Telaah Putusan MK Nomor 90

  • Bagikan
Telaah Putusan MK Nomor 90

Oleh Alexander The Putra Simbolon

Tidak heran publik berprasangka buruk terhadap putusan MK Nomor 90 / PUU-XXl/2023, karena Ketua MK, Anwar Usman ikut dalam pembacaan putusan tersebut. Seperti yang kita ketahui Anwar Usman adalah paman kandung dari Putra presiden dan adik ipar presiden. Karena itu publik meragukan independensi mahkamah

Pada Senin (16/10/2023), Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menarik perhatian publik dengan pembacaan putusan MK Nomor 90/PUU-XXl/2023, mengenai pasal 169 huruf q UU No. 17 tahun 2017, khususnya terkait syarat usia menjadi calon presiden dan calon wakil presiden. Hal ini karena dalam putusannya yang dibacakan Ketua MK Anwar Usman menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang menyatakan “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.

Di samping itu, ada hal yang menarik dalam putusan tersebut karena ada 4 (empat) Hakim Konstitusi yang menyatakan Dissenting Opinion (pendapat berbeda) dengan menyatakan “menolak permohonan tersebut”, terdiri dari Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat dan Suhartoyo.. Selain itu, terdapat 2 (dua) Hakim Konstitusi yang oleh putusan disebut memiliki concurring opinion (alasan berbeda), yaitu Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh. Namun, apabila dicermati lagi pendapat 2 hakim konstitusi tersebut, maka sejatinya kedua hakim konstitusi tersebut menyampaikan Dissenting Opinion, sebab kedua hakim konstitusi tersebut memiliki pendapat berbeda soal amar putusan.

Menurut Enny Nurbaningsih, amar putusan seharusnya: “Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Gubernur yang persyaratannya ditentukan oleh pembentuk undang-undang”.

Kemudian, menurut Daniel Yusmic P. Foekh, amar putusannya seharusnya: “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi”

Sisanya 4 hakim konstitusi lainnya, memiliki pendapat berbeda berkaitan dengan amar putusan. Oleh karena itu, sebenarnya putusan MK ini tidak mengabulkan petitum pemohon, melainkan menolak permohonan pemohon. Lalu, perkara ini dinilai sebagai open legal policy sebagaimana diungkapkan oleh para pakar hukum tata negara, salah satunya Bivitri Susanti.

Open Legal Policy

Perlu kita pahami bahwa open legal policy dimaknai sebagai kebijaksanaan negara yang dilakukan oleh badan yang berwenang untuk menetapkan atau memutuskan peraturan yang diinginkan untuk mencapai tujuan negara. Biasanya dijadikan landasan untuk memutus dan menolak pengujian undang-undang.

Secara dokriner, permasalahan yang berkaitan dengan persyaratan usian minimum pejabat negara termasuk Capres & Cawapres menjadi bagian dortrin political yang merupakan konsep yang mengacu pada prinsip bahwa beberapa permasalahan atau pertanyaan yang melibatkan keputusan politik atau kebijakan pemerintah. Seharusnya tidak menjadi domain lembaga peradilan untuk memutuskannya. Sebaliknya permasalahan tersebut seyogyanya ditangani oleh cabang kekuasaan eksekutif atau legislatif.

Bahkan menurut John Serry dalam bukunya “Too Young to Run? : A Proposal for an Age Amentmen to the U.S. Constitution” (Pen State Univercity press 2011), permasalahan untuk menurunkan persyaratan usia minimum bagi jabatan politik tidak bisa dilakukan melalui pengujian UU, melainkan harus melalui perubahan konstitusi. Sebagai contoh perbandingan lainya, MK Albania dalam decision ALB-2005-1-003, tanggal 19 Januari 2005, menolak permohonan yang berkenaan dengan batas usia dinilai bukan isu konstitusional, tetapi lebih pada isu politik. Dasar pertimbangan hakim MK Albania tersebut antara lain karena umur konstitusional nya tidak diatur dalam konstitusi. Dengan demikian syarat usia adalah open legal policy

Legal Standing

Merujuk pada pendapat Harjono dalam buku Konstitusi sebagai Rumah Bangsa (hal. 176), menjelaskan bahwa legal standing adalah keadaan di mana seseorang atau suatu pihak permohonan penyelesaian perselisihan atau sengketa atau perkara di depan Mahkamah Konstitusi.

