dugaan kasus pemerkosaan merupakan bentuk ketidakadilan.

Patut dipertanyakan bilamana perkawinan antara pelaku dan korban dipandang sebagai suatu bentuk upaya damai terhadap tindak pidana pemerkosaan. Sejak kapan perkawinan korban sebagai alasan penghentian penyidikan?

Kalau pun penyidik bersikeras menggunakan restorative justice sebagai dasar diberhentikan penyidikan ini maka sudahlah tentu perbuatan yang demikian itu sebagai bentuk sewenang-wenang.

Alasan penghentian penyidikan sejatinya digunakan untuk memenuhi rasa keadilan bukan malah mencederai rasa keadilan itu sendiri.

Besar harapan kita tudingan yang demikian tidak terjadi. Sebab kesalahan pelaku atas perbuatan rudapaksa termasuk kesalahan yang tidak ringan dengan demikian tidak memenuhi persyaratan untuk dapat dilakukannya restorative justice.

Penulis adalah Dosen Fak. Hukum USU.

  • Bagikan