Strategi Pendidikan Politik Bawaslu

  • Bagikan
<strong>Strategi Pendidikan Politik </strong><strong>Bawaslu</strong><strong></strong>

Oleh Maichel Firmansyah

Bawaslu mesti memahami perubahan budaya populer yang terjadi pada generasi milenial dan Z serta perubahan saluran komunikasi dan informasi masyarakat yang memasuki ranah digitalisasi

Membahas terkait demokrasi Indonesia saat ini, maka bisa dikatakan bahwa demokrasi Indonesia masih jauh untuk mencapai kepada tahap konsolidasi demokrasi. Yaitu, penerapan demokrasi oleh seluruh elite politik dan masyarakat massal dalam menjalankan agenda-agenda demokrasi, roda kepemimpinan dan kenegaraan secara bersama-sama.

Kurang lebih, dua tahun lagi Indonesia akan memasuki pesta demokrasi. Yaitu, pemilihan umum serentak untuk menentukan siapa orang-orang yang akan menakhodai Indonesia untuk lima tahun ke depan. Pemilihan ini dilakukan dari pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan anggota DPD RI yang dilaksanakan secara serentak dalam satu bilik yang sama. Jika tidak ada kendala dan aral melintang, maka pesta demokrasi itu akan berlangsung pada 14 Februari 2024 mendatang.

Demokrasi di Indonesia masih terbatas kepada demokrasi normatif atau sering dikenal juga dengan sebutan demokrasi prosedural. Beberapa tahun belakangan, berbagai pihak telah membahas tentang demokrasi prosedural ini. baik itu akademisi, pengamat politik hingga pelaku politik. Kesimpulan pembahasan itu secara sederhana menurut penulis, bahwa telah terbagi dua kubu terkait pembahasan demokrasi prosedural ini, kubu pertama yaitu mereka yang menganggap demokrasi prosedural kepada asumsi bahwa demokrasi prosedural menghambat konsolidasi demokrasi tercapai karena pelanggaran dan lemahnya indeks demokrasi akan terus turun sehingga butuh formulasi untuk meningkatkan demokrasi di Indonesia.

Kemudian, kubu kedua adalah mereka yang menyatakan bahwa demokrasi prosedural sebagai landasan pokok demokrasi sehingga jika diperbaiki dan ditingkatkan kualitasnya maka demokrasi prosedural bisa meningkatkan derajat demokrasi Indonesia karena demokrasi prosedural adalah dasar untuk tercapainya tahapan demokrasi substansial.

Demokrasi yang seutuhnya bisa diterapkan, maka demokrasi prosedural bukanlah masalah jika dijaga, diperbaiki dan tidak mencederai demokrasi itu sendiri. Realitasnya, pemahaman demokrasi prosedural bukan malah menjadi dasar demokrasi untuk dapat melanjutkan demokrasi Indonesia kepada tahap agregatif, deliberatif hingga ke tahap substantif atau substansial. Malahan masalah datang kepada dunia politik Indonesia karena pemahaman masyarakat masih demokrasi prosedural sehingga elite politik memanfaatkannya sehingga menyebabkan Indonesia masih berada pada demokrasi cacat karena para pelaku politik itu sendiri yang cenderung melakukan tindakan korupsi, ujaran kebencian, politik uang, kampanye hitam, intimidasi, kongkalikong antara penyelenggara pemilu dan kontestan serta seterusnya yang dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap demokrasi selama ini sehingga melemahkan demokrasi Indonesia dan merubah sudut pandang masyarakat akan politik, hal ini terbukti karena kondisi demokrasi Indonesia yang mengalami penurunan pada dua tahun belakangan ini, pernyataan ini didasari atas data indeks demokrasi Indonesia BPS pada tahun 2021.

Penurunan demokrasi ini merupakan fenomenal global yang terjadi dalam 15 tahun terakhir dan juga dialami oleh Indonesia kata Carolina Paskarina yang merupakan dosen universitas Padjajaran pada saat kegiatan yang digelar oleh Dewan Profesor Unpad secara virtual. Selanjutnya, berdasarkan riset dari The Economist Intelligence Unit (EIU), Indeks Demokrasi Indonesia, dan 2021 Democracy Report yang memperlihatkan bahwa pengurangan demokrasi itu terjadi signifikan pada kebebasan sipil, pluralisme, dan fungsi pemerintahan.

Demokrasi prosedural yang menjadi pemahaman dari elite politik dan masyarakat massal sendiri menyebabkan dua hal: pertama, mencederai demokrasi karena perilaku elite politiknya. Kedua, penurunan indeks demokrasi di Indonesia karena masyarakat yang mudah dipermainkan oleh kontestan atau pelaku politik.

Sebenarnya, dari sejak era reformasi-sekarang, Indonesia belum juga mencapai tahap yang paripurna dalam menskemakan atau merancang demokrasi prosedural. Undang-undang yang dibentuk guna mengatur pemilu pun berulang kali berganti. Jika benar demokrasi prosedural adalah dasar demokrasi untuk dapat mencapai demokrasi substansial maka mesti dimanfaatkan dan dimaksimalkan. Menurut penulis butuh penataan terstruktur dan sistematis dari berbagai pihak untuk meningkatkannya menjadi demokrasi substansial, hal itu diperlukan dengan mengembangkan pemahaman masyarakat kepada demokrasi prosedural hingga menuju pemahaman demokrasi substansial. Hal yang harus dilakukan dengan meningkatkan literasi politik mereka oleh pihak yang berkewajiban memberikan pendidikan politik bagi pemilih, dalam hal dianya adalah penyelenggara pemilu, karena sesuai dengan apa yang tertuang dalam undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum.

