Sidang “Pengadilan” Desak Anies

  • Bagikan
Sidang "Pengadilan" Desak Anies

Oleh Shohibul Anshor Siregar

Melalui sidang-sidang “pengadilan” desak Anis telah terbentuk sebuah kelompok pendorong perubahan justru dari kalangan paling strategis dalam analisis demografis Indonesia

Sebuah pemberitaan media asing menarik kesimpulan tentang performa demokratis Anies setelah melakukan wawancara eksklusif di Bengkulu, 6 Desember 2023 (channelnewsasia.com). Ditempatkan pada bagian awal pemberitaannya yang terbit 31 Desember, media asing itu mengutip pernyataan Anies bahwa pemimpin tidak boleh takut dikritik. Juga menggarisbawahi keyakinan Anies bahwa dialog adalah cara terbaik untuk memahami satu sama lain, terutama para pemuda.

Kesimpulan itu ditarik dari jawaban Anies “I have never viewed those who engage in any critical dialogue as enemies. They are friends, people who also care about Indonesia,” “Saya tidak pernah memandang mereka yang terlibat dalam dialog kritis sebagai musuh. Mereka adalah sahabat, orang-orang yang juga peduli dengan Indonesia.”

Relevankah ucapan Anies dengan kondisi Indonesia hari ini? Sidang-sidang “pengadilan” Desak Anies dari satu ke lain kota memberi pembenaran kuat. Narasinya yang selalu terasa begitu mewah untuk Indonesia saat ini, sangat disukai baik oleh yang terlibat langsung maupun yang menikmatinya melalui rekaman video di youtube.

Awalnya Desak Anies hadir sebagai respons atas ragam cibiran, pesimisme, misinformasi dan disinformasi yang selama ini ditujukan kepada Anies, baik terkait kebijakan maupun sisi personalnya. Desak Anies mengundang anak muda guna menciptakan perubahan bersama Anies. Desak Anies percaya, impresi bukan hal utama dalam pergerakan bangsa, melainkan gagasan. Siapa saja, diundang berkolaborasi dalam memperbincangkan gagasan untuk perubahan berkeadilan Indonesia.
Mahfud MD, Calon Wakil Presiden nomor urut 3, beberapa hari lalu sudah dan akan terus melakukan hal yang sangat mirip, yakni “Tabrak Prof”. “Tabrak Prof” adalah sebuah acara untuk berdialog langsung dengan masyarakat. Anies tak merasa disaingi dan bahkan mengapresiasi Mahfud MD yang mengikuti jejaknya.

Sidang-sidang “pengadilan” Desak Anies kerap mempertimbangkan secara serius bagaimana mengakhiri ancaman dan pelanggaran kebebasan berpendapat karena terbukti tidak hanya merugikan hak individu atau kelompok tertentu, tetapi juga mengganggu ketertiban sosial dan politik masyarakat yang demokratis.

Kerap merekomendasikan perlu dan mendesaknya penegakan hukum yang tegas dan adil terhadap pelaku-pelaku pelanggaran kebebasan berpendapat, serta perlindungan yang memadai bagi para korban dan saksi. Juga perlunya edukasi dan sosialisasi mengenai pentingnya menghormati kebebasan berpendapat orang lain, serta menyelesaikan perbedaan pendapat dengan cara-cara yang santun dan rasional

Diketahui bahwa meski kebebasan berpendapat adalah salah satu hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi dan hukum yang diakui di seluruh negara di dunia, namun, dalam praktiknya, tak sedikit negara, termasuk yang justru mengklaim diri sebagai negara demokratis, dalam praktiknya masih memperagakan banyak modus ancaman dan jenis pelanggaran serius terhadap kebebasan berpendapat.

Di Indonesia, menurut Komnas HAM, setidaknya enam isu besar yang menjadi pemicu pelanggaran kebebasan berpendapat pada rentang tahun 2020-2021, yaitu penanganan Covid-19, Omnibus law, pemberantasan korupsi, tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK, kritik terhadap pejabat negara, kritik pada kebijakan perusahaan.

Komisi ini dari 44 kasus pelanggaran kebebasan berpendapat yang terbanyak terjadi di ruang-ruang digital atau online (21 kasus), diikuti oleh tindakan kriminalisasi (18 kasus), dan intimidasi, ancaman, dan teror (8 kasus). Korban pelanggaran kebebasan berpendapat pun beragam, namun didominasi oleh individu dengan 10 kasus, jurnalis dengan 8 kasus, dan aktivis dengan 5 kasus (Kompas.com-17/01/2022, 23:37 WIB).

Pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat kerap berkaitan dengan ideologi (Althusser, 1971). Sebagai sebuah sistem ide, secara tidak sadar ideologi memang meniscayakan fasilitasi justifikasi sistematis pembentukan persepsi tentang realitas sesuai keinginan penguasa.
Ideologi bukan sekadar seperangkat kepercayaan atau nilai. Ideologi adalah pengalaman hidup yang membentuk kehidupan sehari-hari. “Ideological State Apparatuses” (ISA), kerap disusupkan sedemikian rupa ke dalam pendidikan, media dan bahkan dalam pengarusutamaan keberagamaan yang diinginkan secara politik oleh penguasa. ISA telah terbukti sangat penting untuk penyebaran dan perkuatan ideologi.

Eagleton (1991) mengakui bahwa ideologi sebagai interaksi yang kompleks antara kekuasaan dan ide kerap mengekspresikan diri dalam keberfungsian spesifik untuk melegitimasi kekuasaan kelompok dominan dan secara bersamaan menyembunyikan kontradiksi dan ketidakadilan yang melekat dalam hubungan sosial.