Di samping itu dapat juga di pahami dalam UU Pasal 51 ayat (1) UU MK. Jika kita Cermati, ada unsur pemisah antara esensi syarat untuk menjadi Capres & Cawapres sebagaimana dimaksud dalam norma pasal 169 UU 7/2017 dengan norma di antaranya pasal 6A (2) UUD’45, pasal 221 & 222 UU Pemilu, maka sesungguhnya ketentuan ketentuan yang dimaksud telah membuktikan bahwa filosofi dan esensi yang dimaksudkan dalam pasal 169 UU 7/2017 adalah hanya diperuntukkan untuk bersifat privat guna terpenuhinya syarat formal.

Untuk selanjutnya dicalonkan sebagai Capres & Cawapres. Karena itu, ketika seseorang bukan subjek hukum yang mencalonkan diri sebagai Capres & Cawapres maka seseorang tersebut tidak dapat mempersoalkan konstitusionalitas pasal 169 UU 17/2017.

Dapat kita lihat dalam perkara aquo, pemohon yang memohonkan judicial review untuk kepentingan pihak lain adalah permohonan yang didasarkan pada tidak adanya hubungan hukum pemohon dengan subjek hukum yang dikehendaki dalam petitum permohonannya. Dengan kata lain, tidak adanya hubungna kausalitas antara hak konstitusionalitas yang dimiliki oleh para pemohon dengan uu yang di mohonkan pengujian nya sebagaimana yang telah dipersyaratkan dalam pasal 4 ayat (2) PMK 2/2021 dan putusan MK Nomor 006/PUU-III/ 2005 tanggal 31 Mei 2005 dan putusan MK Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 september 2007. Dengan Demikian pemohon tidak memiliki kedudukan Hukum.

Terbentuknya Yurisprudensi

Sejak dari generasi pertama (2003-2008), ihwal persyaratan usia telah diposisikan sebagai open legal policy. Sikap demikian dapat dilacak antara lain dari putusan MK: Nomor 15/PUU-V/2007, Nomor 37-39/PU- VII/2010, nomor 49/PUU-IX/2011, Nomor 56/PUU-X/2012. Bahkan apabila dibaca kembali 29-51-55/PUU-XXI 2023, putusan putusan terdahulu yang berkenaan dengan usia tetap menjadi rujukan utama yang digunakan untuk menolak permohonan Nomor 29-51-55/PUU-XXI 2023.

Artinya open legal policy merupakan “warisan” yang telah diikuti generasi demi generasi di Mahkamah dan telah ditempatkan sebagai yurisprudensi. Karena itu open legal policy tidak bisa secara serampangan dikesampingkan karena telah menjadi yurisprudensi sekaligus dokrin ilmu hukum yang digunakan sebagai dasar dalam memutuskan perkara perkara yang ada di MK.

Ketua MK Ikut Memutus

Tidak heran publik berprasangka buruk terhadap putusan MK Nomor 90 / PUU-XXl/2023, karena Ketua MK, Anwar Usman ikut dalam pembacaan putusan tersebut. Seperti yang kita ketahui Anwar Usman adalah paman kandung dari Putra presiden dan adik ipar presiden. Karena itu publik meragukan independensi mahkamah. Di samping itu publik juga menganggap putusan ini demi kepentingan politik putra presiden untuk dapat memenuhi syarat usia untuk mencalonkan sebagai Capres & Cawapres. Hal ini berdasarkan hanya putra presidenlah yang mungkin dari kalangan anak muda untuk maju.

Dengan mempertimbangkan hal hal tersebut di atas sudah sepatutnya Ketua MK tidak ikut dalam pembacaan putusan karena berdasarkan UU Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasan kehakiman. Pada Pasal 17 ayat (3) & (4), ayat 3 mengatur “Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera”.

Lalu pada ayat (4) mengatur “Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat”

Penulis adalah Direktur LKPPH DPC PERMAHI Medan.

  • Bagikan