Sebab tercederainya demokrasi dan menurunnya demokrasi di Indonesia bukan karena pemahaman masyarakat dan elit politik yang melihat demokrasi sebagai pemahaman demokrasi prosedural semata, akan tetapi literasi politik bagi masyarakat selama ini belum terpenuhi sehingga menyebabkan demokrasi Indonesia dalam kurun waktu dua tahun belakangan ini mengalami penurunan. Hal ini membuat panggung politik acap kali dibumbui dengan penyakit-penyakit yang berasal dari elite politik dan pihak pengampu kepentingan di dalamnya dengan memanfaatkan keadaan politik di Indonesia dan kondisi masyarakat yang lemah akan literasi politik sehingga digunakan sebagai keuntungan tersendiri bagi pelaku politik ini.

Tugas Bawaslu

Maka Bawaslu sebagai lembaga yang hadir saat orde baru dan memproleh regulasi untuk berdiri sendiri tidak lagi di bawah KPU pada era reformasi dan lahir dilatarbelakangi dari adanya pelanggaran yang terjadi pada pemilu sebelumnya, maka menjadi tampuk terpenting dalam mencapai jonsolidasi demokrasi bagi Indonesia. Tugas Bawaslu salah satunya adalah memberikan pendidikan politik bagi masyarakat pada level berpikir tingkat tinggi (high order thingking skill, hal itu menimbang karena Bawaslu bertugas bukan hanya menjamin masyarakat untuk melakukan pemilihan pada saat pemilu tetapi menciptakan masyarakat yang mampu menciptakan laporan dengan memanfaatkan aplikasi Sigaplapor dari Bawaslu.

Tugas Bawaslu secara konsepsi yaitu memberikan pendidikan politik bagi masyarakat dengan mampu berpikir tingkat tinggi sehingga bisa untuk mengawasi, menilai dan menciptakan laporan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang ada. Pendidikan politik yang diberikan Bawaslu tersebut jika dilihat berdasarkan proses berpikir tingkat tinggi dari taksonomi bloom ia berada pada proses berpikir 4C-6C.

Untuk membentuk masyarakat partisipatif itu maka bawaslu dengan memberikan pendidikan politik melalui proses berpikir bloom, yaitu berpikir tingkat tinggi. Bawaslu sedari dini harus menyadari akan tantangan zaman hari ini, sehingga bawaslu dan KPU mesti melihat bahwa ada PR besar yang harus dilaksanakan untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat agar Indonesia mampu mencapai demokrasi substansial. Maka bawaslu mesti paham akan perubahan sosial yang sudah terjadi pada masyarakat hari ini dan karakteristik pemilih Indonesia.

Strategi Bawaslu

Dunia sudah berkembang kepada digitalisasi yang menyebabkan konektivitas antar masyarakat tidak punya batas antar ruang dan waktu lagi, artinya komunikasi publik hari Ini telah berubah arah kepada media sosial atau komunikasi digital. Masyarakat Indonesia berdasarkan struktur umur penduduk telah didominasi oleh generasi Milenial dan Z (berdasarkan data hasil sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS). Generasi Milenial dan Z pada dunia digitalisasi adalah digital native. Digital native merupakan sebutan untuk orang yang lahir di era digital, alias ketika berkembangnya teknologi seperti komputer dan internet (Marc Prensky).

Strategi pertama Bawaslu dalam memberikan pendidikan politik, maka harus menggunakan media sosial sebagai saluran antara Bawaslu dan masyarakat, karena penduduk Indonesia adalah pengguna internet nomor 4 terbesar di Asia tenggara dan didominasi oleh generasi milenial dan Z yang mereka adalah digital native, maka perlu untuk memanfaatkan platform media sosial seperti tiktok, Twitter, Facebook dan platform media lainnya untuk memberikan pendidikan politik bagi generasi Milenial dan Z ini, mereka tidak akan enggan dan canggung untuk berkomunikasi lewat digital atau virtual. Berbeda dengan digital immigrant yang memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan banyaknya perubahan di zaman digital, dari segi teknologi hingga digital, akan tetapi mereka juga akan tetap mendapatkan pendidikan politik karena dipengaruhi oleh generasi Z dan Milenial dalam berinteraksi sosial sebab generasi Milenial dan Z hari ini yang penguasa informasi.

Bawaslu mesti memahami perubahan budaya populer yang terjadi pada generasi Milenial dan Z serta perubahan saluran komunikasi dan informasi masyarakat yang memasuki ranah digitalisasi. Maka hal ini seharusnya dioptimalkan oleh Bawaslu dengan memberikan pendidikan politik lewat media-media sosial yang menjadi sarang informasi oleh masyarakat hari ini dengan cara yang menarik.

Strategi kedua, yaitu dengan memberikan pendidikan politik yang dilakukan melalui institusi pendidikan, caranya dengan meningkatnya literasi politik generasi Z ini yang masih berada dibangku sekolah. Maka Bawaslu harus berkolaborasi dengan institusi pendidikan melalui guru-gurunya yang dibenahi dalam menyampaikan materi saat dikelas. Jadi, strategi Bawaslu bukan lagi memberikan pendidikan politik lewat tokoh masyarakat yang selama ini telah dilakukan, tetapi Bawaslu mesti memfokuskan sekarang kepada guru di sekolah untuk mengajarkan pendidikan politik kepada siswanya melalui pembinaan dari Bawaslu dengan berkolaborasi, maka pendidikan politik yang terintegrasi dengan mata pelajarannya dapat diberikan Bawaslu melalui pada saat guru menjelaskan fakta dalam materinya di kelas. Guru yang cocok dan bisa diberdayakan untuk ini adalah guru PKN dan guru sosiologi karena materinya erat kaitannya dengan masyarakat dan negara.

Penulis adalah Anggota Organisasi HMI Universitas Negeri Padang.

  • Bagikan