Oleh sebab itu Gramsci (1971) berkeyakinan bahwa hegemoni yang mengarusutamakan urusannya mempertahankan ideologi dominan dalam kekuasaan tak selalu hanya berlangsung melalui paksaan, tetapi juga melalui persetujuan yang tiba pada penghujung proses.

Dengan menampilkan kepentingan mereka sebagai sesuatu yang universal, kelompok-kelompok dominan selalu dapat membujuk kelompok-kelompok yang tersubordinasi, dengan berbagai cara dan instrument, untuk menerima dan menginternalisasi ideologi mereka.

Mungkin itulah catatan terpenting dari sidang-sidang “pengadilan” Desak Anis yang sekaligus menonjolkan kemewahan kemampuan berbicara di depan publik dengan tujuan meyakinkan Indonesia tentang perubahan.

Berbekal kemampuan menganalisis, mengevaluasi, dan menginterpretasi situasi-situasi atau informasi secara tajam, objektif dan rasional, tanpa terpengaruh oleh bias atau asumsi yang belum teruji, Anies memberi sesuatu yang amat bergarga dan vital bagi Indonesia.

Sebagai figur yang benar-benar penantang, Anies ada pada posisi yang begitu leluasa menjelaskan Indonesia dengan data-data yang tersedia, dan itu berumber dari versi pemerintah. Debat-debat Capres yang berlangsung dan masih akan dilanjutkan adalah salah satu sumber legitimated untuk membongkar habis ketidak-becusan mengurus Indonesia.

Para panelis yang dilibatkan tidak mungkin tak berusaha mengidentifikasi kondisi objektif Indonesia ketika akan merumuskan pertanyaan. Sekiranya mereka tumpul, maka pertanyaan-pertanyaan yang mereka rumuskan pasti berbobot intelektual menyesatkan masa depan Indonesia. Mudah-mudahan itu tak terjadi untuk debat-debat berikut.

Khususnya dalam debat pertama dan ketiga, rakyat Indonesia benar-benar telah disuguhi keterangan akurat yang selama ini terhijab dari perhatian. Rakyat masih memerlukan debat itu lebih serius, lebih tajam dan lebih solusional.

Melalui sidang-sidang “pengadilan” desak Anis telah terbentuk sebuah kelompok pendorong perubahan justru dari kalangan paling strategis dalam analisis demografis Indonesia. Mereka millennial, terdidik dan mewakili mayoritas pencari kebaikan dan masalahat Indonesia ke depan.

Respons berupa sikap-sikap yang tidak bersahabat dengan cara menumbuhkan kesadaran kritis di dalam komunitas seperti dilakukan Anies tak akan menyurutkan dialog Indonesia. Mereka, jejaring kritis itu, akan terus melihat tema bersihkan stereotip dan kesalahpahaman yang berbahaya tentang agenda perubahan sebagai kekuatan yang harus dihidupkan untuk terus mempromosikan pemahaman yang lebih bernuansa tentang kebenaran.

Membangun aliansi dengan kelompok-kelompok yang terpinggirkan untuk menantang hegemoni dominan (Anderson, 1976) lazimnya akan teragendakan dengan kecepatan tanpa harus membayangkan keniscayaan kelaziman tren budaya politik kontemporer. Yakni adanya undangan panitia khusus beruniform berwarna menyala, untuk rapat umum yang dimobilisasi dengan uang sogok penghinaan.

Kelompok ini akan bekerja tanpa komando dan tanpa merasa perlu melapor kepada siapa pun, termasuk kepada Anies, yang ia tahu sendiri sebuah ketulusan tak memprasyaratkan ganjaran apapun, apalagi recehan uang politik penistaan.

Pada bagian lain pemberitaan media asing itu dilaporkan bahwa saat berada di Bengkulu, Anies pergi ke rumah pengasingan presiden pertama, Sukarno. Di sana media asing itu mengutip pernyataan Anies:
“This republic was founded by educated individuals. Intellectuals and scholars whose minds were formed not only by reading, but by life experiences. They experienced oppression, they were detained, and they had broad insights. While they are the children of the wealthy, they established a Republic for all. Not for their children, not for their nephews, not for their class but for all,”
“Republik ini didirikan oleh orang-orang terpelajar. Para intelektual dan cendekiawan yang pemikirannya dibentuk bukan hanya dari membaca, tapi dari pengalaman hidup. Mereka mengalami penindasan, mereka ditahan, dan mereka mempunyai wawasan yang luas. Meskipun mereka adalah anak-anak orang kaya, mereka mendirikan Republik untuk semua. Bukan untuk anaknya, bukan untuk keponakannya, bukan untuk kelasnya, tapi untuk semua.”

Sukarno diasingkan ke Bengkulu selama beberapa tahun. Mungkin Anies ingin berpesan kepada dunia bahwa proklamator ini menderita karena perjuangan dan amat tak pantas para pewaris mengorbankan kepentingan rakyat untuk kekuasaan.
Sejarah mengisahkan lagi bahwa dari penjara Sukamiskin, Bandung, Soekarno dulu menuliskan pidatonya “Indonesia Menggugat” untuk melawan kolonial di pengadilan. Keadilan ingin dibungkam dan Soekarno rela berkorban melawan itu untuk negeri yang amat dicintainya.

Mengapa pemimpin takut berdialog? Mengapa pemimpin takut dikritik? Mengapa hukum kerap direkayasa menjadi industri pengabadian hegemoni kekuasaan? Mengapa keadilan harus terus diperjuangkan? Anies membiarkan rakyat memberi jawaban dan bergerak ke tujuan perubahan Indonesia berkeadilan.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

  • Bagikan